UU Cipta Kerja

Taktik Lain Perlu Dijajal saat Memprotes Pemerintah: Pembangkangan Sipil

Pandemi corona membuat unjuk rasa anti-UU Cipta Kerja dituding memicu klaster baru dan kekerasan. Akademisi UGM menilai massa perlu melirik aksi simbolis.
Taktik Pembangkangan Sipil Jadi Alternatif Cara Menolak UU Cipta Kerja
MAHASISWA MEMBAWA POSTER MENOLAK UU CIPTA KERJA DALAM UNJUK RASA DI KABUPATEN TANGERANG. FOTO OLEH FAJRIN RAHARJO/AFP

Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja oleh tujuh fraksi di DPR RI terus menyulut kemarahan publik. Sejak Selasa (6/10) hingga Kamis (8/10), unjuk rasa melibatkan puluhan ribu orang, dari elemen buruh, mahasiswa, petani, hingga pelajar berlangsung di berbagai kota besar Indonesia. Massa juga menggelar aksi di sekitar Istana Negara, Jakarta, sekalipun Presiden Joko Widodo sedang berada di Kalimantan Tengah.

Iklan

Kericuhan mewarnai demonstrasi di beberapa kota, berujung penangkapan peserta aksi. Mengingat angka masih simpang siur, diperkirakan lebih dari 100 demonstran ditangkap aparat di Bandung, Semarang, maupun Jakarta. Korban luka juga berjatuhan. Di Bandar Lampung, polisi menginformasikan ada 26 massa aksi, 11 polisi dan satu TNI yang dirawat di rumah sakit akibat kericuhan pada 7 Oktober 2020.

Selain unjuk rasa, upaya menggagalkan Omnibus Law juga gencar disuarakan lewat media sosial. Tagar yang berkaitan dengan penolakan terhadap legislasi itu meroket sampai menjadi trending topic dunia. Dalam 24 jam terakhir, muncul tagar #MahasiswaBergerak yang diasosiasikan dengan panggilan untuk demonstrasi. Menurut analisis Drone Emprit, mayoritas yang mendengungkannya adalah netizen remaja hingga yang berusia 30-an tahun. 

Berlangsungnya unjuk rasa, yang disusul kericuhan serta bentrokan, memecah opini publik. Sebagian mendukung dan menganggapnya hak demokratis masyarakat menolak kebijakan pemerintah macam omnibus law yang ditetapkan serampangan. Sebaliknya, ada juga pendapat netizen di Twitter atau Instagram yang mengkritik unjuk rasa ini karena berisiko memicu klaster penularan baru Covid-19.

Pemerintah sendiri mulai membuat narasi bahwa demonstrasi ini diongkosi oleh politikus tertentu, mendiskreditkan ketulusan partisipasi peserta aksi.

“Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind demo itu. Kita tahu siapa yang menggerakkan, kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,” kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat diwawancarai CNBC Indonesia. “Tokoh-tokoh intelektual ini saya lihat mempunyai, dalam tanda petik, ego sektoralnya yang cukup besar. Karena para tokoh ini tidak ada di lapangan, mereka adalah di balik layar.”

Iklan

Untuk mengurangi persepsi negatif terhadap mereka yang menolak UU Cipta Kerja, akademisi Universitas Gadjah Mada menyodorkan alternatif taktik yang biasa diadopsi masyarakat madani saat memprotes sebuah kebijakan: pembangkangan sipil (civil disobedience).

Zainal Arifin Mochtar, pengajar di Fakultas Hukum sekaligus Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM ini menilai, intensitas bentrokan akan membuat gerakan massa rentan didiskreditkan. Debat soal substansi UU yang ditolak juga berisiko tertimbun laporan mengenai ricuh di berbagai kota.

“Harus dihindari atau dikurangi kemungkinan pelanggaran hukumnya,” kata Zainal saat dihubungi VICE. “Agak bahaya tuh ketika kita bermaksud untuk menyampaikan aspirasi dalam bentuk perlawanan, tapi kemudian malah dipidana. Dalam berbagai kasus di Indonesia kan begitu.”

“Saya menawarkan teriakan penolakan bersama UU ini. Pembangkangan sipil atau apa lah itu, perlu dipikirkan. Protes adalah bagian dari partisipasi sipil,” imbuh Zainal.

Pembangkangan sipil merupakan konsep aksi nonkekerasan yang diadopsi aktivis dan pejuang kemerdekaan berbagai negara selama tiga abad terakhir. Zainal mencontohkan mencontohkan pembangkangan sipil seperti yang dilakukan penulis Amerika Serikat Henry David Thoreau pada 1800-an.

Thoreau, dalam esainya yang berjudul On the Duty of Civil Disobedience, mengaku menolak membayar pajak dalam rangka memprotes perang dan masih berjalannya perbudakan. Tentu saja, ia kemudian dipenjara karena melanggar hukum.

Iklan

“Gerakan ada yang terstruktur sampai menyentuh ke negara dengan menolak pembayaran pajak, sampai yang lebih sederhana, misalnya perlawanan simbolik. Kita harus memikirkan itu,” kata Zainal.

