FYI.

This story is over 5 years old.

perdagangan manusia

Jomplangnya Keseimbangan Gender Tiongkok Memicu Penculikan Perempuan asal Indonesia

Sampai sekarang, korban perdagangan manusia ke Cina dengan embel-embel 'pengantin' mencapai 16 orang dari berbagai wilayah Tanah Air.
Ilustrasi oleh Firman Dicho.

Sejak lima bulan lalu, Titin Agustin menghilang di Cina.

Gadis tersebut adalah satu dari enam belas perempuan warga negara Indonesia yang menghilang beberapa bulan terakhir. Mereka hampir pasti dijual kepada seorang makelar pernikahan di Cina daratan. Di sana, "suami" Titin menguncinya dalam sebuah ruangan tak berjendela. Titin tak bisa bicara bahasa Mandarin apalagi membaca aksara kanji. Yang jelas, Titin saat ini masih di Cina—disekap sebuah ruangan entah di mana. Dia berharap mendapatkan bantuan dan diam-diam terus menghubungi keluarganya di Indonesia.

Iklan

"Kondisi di sini buruk sekali," kata Titin dalam rekaman telepon yang diterima VICE. "Aku dikasih makan lewat jendela. Aku hanya mau pulang."

Dalam sebuah video, Titin tampak ketakutan. Dia masih terlalu muda untuk dinikahkan. Dia memegang telepon dekat wajah. Di sela-sela sambungan telepon, Titin kerap menggigiti kuku. Sebuah selimut nyaris menutupi parasnya. Titin kelihatan berada di sebuah ruangan. Dia mengaku terpaksa berbisik-bisik agar keselamatannya terjamin.

Kebanyakan perempuan lain yang senasib dengan Titin mengemukan hal serupa. Mereka baru bisa menelepon keluarganya saat berada dalam kamar kecil atau dikunci di dalamnya. Perempuan-perempuan malang ini hanya mampu bersuara pelan, khawatir "suami" mereka akan mendengar, lalu merangsek masuk dan merampas ponsel mereka.


Tonton dokumenter VICE menyorot praktik barbar penculikan perempuan untuk dipaksa menikah di Kyrgyzstan:


Sebagian perempuan ini bisa menyebutkan provinsi Cina tempat mereka berada saat ini—umumnya, perempuan itu mengaku disekap di provinsi padat macam Hainan dan Anhui. Sementara yang lainnya bahkan tak tahu menahu soal petunjuk geografis macam itu. Mereka sadar masih terperangkap di Cina, tapi tak tahu harus ke mana. Tentu saja, ketidaktahuan di mana pastinya mereka disekap ini melengkapi penderitaan mereka setelah jadi korban perdagangan manusia.

"Kondisinya sekarang sangat memprihatinkan," kata Grace Natalie, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam sebuah konferensi pers tentang kasus perdagangan paksa manusia yang menimpa perempuan-perempuan muda ini. "Mereka disekap diberi makan lewat jendela, ada foto menunjukan luka. Jadi kondisinya memprihatinkan dan mereka terjebak di negara jauh, nggak bisa pulang."

Iklan

Grace dan PSI yang pertama kali mengirimi kami video-video rekaman telepon gadis-gadis ini kepada media. Grace saat ini sedang melobi pemerintah turun tangan membantu 16 gadis ini. Grace juga berupaya berkomunikasi dengan ke-16 korban lewat fitur video chat.

Orang tua korban bukannya pasrah atas nasib buruk yang menimpa putri mereka. Mereka telah melaporkan kasus ini ke polisi. Masalahnya, kasus perdagangan manusia memang dikenal susah diselesaikan. Keluarga Titin baru meminta bantuan Grace dan PSI setelah merasa penanganan kasus ini tak mengalami perkembangan berarti.

Temuan adanya perdagangan manusia menimpa gadis muda asal Indonesia jelas meresahkan. Bagaimana bisa 16 orang perempuan menghilang begitu saja di Cina? Sepintas, ini cuma contoh kasus perdagangan manusia berkedok agen penyalur TKI abal-abal. Kasus semacam ini sayangnya kelewat lazim di Indonesia, negara dengan 4,7 juta warganya bekerja di luar negeri di sektor minim keterampilan sebagai pembantu rumah tangga, pekerja konstruksi, dan buruh industri pertanian. Di lapangan, jumlah riil buruh migran asal Indonesia bisa jadi lebih tinggi—bahkan sampai dua kali lipat data resmi, menurut sejumlah estimasi lembaga nirlaba.

