FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner dan Tinder

Mengapa ‘Tinder Versi Restoran’ Itu Sangat Problematis

Apa yang terjadi jika kegiatan memilih-milih restoran disamakan dengan memilih-milih teman jalan di tinder?
Foto: Getty Images / Ezra Bailey

Jika ada orang yang mengatakan dengan serius dan menggebu-gebu bahwa Tinder adalah aplikasi yang penuh kebaikan, maka bisa dipastikan dia adalah orang tidak waras. Namun siapapun yang pernah menggunakan aplikasi kencan tersebut pasti tahu juga betapa mudahnya untuk ketagihan ngeswipe kiri dan kanan seharian. Tidak terasa, sudah tiga jam kamu melihat dan menghakimi orang-orang berdasarkan foto dan informasi yang mereka unggah sambil menunggu kelas mata kuliah berikutnya dimulai.

Iklan

Tentu saja Tinder tidak selalu negatif, dan berhasil membantu beberapa orang menemukan jodohnya. Tapi ingat, Tinder juga semakin menguatkan kultur millenial yang tidak sabaran—apa-apa maunya cepat dan instan. Cowok A bikin ilfil dan bulu hidungnya kelewat panjang? Tinggal swipe lagi sana sini. Dan seterusnya.

Sebuah aplikasi baru bernama Feed Me yang diciptakan oleh jurnalis Montreal, Amie Watson berusaha membuat pengalaman nge-swipe lebih menyenangkan dan positif. Dipasarkan sebagai 'Tinder versi restoran', app ini sebetulnya mirip gabungan antara Tinder dan Yelp. Interfacenya memang hampir persis dengan Tinder, bedanya, kamu tidak akan melihat wajah-wajah cowok berusaha sok keren, tapi foto restoran yang ditemani resensi pengunjung. Banyak dari resensi ini ditulis oleh Watson sendiri. Sisanya mengambil dari Yelp, termasuk foto-fotonya.

"Dengan Feed Me, kamu akan melihat banyak pilihan restoran secara berturut-turut, dan kamu bisa langsung bereaksi, 'Wah, gue pengen ini nih!'" jelas Amie Watson ke MUNCHIES. "Tapi ya bisa juga kamu hanya membuka app ini selama sepuluh menit ketika sedang menunggu bis atau sedang bosan di kelas—ya sama persis seperti Tinder—ya seru-seruan aja. "

Pendekatan app yang ringan dalam perihal memilih lokasi makan memuat proses pemilihan lebih menyenangkan. App ini bahkan menyajikan fitur filter seperti "untuk kencan" dan "masakan pedas" yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan dan selera.

Iklan

Photo via Flickr user J. Annie Wang

Namun sama seperti Tinder, kebanyakan orang malas membaca resensi restoran yang memiliki foto jelek. Mereka akan langsung ngeswipe kiri dan lanjut ke foto berikutnya. Ini membuat Feed Me layak dipertanyakan karena ditakutkan koki akan mengorbankan rasa demi estetika pengunjung yang mencari makanan yang "ramah-Instagram".

"Koki seharusnya berfokus ke makanan, bahan yang digunakan, dan yang paling utama, pengalaman konsumen," jelas Koki Craig Wong, pemilik restoran terkemuka di Toronto, Patois dan Jackpot (keduanya tidak ada dalam Feed Me) ke MUNCHIES. "Ketika tiga hal ini diperhatikan, seharusnya kamu akan mendapat banyak swipe kanan." Masalahnya, pengalaman yang positif belum tentu bisa mengalahkan foto yang jelek mengingat itu adalah hal pertama yang dilihat pengguna. Dalam kultur makanan yang serba berat ke estetika, menciptakan sebuah platform di mana masakan yang cantik lebih penting daripada makanan enak rasanya bukan keputusan yang tepat bagi masa depan industri kuliner.

Koki dan restoran menghabiskan banyak waktu menyusun menu, jauh lebih lama dibanding seseorang menyusun profile Tinder mereka. Mengecilkan semua usaha ini menjadi aktivitas nge-swipe yang dangkal rasanya seperti mengencingi industri kuliner.

Sama seperti bagaimana Tinder membantu kita bertemu orang-orang baru, Feed Me bisa membantu pengguna menemukan restoran-restoran baru.

Masalahnya, ada kemungkinan besar mereka hanya akan terus nge-swipe, berharap foto masakan selanjutnya lebih keren daripada yang sebelumnya.