Selain Thoreau, nama lain yang mempopulerkan pembangkangan sipil adalah Rosa Parks, Martin Luther King dan Mahatma Gandhi. Parks, seorang perempuan kulit hitam Amerika Serikat, menolak memberikan kursinya di dalam sebuah bus kepada laki-laki kulit putih.

Pada 1955, ia membangkang terhadap hukum segregasi rasial yang mewajibkan warga kulit hitam selalu duduk di bagian belakang bus. Aksinya berbuntut panjang. Bukan hanya ia ditahan polisi, tetapi komunitas kulit hitam semakin terpantik untuk melakukan pemboikotan bus selama lebih dari setahun. King dan Gandhi juga memakai pendekatan serupa untuk tujuan masing-masing. Mulai dari unjuk rasa damai, boikot komoditas penting pemerintah, hingga menolak bayar pajak.

Di Indonesia, pembangkangan sipil paling populer pernah dilakukan masyarakat Samin di Jawa Tengah. Suro Sentiko, selaku pemimpin gerakan, mengajak warga yang hidup di bawah penjajahan Belanda untuk tidak membayar pajak pada awal 1900-an. Samin dan banyak pengikutnya ditangkap oleh polisi kolonial.

Carl Cohen, profesor Filsafat di Universitas Michigan, menjelaskan bahwa syarat pembangkangan sipil adalah harus melanggar hukum dan bersifat publik. Namun, ada satu elemen lain yang wajib ada dan membedakannya dari bentuk pelanggaran lain yaitu dilakukan tanpa kekerasan.

Iklan

Salah satu contoh pembangkanan sipil terkini yang berhasil adalah aksi Greta Thunberg, remaja Swedia yang menjadi figur internasional. Selama satu bulan pada 2018, alih-alih masuk sekolah, dia pilih membolos setiap Jumat dan menyambangi gedung parlemen. Dengan membawa poster, ia memprotes kebijakan iklim negaranya.

Aksi Greta menginspirasi ratusan ribu sampai jutaan remaja di seluruh dunia yang melahirkan gerakan Fridays for Future. Sebelum pandemi Covid-19, mereka keluar kelas saat jam pelajaran masih berlangsung untuk berdemonstrasi damai. Di London, ratusan orang memblokade sejumlah jembatan saat jam sibuk untuk membuat tuntutan mereka didengar pemerintah. Selalu ada satu atau dua peraturan yang harus dilanggar.

Greta sendiri mendukung pembangkangan sipil. Ini disampaikannya lewat kolaborasi bersama band asal Inggris, The 1975, yang dirilis tahun lalu. “Kita tidak bisa lagi menyelamatkan dunia dengan mematuhi peraturan, sebab peraturan harus diubah,” kata Greta.

“Semua harus berubah. Dan ini harus dimulai hari ini. Jadi, kalian semua yang ada di luar sana, kini saatnya untuk melakukan pembangkangan sipil. Sekarang waktunya memberontak,” tegasnya.

Bentuk lain dari pembangkangan sipil adalah pemanfaatan teknologi untuk tujuan aktivisme, atau dikenal sebagai hacktivism. Molly Sauter, penulis buku The Coming Swarm: DDoS Actions, Hacktivism and Civil Disobedience, mengatakan serangan Distributed Denial of Service (DDoS) sudah ada sejak awal 1990-an.

Iklan

“Pembangkangan sipil dan segala jenis pelanggaran hukum terorganisir secara online masih dianggap sebagai aktivitas yang terpinggirkan sebab belum ada pemahaman bahwa pembangkangan sipil bisa kamu lakukan di internet,” kata Sauter kepada Motherboard.

“Logika perubahannya adalah kamu melakukan suatu aksi, diliput oleh media, lalu para politisi dan masyarakat bereaksi atas liputan pers tersebut, tapi enggak terlalu terhadap aksi itu sendiri,” tambahnya.

Mengingat gelombang demonstrasi sudah terlanjur menyebar ke berbagai kota Indonesia, Direktur Eksekutif Lokatara Haris Azhar menilai eskalasi konflik hanya bisa diredakan bila biang masalahnya diperbaiki, yakni UU Cipta Kerja itu sendiri. Haris Azhar menganggap proses pengesahan beleid itu sudah cacat karena tak melibatkan publik, padahal sudah ditentang dengan keras sejak tahun lalu oleh aliansi masyarakat sipil. Pemerintah beralasan pembahasan dilakukan terbuka, karena disiarkan TV Parlemen.

“TV Parlemen itu bukan alat untuk menguji,” kata Azhar saat hadir sebagai salah narasumber di tayangan Mata Najwa. “Naskah akademis mana? Konsultasi publiknya mana? Orang minta dokumen tidak dikasih,” lanjutnya. Ia pun meminta masyarakat untuk terus menyuarakan penolakan.

“Teruslah bergerak di jalanan: masyarakat adat, buruh, anak muda yang terancam oleh UU ini,” tegasnya.