Berita tentang tenaga kerja perempuan asal Indonesia yang disiksa oleh majikannya atau disekap dan dipaksa bekerja tanpa bayaran kelewat sering muncul di tajuk surat kabar nasional Indonesia. Tiap kisah tersebut kerap menegaskan bahwa keputusan bekerja di luar negeri, terutama bagi perempuan, adalah opsi yang bikin buntung, alih-alih membawa untung.

Iklan

Persoalannya, kasus yang menimpa 16 gadis Indonesia di Tiongkok ini lebih parah dari itu. Mereka diiming-imingi bakal diberikan pekerjaan, biasanya sebagai pembantu rumah tangga dan tenaga pemasaran produk kosmetik. Nyatanya, mereka dijual sebagai pengantin perempuan oleh mafia perdagangan manusia yang sudah memerdayai perempuan-perempuan muda dari kawasan Asia Tenggara selama satu dekade.

Sebelumnya, kartel perdagangan manusia mengincar gadis-gadis dari provinsi miskin di Vietnam Utara, dekat perbatasan dengan Tiongkok. Belakangan, mereka meluaskan target mereka. Kini mereka juga memburu perempuan muda dari Laos, Kamboja, dan sekarang Indonesia.

"Bisnisnya sangat mencurigakan," kata Mimi Vu, direktur advokasi di Pacific Links Foundation, sebuah LSM yang memerangi perdagangan pengantin di Asia Tenggara. "Mereka biasanya memperdagangkan perempuan-perempuan miskin atau yang datang dari etnis minoritas. Data statistik kami belum cukup bukti jadi kami tidak bisa menyebarkannya. Kami hanya mengetahui para perempuan yang sudah berhasil pulang. Kami tidak tahu berapa banyak yang masih di Cina. Situasinya benar-benar suram."

Permintaan akan pengantin di kawasan pedesaan Cina menjadi alasan kenapa kegiatan usaha ilegal ini berkembang. Cina memiliki masalah demografis yang serius karena Kebijakan Satu Anak. Akibatnya, ada ketimpangan gender di sana. Saat ini, jumlah laki-laki di Cina 34 juta lebih banyak daripada perempuan. Itu artinya, ada jutaan laki-laki yang melajang karena kurangnya perempuan.

Iklan

Tonton dokumenter VICE mengenai ketimpangan jumlah lelaki-perempuan yang membuat persoalan jomblo jadi sangat serius di Tiongkok:


Selain itu, laki-laki di Cina harus membayar sejumlah uang jika ingin menikahi seorang perempuan. Hal ini juga menjelaskan tingginya permintaan akan perempuan asing untuk dikawinkan.

"Kebijakan jumlah anak dilonggarkan sejak 1984. Di beberapa daerah pedesaan, pasangan suami istri boleh punya anak kedua kalau anak sulungnya perempuan," kata Stuart Gietel-Basten, dosen ilmu sosial dan kebijakan publik di Hong Kong University of Science and Technology. "Jadi bukan karena kebijakan saja. faktor ekonomi juga berperan. Istilahnya ada 'harga' untuk pengantin."

'Harga pengantin' adalah uang yang harus dibayar oleh pihak laki-laki sebelum menikah. Uang ini berfungsi sebagai mahar. Praktiknya dilakukan di seluruh Cina dan harganya semakin mahal.

Untuk kawasan pedesaan seperti Qingyang, di mana jumlah laki-laki melampaui perempuan, harga pengantinnya bisa mencapai 150.000 yuan atau sekitar Rp327 juta. Gietel-Basten menjelaskan bahwa hubungan di Cina sering tidak seimbang secara sosial dan finansial, sehingga sebagian besar perempuan lebih pilih menikah dan menyebabkan "banyaknya laki-laki yang menjomblo."

