FYI.

This story is over 5 years old.

Pangan Organik

Tren Pangan Organik atau Permakultur Bagus, Tapi Jika Tak Hati-Hati Bisa Merugikan Iklim

Padahal di Indonesia lagi tren banget permakultur. Kata peneliti, syaratnya jangan sampai buka lahan besar-besaran banget.
Pertanian permakultur di pinggiran Ibu Kota Tokyo
Pertanian permakultur di pinggiran Ibu Kota Tokyo. Foto oleh Yuriko Nakao/Reuters

Tentu tak ada yang mau melewatkan seporsi sayuran dan buah segar organik yang diambil dari sebuah kebun di pedalaman antah berantah, yang tersaji di mangkok besar dengan siraman mayones dan saus thousand island. Buat para vegetarian hal itu tentu adalah suatu kenikmatan yang hakiki.

Namun buat para vegetarian yang mendewakan makanan organik di atas segalanya, terutama mereka yang mau merawat bumi tanpa bahan kimia, tampaknya harus mulai berpikir dua kali sebelum mendorong semua orang mengonsumsi makanan organik. Sebuah studi yang terbit di jurnal Nature pekan lalu menunjukkan pertanian organik juga mempunyai dampak buruk terhadap iklim.

Iklan

Studi yang bertajuk "Assessing the Efficiency of Changes in Land Use for Mitigating Climate Change" yang dilakukan sekelompok peneliti dari Chalmers University of Technology, Swedia, menyimpulkan pertanian organik menghasilkan panen lebih sedikit lantaran tidak memakai pupuk kimia. Sehingga untuk menghasilkan panen lebih banyak, maka dibutuhkan lahan lebih luas. Ketika pembukaan lahan organik terjadi berlebihan, emisi karbon yang dihasilkan tak kalah buruk buat planet Bumi.

"Penggunaan lahan besar-besaran untuk pertanian organik secara tidak langsung menghasilkan emisi karbon dioksida lebih besar, ini disebabkan oleh deforestasi," kata salah satu peneliti Stefan Wirsenius. "Produksi pangan dunia diatur oleh skema perdagangan internasional, jadi bagaimana kita bercocok tanam di Swedia misalnya, akan mempengaruhi deforestasi di daerah tropis. Jika kita membuka lahan lebih banyak untuk jumlah pangan yang sama, kita berkontribusi terhadap deforestasi besar-besaran di daerah lain secara tidak langsung."

Menurut Wirsenius penggunaan lahan amat penting dalam menentukan kebijakan tentang iklim karena vegetasi dan tanah adalah penyimpan karbon alami. Jika karbon tersebut lepas karena ekspansi pertanian—ditambah dengan emisi hasil produksi pertanian—hal tersebut bisa menyumbang 20 hingga 25 persen emisi gas rumah kaca.

Yang jadi ironis, strategi untuk menjaga iklim mengharuskan kita menjaga agar karbon tersebut tidak banyak yang lepas ke lapisan ozon sembari memenuhi kebutuhan pangan yang diprediksi naik hingga 50 persen pada 2050. Strategi tersebut pada akhirnya berlawanan dengan sistem pertanian organik.

Iklan

Nah, buat pecinta daging yang jarang makan sayur mungkin merasa tidak berdosa sendirian. Eh tapi tunggu dulu, industri peternakan—termasuk peternakan organik—sebenarnya tak kalah brutal dalam menyumbang emisi karbon. Jadi gini, dalam industri peternakan yang menuntut ternaknya untuk menjadi gemuk dengan sangat cepat, para peternak memberi makan sapi dengan biji-bijian seperti gandum dan jagung. Imbasnya sama dengan pertanian organik tadi. Lantaran peternakan butuh pasokan pakan ternak organik, permintaan tersebut memicu produksi pakan organik yang tinggi.


Tonton dokumenter VICE mengenai eksperimen pertanian sadar karbon di Meksiko sebagai solusi mengatasi perubahan iklim:


"Ini karena produksi susu dan daging organik membutuhkan pakan organik juga," kata Wirsenius. "Artinya produksi susu dan daging macam itu tentu membutuhkan lebih banyak lahan dibandingkan produk konvensional."

Mengonsumsi makanan organik memang menjadi tren sejak beberapa tahun terakhir. Di AS angka konsumsi makanan organik mencapai US$49,4 miliar sepanjang 2017, naik 6,4 persen dari tahun sebelumnya menurut data Organic Trade Association. Di Indonesia sayangnya belum ada catatan dan data mengenai tren tersebut. Bisa jadi karena harga pangan organik cenderung lebih mahal dibanding bahan makanan konvensional.

Di Indonesia tren pertanian organik atau permakultur sudah marak sejak lima tahun terakhir di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Salatiga, mengundang para kelas menengah dan hipster untuk menyepi dan kembali ke alam. Semangat permakultur pada intinya adalah ingin melawan hegemoni pasar bebas yang menghisap para petani, dengan menerapkan skema perdagangan adil dan transparan.

Secara teknis, permakultur dan budaya mengonsumsi makanan organik tentu berimbas positif pada tubuh dan Bumi. Di satu sisi, kita tak lagi mencemari tubuh kita dengan substansi kimia yang jamak ditemui pada makanan konvensional yang mungkin terpapar pupuk kimia dan pestisida. Di sisi lain, lingkungan juga menjadi lebih sehat lantaran tak ada limbah yang terbuang sia-sia. Pendek kata apa yang sudah diambil dari alam, kembali kepada alam.

Dilema ini tentu membutuhkan pemecahan yang akurat. Toh, masalah terbesar dari pembukaan lahan selama ini tidak berasal dari pertanian organik, melainkan pembalakan liar, kebutuhan atas permukiman dan industri sawit.

Intinya selama produksi pangan organik masih bisa dipertanggungjawabkan dan dilakukan secara adil pada lingkungan, ya enggak ada masalah sih.