FYI.

This story is over 5 years old.

Bertanya Buat Teman

Sains Menjelaskan Alasan Kita Sering Kepikiran Terus Sama Gebetan yang Gagal Dipacarin

Bahkan rasa penasarannya kadang lebih intens dibanding putus dari pacar beneran. Ada hubungannya sama reaksi kimia di otak tuh.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic

Bertanya Buat Teman adalah rubrik khusus dari Tonic menjawab semua pertanyaan kalian seputar kesehatan, yang paling tolol sekalipun. Jadi, kalau ada teman yang punya masalah kesehatan tapi enggak berani tanya ke dokter, bisa kalian wakili lewat rubrik ini.

Begini Skenarionya:
“Temanmu” sudah beberapa kali berkencan sama gebetan baru. Dia merasa hubungannya sama si gebetan mesra banget dan romantis abis. Temanmu sering melamun soal masa depan sama si gebetan yang seru itu, membayangkan akhirnya dia menemukan orang yang bisa memberinya alasan menonaktifkan akun Tinder. Namun, beberapa waktu kemudian, temanmu tidak lagi bisa menghubungi si gebetan, atau si doi mendadak meminta untuk tidak jalan bareng lagi karena, "kita kan cuma berhubungan buat seru-seruan aja."

Iklan

Temanmu merasa sangat sedih. Dia belum siap mencari kenalan baru di Tinder. Temanmu, dalam kondisi galau, terus-terusan mengecek akun Twitter dan Instagram si gebetan, memikirkan apa yang salah dari hubungan singkat tersebut. Kamu merasa reaksi temanmu lebih parah dari ketika dia putus dari pasangan sebelumnya yang sudah lama dipacari. Kamu mungkin bingung. Kalau ada teman sedih karena putus dari pacar, apalagi pacarannya udah lebih dari dua tahun, itu wajarlah. Kita bisa maklum. Tapi kali ini temanmu cuma sedih gara-gara gebetan yang, ah elah, jalan bareng juga baru tiga kali. Sampai beberapa bulan lamanya, temanmu masih saja memikirkan hubungannya bersama si gebetan gagal tadi. Kamu jadi curiga, apakah temanmu itu sekarang adalah stalker yang mengidap gangguan kejiwaan? Kenapa dia mendadak aneh atau jadi manusia menyedihkan? Beneran gitu cuma gara-gara terobsesi sama gebetan yang gagal dipacari?

Faktanya:
Cinta bertepuk sebelah tangan sejak dulu kala sudah diromantisasi melalui lagu dan karya sastra. Mulai dari puisi Dante yang menceritakan kasih tak sampai Beatrice terhadap sosok dalam syair Sorrows of Young Werther milik Goethe, atau lagu-lagu seperti “He Stopped Loving Her Today” karya George Jones, hingga “Love Story”-nya Taylor Swift. Artinya, penasaran karena gagal mendapatkan gebetan yang diincar, telah dialami manusia sejak berabad-abad lalu. Biasa aja.

Perasaan tidak dihiraukan gebetan bagaikan sebuah tragedi yang cocok untuk diangkat kisahnya menjadi novel atau puisi epik. Psikolog pun menganggap rasa penasaran macam itu tidak aneh sama sekali.

Iklan

Roy Baumeister dan Sara Wotman, yang sempat mengajar di Case Western Reserve University, menulis salah satu penelitian paling penting mengenai dampak cinta bertepuk sebelah tangan terhadap otak. Penelitian itu dipublikasikan pada 1993. Dari 155 sampel penelitian, melibatkan pria dan wanita, lebih dari 98 persen responden mengatakan mereka setidaknya sekali pernah mengalami cinta tak berbalas selama hidupnya.

Alasan umumnya fenomena ini adalah kebenaran yang kejam: “Sebagian besar orang menganggap kepribadiannya jauh lebih menarik dari yang sebenarnya dilihat orang lain,” ujar Baumeister saat diwawancara surat kabar the New York Times. “Bisa dibilang ketertarikan seseorang terhadap manusia lain sebetulnya sangat berbeda dari yang dipersepsikan orang yang jadi obyek ketertarikan.”

