FYI.

This story is over 5 years old.

Selamat Jalan Path...

Tren Mengenang Path di Insta Story Menjelaskan Penyebab Medsos Eksklusif Itu Tutup Usia

Nostalgia yang sedang banyak dilakukan pengguna medsos di Tanah Air itu bagai menabur luka buat manajemen Path. Mau gimana lagi, insta story adalah salah satu faktor yang bikin orang sini malas main Path.
Kolase foto oleh Firman Dicho Rivan.

Awal pekan ini aplikasi media sosial Path mengumumkan layanan mereka akan diakhiri. Media sosial ini mengumumkan penutupannya lewat sebuah pengumuman berjudul "The Last Goodbye". Warganet Indonesia, sebagai salah satu pasar terbesar Path di pasar global, beramai-ramai merayakan era kejayaan Path dengan mengunggah momen Path mereka di…

INSTAGRAM STORY!!!

Kini Path jauh terlihat seperti pacar yang tak dianggap. Dia baru dicari pas dia bilang mau pergi.

Iklan

Di Indonesia, Path lahir menjembatani antara pamer intelektualitas dan kegemaran ala Facebook dengan gaya yang lebih personal, sekaligus menawarkan hal yang tidak bisa dilakukan di Instagram: update momen tanpa polesan. Maklum Facebook di Indonesia tidak digunakan sebagai ajang pertemanan yang selektif, tapi sebagai ajang jualan bahkan kampanye politik. Kadangkala kita berteman dengan orang enggak jelas dari mana, yang penting punya banyak teman deh.

Path lahir pada 2010 dengan fitur yang jauh lebih sederhana dibanding Facebook, sekaligus menawarkan fitur pamer yang lebih bersahabat buat pengguna. Misalnya, fitur "reading to" untuk menampilkan sisi identitasmu sebagai sosok intelektual. "Watching to" dan "listening to" yang bisa membuatmu terlihat edgy dengan hanya menampilkan film dan musik absurd yang nggak banyak orang tahu tanpa harus ngetik panjang-panjang ala Facebook.

Jika kamu mau ngamuk atau nyampah pun, Path tak seberbahaya Facebook yang kontennya bisa disebarkan begitu saja dan mendadak viral. Dulu, satu akun Path hanya bisa menerima 150 teman, inilah yang menjadi alasan banyak orang Indonesia menggunakannya. Lebih personal dan ada kesan aman.

Nah justru atas berbagai alasan itulah, pengamat teknologi sedunia jadi heran… Path yang namanya sama sekali nggak kedengaran di Silicon Valley bisa laku di pasar kayak Indonesia.

Kemunculan Path, yang tidak banyak dipahami petinggi Silicon Valley, jadi solusi buat pengguna di Indonesia yang tak suka lagi Facebook. Dulu, sempat muncul anggapan Facebook di Indonesia hanya dihuni orang-orang tua, atau kalangan intelekcual yang biasa menuliskan isi kepalanya panjang-panjang dalam status di berandanya. Facebook bahkan pernah lebih banyak dihuni buzzer politik yang kerjaannya kelahi, dan hal ini bikin banyak orang malas membukanya.

Iklan

Rasanya Mark Zuckerberg harus mengucapkan banyak terima kasih pada admin akun shitposting. Berkat mereka, milennial yang mengalami betul era awal kemunculan facebook masih setia padanya. Coba lihat akun SEMIOTIKA ADILUHUNG, Qasidah Memes for All Occasions, sampai page fanatis mie instan yang debatnya udah kayak agama baru. Berkat mereka, Facebook di Indonesia tak sepenuhnya ditinggalkan.

Sementara itu, Instagram dulunya lebih banyak dipakai orang yang lebih suka feed-nya terlihat rapi oleh gambar-gambar polished hasil editan filter gratisan. Unggahan fotonya pun enggak bisa sembarangan. Kamu enggak bisa asal ambil gambar mi instan pinggir jalan, atau gambar tertawa di dalam bis di tengah kemacetan. Sebaiknya foto itu harus yang paling estetik, nggak boleh off-brand. Jika branding kamu adalah "traveler", maka posting di Gili Lawa atau Colloseum Roma (jika mampu) adalah kewajiban. Apabila brandingmu adalah sosok "intelektual”, misalnya, maka buku yang sedang kamu baca sore hari di kedai kopi estetik wajib diunggah di feed Instagram.

Makanya, Path pernah jadi solusi yang menyimpan kenangan penggunanya, dan kini di tengah penutupannya orang ramai-ramai kembali pada Path hanya untuk… ehm mengunduh foto-foto kenangan lama. Dennis Reinhard adalah salah satu bekas pengguna Path yang kini juga turut mengenang kehadiran era kejayaan Path yang Ia gunakan sejak 2013 hingga akhir 2017 lalu, dengan mengunggah ulang momen Pathnya di Instagram Story.

Iklan

"Download Path lagi buat membuka memori masa lalu. Nostalgia lah istilahnya. Sekalian nge-save foto-foto lama," kata Dennis.


Tonton dokumenter VICE soal kiprah para pembajak kapal di Sungai Danube:


Di Indonesia, penutupan Path pun tak bisa dilepaskan begitu saja dari kehadiran aplikasi lain yang dianggap lebih variatif, misalnya saja Instagram Story. Pada awalnya, bisnis Instagram terlihat berat. Berat dengan asumsi semua penggunanya benar-benar mementingkan kerapian feed, jumlah likes dan komentar. Penggunanya sengaja mengatur jadwal unggah foto dengan jangka waktu tertentu, hanya pada saat-saat sibuk demi angka like yang tinggi.

Aku ingat betul teori kawanku dalam mengunggah konten Instagram, "Rabu malam sekitar jam 7-9 itu waktunya gue posting foto. Enggak boleh keseringan, tapi enggak boleh terlalu jarang juga." Itu konsensus yang kita pahami. Kalau semuanya jaim gini, Instagram bisa-bisa bangkrut nih karena yang pakai kebanyakan pretensius. Sama kayak aku.

Rasanya Instagram tahu betul penggunanya pretensius, bukankah itu bikin Instagram jadi sangat membosankan? Instagram sadar betul aplikasinya cepat atau lambat akan berakhir, sepertinya mereka butuh fitur yang membuat penggunanya ketagihan. Saat Kevin Systrom merilis Instagram Story, Ia sadar betul bahwa ide tersebut diambil dari Snapchat dengan mengatakan bahwa Snapchat berhak diakui hak intelektualnya sebagai pencetus fitur Story yang kini diadopsi Instagram.

Iklan

"Dulu enak tuh. Masih teman-teman deket aja. Kayaknya makin kesini orang baru kenal juga udah nge-add Path," ujar Dennis. "Makin lama makin banyak sosial media lain yang harus di-update. Capek juga. Makan waktu. Jadi mulai deh di sortir yang kira-kira perlu dan enggak."

Barangkali sekarang para pecandu medsos di Indonesia menganggap Instagram punya fitur lengkap. Bisa pamer feed super rapi, di saat yang bersamaan penggunanya bisa juga nyampah tanpa khawatir feed mereka berantakan dengan Instagram Story, dan terakhir jumlah pengikut kita menjadi validasi siapa diri kita saat ini.

Jika salah satu penyebab pengguna Path makin sedikit di Indonesia adalah karena kehadiran Instagram Story, dan kini pengguna Path mengunduh momen Path mereka untuk kemudian diunggah ulang di Instagram Story sebagai bentuk perpisahan bukankah itu ironi yang menyedihkan?

Netijen Indonesia, YOU ARE REALLY SAVAGE!!!