Panduan Tahap Demi Tahap Buat Merelakan Kekasihmu Pergi
Ilustración: Daniella Syakhirina

FYI.

This story is over 5 years old.

rock bottom

Panduan Tahap Demi Tahap Buat Merelakan Kekasihmu Pergi

Ada lima tahapan mental yang pasti kalian hadapi setelah putus cinta.

Selamat datang di seri Rock Bottom, ini adalah kolom VICE Indonesia membahas isu-isu kesehatan mental. Kolomnis kami, Katyusha Methanisa, menulis bermacam artikel mengenai gangguan mental dari sudut pandang personal.

Seumur hidup, aku sering banget kehilangan orang-orang yang kusayangi. Beberapa di antaranya pergi dari hidupku karena meninggal dunia. Sebagian besarnya putus. Menurut Elisabeth Kubler-Ross, psikiater yang mencetuskan teori lima tahap kesedihan, kita mengalami serangkaian emosi saat kehilangan seseorang. Berikut ini adalah interpretasiku atas lima tahap kesedihan itu, sehubungan dengan kandasnya hubungan cintaku baru-baru ini.

Iklan

Penyangkalan, Menutup Diri, dan Tergila-Gila Cari Informasi

Sewaktu masih lima tahun, kami sekeluarga mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobil kami melewati jalan tol dari rumah nenek ke rumah kami. Saat itu sudah larut malam. Aku duduk di bangku depan sambil memeluk boneka Elmo. Tak lama setelah mobil dinyalakan, aku tertidur lelap. Aku terbangun dengan pecahan-pecahan kaca pada kelopak mata. Mobil itu berada di sisi jalan tol dan aku sendirian di dalamnya, terikat sabuk pengaman. Ada truk besar di depan mobil kami, dan ada anggota kepolisian, ngobrol dengan orang tuaku. Kaca depan mobil kami lepas. Butuh beberapa saat sampai aku menyadari kalau selama kecelakaan berlangsung, aku tertidur pulas. Putus dengan pacar, rasanya mirip-mirip dengan kecelakaan itu. Aku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi karena buktinya ada di mana-mana. Tapi aku enggak ngeh saat kejadian… rasanya enggak pernah nyata, dan selalu ada jarak antara diri sendiri dan kejadian itu. Aku cerita ke semua orang tentang apa yang terjadi supaya aku bisa sadar. Mungkin, kalau aku ceritakan ke cukup banyak orang, otakku bisa konek. Aku bisa keluar dari kondisi disosiasi, dan mulai percaya bahwa kejadian itu benar-benar, ya, kejadian.

Sudah dari sananya aku suka ngescreenshot segala macem, dan kesukaanku itu menjadi-jadi di masa putus. Aku enggak pernah nyeritain versi TLDR-nya doang. Aku selalu ngirim semua bukti-bukti percakapan ke semua orang yang mau baca. Jadi kalau yang aku alami ini enggak nyata, setidaknya bukan aku doang yang ngaco. Ini semua mirip thread Reddit soal Mandela Effect, dan aku adalah orang yang ngepost pertanyaan 'serius nih, ini kejadian?' sekaligus komentator yang ngasih bukti-bukti berupa foto. Teman-temanku biasanya jadi yang ngevote up/down. Kadang mereka enggak merespon, sih, lagian siapa juga yang sepenasaran itu sama kehidupan pribadiku. Tapi kadang aku sering maksa mereka baca screenshots itu, menuntut mereka untuk mencernanya juga. Aku butuh tahu mereka belain yang mana—aku atau mantanku—supaya aku punya alasan baru untuk merendahkan diri sendiri. Jangan ditiru di rumah ya.

Iklan

Marah-Marah dan Jadi Ngeselin

Setelah akhirnya aku berhenti menyangkal kenyataan (kalau percintaanku kandas), hal pertama yang biasanya kupikirkan adalah: Kok berani-beraninya sih orang ngelakuin ini ke aku?! Aku ngerasa ditipu, terlanjur mencurahkan waktu dan tenaga. Tapi kemudian aku sadar, pantes aja aku digituin, emang aku orang paling kacrut. Terus aku ngerasain jenis kesedihan berbeda, karena menyadari hal itu. Lalu aku mencari cara supaya aku bisa lupa lagi. Biasanya, aku mainan Tinder dan ngajak ngobrol siapapun yang 1) punya tampang lumayan, atau 2) berada dalam jarak 20 km denganku (iye, rumahku jauh emang). Bagus banget kalau cowok ini memenuhi kedua kriteria tersebut. Aku pergi kencan setiap tiga hari sekali dengan cowok-cowok enggak jelas yang baru sekali chat sama aku. Biasanya, ini semua berujung pada hate-fucking. Abis itu, aku secara sukarela mengasihani diri sendiri selama dua detik sebelum berkencan dengan cowok enggak jelas yang lain lagi. Kalau kita mengabaikan fakta bahwa aku bawa pisau saku ke mana-mana, sebetulnya aku adalah mimpi basah para pembunuh berantai. Selama fase ini, aku mulai sering party-party. Acara kayak begitu adalah cara aneh untuk bertemu orang-orang. Antara aku harus teriak-teriak supaya temanku dengar, atau menyingkat segala obrolan menjadi dua kalimat saja dan mengutarakannya secepat kilat sebelum lagunya mulai lagi. Meski begitu, party-party adalah cara efektif untuk menghindari mencerna kesedihanku. Karena aku hobi merugikan diri sendiri, aku party-party tiap akhir pekan. Tiba-tiba setiap menit yang aku lalui dengan sadar adalah kesempatan mabuk. Aku enggak suka buang-buang waktu.