Pendek kata, orang merasakan cinta bertepuk sebelah tangan karena mereka kepedean. Mereka merasa tidak sepantasnya si gebetan menjauhi atau terang-terangan menolak perasaannya. Inilah fakta yang sering tidak kita sadari saat mendapat penolakan dari orang yang kita incar.

Psikolog bilang merasa sedih karena ditolak gebetan sangatlah normal. “Tidak heran jika mereka tetap memikirkan orang itu setelah hubungan berakhir,” ujar Shani Graves, psikiater yang berpraktik di New York. “Situasi ditolak macam ini lebih sering terjadi dari yang kita akui.” Graves menambahkan betapa, “kadang manusia sangat menaruh harapan akan ada orang yang menjadi belahan jiwa kita.” Pola pikir mencari satu pasangan sejati seringkali memberi kita pandangan yang menyimpang tentang betapa indahnya hubungan saat berpacaran singkat. Pola pikir memaksakan diri harus dapat "soulmate" saat PDKT, akhirnya, “membatasi kita untuk mengenal calon pasangan secara mendalam,” ujar Graves. “Jadi kalau hubungannya gagal, kita otomatis merasa terluka.”

Iklan

Tanisha M. Ranger, psikolog di Henderson, Nevada, menambahkan bahwa “sifat manusia ada hubungannya dengan sedih saat ditinggal gebetan. Kita lebih mengingat hal-hal yang terjadi secara singkat.” Ranger menyitir efek Zeigarnik, bias kognitif yang sudah sering diteliti kalangan psikolog. Efek itu menggambarkan betapa orang cenderung lebih suka mengingat atau menemukan hal yang belum selesai. Kondisi psikologis macam itu yang dialami orang saat berurusan sama calon pacar yang gagal didapatkan.

Plus, kalian harus tahu, memulai hubungan emosional baru secara harfiah mengubah reaksi kimia di otak. Ketika kamu mulai PDKT, serotine mulai mengalir ke syaraf-syaraf otak, lalu pikiran akan mengendalikan sisanya. “Reaksi kimia di otak anda akan mengalami perubahan pada saat anda sedang menyukai sesuatu, meskipun durasinya sangat singkat, dan reaksi itu akan memengaruhi perasaan apabila hubungan berakhir,” kata Ranger menjelaskan. “Berakhirnya hubungan akan membuat kita merasa sedih dan kesepian.”

Perasaan sedih atas berakhirnya hubungan pacar yang telah berjalan lama biasanya akan cepat berkurang atau menghilang dalam hitungan bulan. Meskipun sakit, tapi proses melupakan mantan terjadi secara bertahap. Sedangkan untuk berakhirnya hubungan baru serta perasaan menyenangkan yang dialami selama masa itu, dapat membuat orang merasa sangat terluka karena kehilangan “candunya”. Ini yang bikin rasa penasaran terhadap gebetan lebih hebat daripada putus dari pacar betulan.

Iklan

Skenario Terburuk:
Hal pertama yang perlu diingat: orang yang menarik diri dari sebuah hubungan biasanya merasa lebih buruk dari yang dihindari. Ini adalah kesimpulan dari penelitian Roy dan Sara yang dikutip sebelumnya.

“Orang yang jatuh cinta sudah menyiapkan segala sesuatu untuk mendapatkan hati gebetannya dan bagaimana meneruskan perasaan mereka setelah tidak dihiraukan,” ujar Baumeister. “Ada banyak film yang menceritakan wanita yang awalnya menolak perasaan laki-laki, namun akhirnya mereka luluh karena laki-laki itu tidak menyerah mendapatkan cintanya. Ini membuat mereka berpikir kalau mereka akan mendapat wanita pujaannya jika mereka tetap berusaha mengejar wanita itu. Sedangkan mereka terus mencoba, orang yang ditaksir memberitahu kami, ‘Saya tidak tahu harus menjawab apa, saya tidak ingin menyakiti perasaannya.’”