"Kemungkinan besar, laki-laki seperti ini akan kesulitan menikah karena datang dari kelas ekonomi rendah dan pedesaan," katanya. "Mereka tidak bisa ke Ukraina, misalnya, untuk menikahi perempuan. Tidak tahu mereka bisa dapat uang dari mana. Tapi, mereka akan bertahan. Mereka tidak akan ‘mati’ hanya karena tidak punya istri. Paling mereka pilih menjomblo atau berpacaran, mendatangi PSK, atau beremigrasi."

Iklan

Pilihannya lebih banyak buat mereka yang kaya, katanya. Pedagang manusia memanfaatkan kondisi ini untuk memperdagangkan pengantin perempuan. Mereka mulai menculik dan menjual perempuan Vietnam. Menurut data statistik polisi, ada sekitar 6.000 kasus perdagangan pengantin yang dilaporkan di Vietnam sejak 2011 hingga 2017. Angka tersebut kemungkinan jauh dari jumlah riil di lapangan, kata Michael Brosowski, pendiri Blue Dragon Children’s Foundation, LSM lain yang menangani masalah ini.

"Data yang ada sulit diperoleh dan diandalkan," kata Brosowski. "Orang mungkin akan bilang badan statistik mengada-ngada."

Meskipun data statistiknya tidak cukup meyakinkan, masalahnya tetap saja serius.

"Bisa jadi perempuan Indonesia sudah dijual ke Cina sejak lama, tapi baru ketahuan sekarang," kata Brosowski. "Mengirim pengantin dari Indonesia mungkin susah, tapi masih menguntungkan para pedagang."

Menurut Brosowski, alasan pelaku perdagangan mencari perempuan dari negara lain selain Vietnam karena LSM di sana sudah melarang praktiknya.

"Atau mungkin mereka cari alternatif lain karena sulit mendapatkan pengantin dari Vietnam," katanya. "Pelaku akan untung kalau dapat pengantin dari Indonesia karena mereka tidak bisa kabur dengan mudah. Kabur ke negara tetangga saja susah, apalagi kalau lewat jalur laut."

Sebagian besar pakar berpendapat peluang menyelamatkan 16 perempuan ini sangat kecil. Vu menerangkan para perempuan korban perdegangan tersebut akan mengalami berbagai kesulitan begitu tiba di Tiongkok. Mereka tidak bisa berbahasa Mandarin, dan tidak tahu jalan dan orang-orang di sana. Belum lagi laki-lakinya kasar dan tidak berperasaan.

"Mereka seringnya tidak beruntung dan akhirnya menikahi keluarga yang suka melakukan kekerasan," katanya. "Saya khawatir para korban akan diperkosa dan dipukuli. Saya sering menyaksikan 'suami' menghamili pengantinnya, dan setelah dia lahiran anak laki-laki, dia akan dijual ke ‘suami’ lain sebagai barang bekas. Atau dia akan dipaksa kerja sebagai buruh secara cuma-cuma. Satu-satunya cara kabur ya dengan belajar bahasa Mandarin."

Lalu, seperti apa nasib 16 perempuan WNI yang hilang dalam waktu dekat? Hanya waktu yang akan menjawab. Skenario terbaik adalah aparat setempat menemukan mereka dan memulangkannya dari Cina. Tapi, prosesnya butuh waktu yang lama. Bahkan, menurut beberapa pakar, hal ini kecil mungkin terjadi. Bagi perempuan-perempuan ini, mereka harus mengerahkan segalanya untuk bertahan hidup. Kecuali kedua negara, Indonesia dan Tiongkok, bergerak bersama menyelamatkan mereka.

"Ma, tolong ma," demikian isi pesan yang dikirim oleh salah seorang perempuan, Eno Chandra yang masih 23 tahun, kepada keluarganya. "Aku enggak kuat. Aku tiap hari dikasih obat, dipaksa sama dia terus. Sekarang juga bisa WA karena lagi di kamar mandi. Tolong, ma, jangan sampai aku bunuh diri dan mati di sini."

Waktu terus berjalan, dan 16 perempuan asal Indonesia bertaruh nyawa di Tiongkok tanpa bisa mengandalkan siapa-siapa.