Selalu Berandai-Andai

Aku mulai menilai segala keputusan yang telah kuambil, yang kira-kira berkontribusi pada bencana ini. Hal ini seperti kehilangan kunci rumah di jalan ke kantor. Pikiran kita mulai mengaktifkan mode Google Street View, mencoba mencari tahu tepatnya di mana kita menjatuhkan kunci itu. Orang lain mungkin udah meneukannya dan sekarang tidak ada lagi yang bisa dilakukan, tapi kalau aku… aku butuh banget tahu kapan dan di mana persisnya semua hal jadi salah. Adakah yang bisa aku lakukan secara berbeda? Ya semuanya, tapi juga enggak ada. Kalau saja aku bisa menghindari semua peristiwa yang membentukku sampai hari ini, bencana ini enggak akan terjadi kan? Mungkin masalahnya adalah waktu. Mungkin kami putus kecepetan, atau malah hubungan kami udah basi jauh sebelum putus? Aku payah banget soal ginian, tapi aku tahu aku jago menghindari tanda bahaya. Apa seharusnya aku putusin dia saat tanda bahaya pertama? Atau malah sebaiknya aku abaikan aja semua itu, toh segalanya terlanjur terlambat? Kini aku tahu bagaimana perasaan Kim Kardashian ketika dia kehilangan anting senilai $75.000 gara-gara dikerjain di Bora Bora. Bedanya, dalam pengalamanku, anting itu adalah seorang laki-laki dewasa dan satu-satunya air di cerita ini adalah air mata. Jadi ada banyak banget 'what if' dan kalaupun semuanya terjawab, realita enggak akan jadi lebih baik.

Depresi Terus Berhari-hari

Aku kira aku bisa melongkap depresi pasca-putus karena dari sananya aku udah punya depresi. Di kepalaku, itu seperti menuang air ke lautan. Nyatanya, memang seperti menuang air ke lautan, tapi kedua air itu berbeda. Kehilangan seseorang yang aku sayangi menciptakan kesedihan yang berbeda dari kesedihan hidup di dunia. Terkadang aku terbangun dengan rasa pedih tak tertahankan, yakin banget ini adalah kepedihan maksimal yang bisa aku alami. Tapi setiap kali aku bangun, aku membuktikan perasaan itu keliru. Kepedihan ini bisa semakin buruk. Kalau sudah begini, aku lupa hapus makeup dan cuci muka sebelum tidur, karena biasanya aku menangis tanpa henti sampai ketiduran, dan pas terbangun dengan pakaian dan makeup bekas semalam, aku enggak inget gimana aku tertidur semalamnya. Tak berapa lama kemudian, aku mulai berhenti cuci muka sama sekali. Awalnya rasanya seperti pengkhianatan. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku sedang melalui fase terburuk dalam hidup, jadi kenapa enggak sekalian punya kulit yang buruk?

Satu-satunya kebiasaan yang aku pertahankan setelah putus adalah ngerefresh profile media sosial mantanku dan ngirim pesan berulang kali ke dia meskipun dia enggak pernah nanggepin. Eh ya, sori banget. Aku udah nulis sejauh ini dan baru inget untuk bilang, aku adalah jelmaan "crazy ex-girlfriend" yang ada di tivi-tivi.

Baru Deh, Ikhlas Beneran

Sudah berbulan-bulan sejak kejadian kami putus. Di titik ini, aku jadi sering banget bikin, ngirim, dan ngepost-ulang meme-meme surem, tapi berkualitas. Aku yakin ini adalah puncak keikhlasan mutlak. Sesuatu tentang menertawakan diri sendiri terasa sangat… bijaksana. Tapi ya enggak gitu juga. Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tapi keikhlasan memang enggak selamanya berasal dari Penutup. Mengutip temanku yang enggak mau namanya disebut, dalam perbincangan ponsel selama empat jam, "Closure is overrated." Lega banget denger itu, karena memang benar belaka. Yang penting, makan tepat waktu, potong kuku, dan berhenti berhubungan dengan orang-orang kayak tai, dan yan memperlakukanmu kayak tai. Ini seperti menghapus file-file lama supaya tersisa sekitar 30 GB untuk ngeinstall The Sims expansion pack. Pedih sih, tapi sepadan. Bagiku, tanda paling utama bahwa aku udah move on adalah: aku udah berhenti ngecek profil medsos mantan. Haha, apaan. Aku masih ngecekin sih, tapi cuma untuk ngelihat keadaan dia kok. Dan kalaupun mantanku kirim pesan, aku sudah enggak merasa perlu membalas secepat mungkin. Interaksi dengan dia udah enggak terlalu mempengaruhiku. Jadi aku rasa aku udah… ikhlas. Masalahnya, terkadang kita ngerasa kita udah move on, sampai suatu ketika kita ngeliat dia sama orang baru. Hal ini bikin aku ngerasa gimana gitu, bukan karena aku mau balikan, tapi karena ini mengingatkanku bahwa kita udah enggak bareng. Setelah itu aku bakal bolak-balik memutari siklus ini, karena pemulihan enggak selalu berjalan linear bagi semua orang. Aku masih suka melakukan hal-hal yang ngerugiin diri sendiri, tapi sekarang aku udah bisa pelan-pelan memperlakukan diri sendiri dengan lebih baik.