Meskipun sikap tidak mau menerima kenyataan ini dianggap tidak bermasalah pada zaman Dante, Goethe dan Dickens, orang-orang zaman sekarang menganggap sikap ini sangat problematik.

Impuls negatif juga bisa muncul jika orang yang ditolak tidak memiliki kekuatan untuk menerima penolakan. “Sakit hati, jika tidak dihentikan dan dibiarkan berlama-lama maka akan semakin parah,” ujar Graves, “dan ini dapat menyebabkan mereka berubah menjadi penguntit media sosial pujaannya, membutuhkan jawaban atas semua ini, dan berusaha mencari tahu apakah pujaannya menyukai orang baru.”

Iklan

Perasaan sengsara ini bisa menyebabkan masalah mendalam. “Keterikatan patologis yang berakar pada trauma relasional dapat berubah menjadi perasaan obsesif terhadap pujaannya itu,” ujar Sheri Heller, seorang pekerja sosial berlisensi di New York City. Dia mengatakan “kecanduan cinta” adalah “kelainan yang sangat menyakitkan yang didorong oleh perasaan kesepian yang traumatis dan hilangnya perasaan aman. Ini bisa berlanjut sepanjang hidupnya.”

Mereka yang mengalami galau sama gebetan padahal belum pacaran, cenderung memandang hubungan baru sebagai komitmen yang seharusnya berlangsung lama. Makanya mereka akan sangat terpukul saat momen PDKT berakhir begitu saja. Setelah mengalami penolakan, "seseorang yang terlalu jatuh cinta mengalami penarikan diri,” ujar Heller. “Selama masa penarikan diri, kepanikan akibat ditinggalkan diselingi memori traumatis yang tidak ada hentinya dan perasaan benci terhadap diri sendiri.”

Apakah Ada Solusinya?
Temuan Baumeister menunjukkan kalau kebanyakan orang bisa mengatasi perasaan ini kok. Orang normal sih harusnya bisa move on. Walau demikian, mereka yang ditolak cintanya “mengira tidak akan pernah bisa bahagia lagi,” ujarnya dalam sebuah opini yang dimuat surat kabar Chicago Tribune. “Anggapan mereka sebenarnya salah.”

“Tidak ada waktu yang jelas berapa lama orang bisa mengatasinya, terutama saat melibatkan perasaan" kata Racine R. Henry, pendiri Klinik Konsultasi Psikologi Sankofa Marriage and Family Therapy di New York. Dalam kondisi galau karena gebetan menghindar atau mendadak putus hubungan, lebih baik orang yang bersedih segera menghubungi sahabat atau teman-teman terdekat. Jangan ragu minta bantuan mereka buat move on. “Anda bisa mengapus kontaknya dari ponselmu,” ujar Henry. “Hapus foto-fotonya dari ponsel. Anda bisa berhenti mengikuti dan memblokir media sosial mereka. Beritahu teman-teman Anda bahwa hubunganmu sudah berakhir. Anda mungkin tidak bisa melupakannya, tapi Anda bisa menjaga jarak dari mereka.”

Beberapa ahli kesehatan mental yang diwawancarai untuk cerita ini menganjurkan mereka untuk lebih peduli pada diri sendiri dan mendapatkan dukungan dari teman. Setelah beberapa saat, keadaan temanmu akan membaik dan siap untuk mencari pasangan baru.

Jadi enaknya kasih saran apa ke temenmu?
Kamu tidak aneh dan kamu bukanlah stalker kalau penasaran sama gebetan yang gagal dipacari. Kecuali sih kalau kamu sudah berlebihan melakukannya. Kamu hanya mengharapkan hubunganmu tetap berlanjut dan tidak ada salahnya kamu merasa sedih saat hubungan sama orang baru ini berakhir. Ingat, si doi sebetulnya juga sulit menghadapi momen putus hubungan. Kamu boleh bersedih hati, tapi kalau perasaan ini tetap membuatmu sengsara, sepertinya kamu harus membicarakan rasa kesepianmu sama psikolog profesional deh.