FYI.

This story is over 5 years old.

Meraba Masa Depan

Hal-Hal yang Perlu Dipelajari Kaum Millenial Revolusioner dari Gerakan Protes Masa Lalu

Satu pesan penting: media sosial tidak akan pernah menggantikan metode aktivisme gerilya. Setelah May Day lewat, renungan dari aktivis senior ini patut kita resapi lagi.

Selama musim gugur 2011, ribuan massa gerakan Occupy Wall Street—yang menuntut regulasi pasar modal lebih ketat agar krisis ekonomi tak lagi terjadi seperti 2008—memenuhi sebagian besar kawasan Financial District New York. Banyak dari kita terpesona melihat kerumunan penuh energi tadi. Saya menghabiskan banyak waktu di dekat demonstrasi seorang diri. Di masa itu, unjuk rasa menuntut perubahan sosial oleh gerakan progresif terjadi di berbagai negara. Setahun sebelum Occupy Wall Street, tepatnya di Alun-Alun Tahrir Mesir, unjuk rasa anak muda dinobatkan sebagai “revolusi Facebook.” Di jantung Ibu Kota Kairo itu, banyak orang berharap menemukan narasi perjuangan utama. Dari unjuk rasa itu, hashtag dirangkai dan video viral diunggah, seperti #OccupyWallStreet hingga #BlackLivesMatter. Sekarang, tampaknya para aktivis maupun kelompok progresif terbiasa menamai gerakan sosial dengan hashtag. Kelompok progresif pun berterima kasih kepada ponsel pintar, karena sukses mempertemukan orang-orang yang sepemikiran agar mau turun ke jalan memperjuangkan perubahan.

Iklan

Ketika momen Occupy meledak, sebagai penulis saya mencoba mencari tahu apa yang harus ditulis soal gerakan spontan lintas generasi itu. Saya cukup beruntung karena dibimbing oleh Mary Elizabeth King. Dia aktivis kawakan yang pernah mengorganisir Student Nonviolent Coordinating Committee selama era perjuangan kesetaraan kulit hitam di Amerika Serikat pada era 1960'an. Dia kini menjadi akademisi yang meneliti gerakan sosial di seluruh dunia. Saya membantu menyunting kolom rutin miliknya, sehingga kami bisa berkomunikasi secara rutin.

Orang-orang berkumpul pada protes Occupy Hong Kong 2014. Foto dari akun Flicrk johnlsl

Dari kolom-kolomnya, saya belajar apa sebetulnya faktor suatu gerakan sosial berhasil memberi dampak, dibanding yang akhirnya berlalu begitu saja.

“Media sosial bukan satu-satunya cara,” tulis King, di salah satu kolomnya yang terbit di sela-sela maraknya Occupy Wall Street. “Gerakan nonkekerasan selalu memanfaatkan teknologi paling canggih yang tersedia untuk menyebarkan pesan mereka.” Hal ini dipesankan King padaku berulang kali. Yaitu: Jangan sekadar terfokus pada teknologi—dampak teknologi tidak sebesar yang dipikirkan semua orang. King membantu saya agar lebih banyak ke lapangan, mendengarkan orang-orang secara langsung, memahami pilihan-pilihan politik mereka secara lebih baik untuk dituangkan menjadi tulisan.

Minimnya kesadaran untuk menyamakan persepsi di antara para demonstran yang cair, terlalu mengandalkan medsos, dan tidak fokus memperkuat solidaritas, adalah beberapa penyebab momentum Occupy langsung hilang ketika polisi menghancurkan kamp-kamp protes di lapangan kawasan bisnis New York.

Iklan

Kita sering diberi propaganda, terutama oleh insinyur dan bos-bos IT yang mendapat keuntungan dari pemanfaatan teknologi, kalau alat mereka bisa mengubah segalanya. Sudah tak terhitung lagi klaim dari dedengkot Sillicon Valley, kalau mereka sedang menyebarkan demokrasi sebagai produk sampingan dari aplikasi atau startup yang mereka kembangkan. Namun, setiap muncul protes yang konon digerakkan Facebook berhasil memenuhi Union Square, saya langsung teringat foto-foto May Day seabad yang lalu, ketika lapangan yang sama terisi penuh, atau bahkan lebih sesak, oleh para pengunjuk rasa yang mengenakan dasi dan topi yang serasi. Semua terjadi tanpa Facebook.

Massa sosialis memadati Union Square, New York City, pada May Day, 1912. Foto oleh Wikimedia Commons

Di era manapun, kekuasaan tetaplah komoditas yang penting. Banyak sekali teknik membangun dan menantang kekuasaan dari masa lalu yang masih bisa digunakan—kecuali kita benar-benar sudah melupakan prinsip-prinsip tersebut. Melihat betapa aktivis makin mengandalkan medsos, saya khawatir ketergantungan kelompok progresit terhadap teknologi akan membuat melupakan semua teori yang dulu sukses membuat kita menghasilkan perubahan sosial.

Kelebihan dari media sosial, perlu kita ingat adalah kemampuannya menyebarkan ide ke banyak orang dengan sangat cepat—sayangnya, itu terjadi hanya untuk periode waktu yang pendek. Medsos memang bagus untuk menciptakan riak-riak adrenalin dari pesan perjuangan tertentu ke massa sebanyak-banyaknya, tapi tidak untuk mendukung sebuah gerakan jangka panjang. Efek macam ini seharusnya tidak mengherankan, karena memang pengembang jaringan media sosial mengoptimalkan platform mereka untuk kepentingan pemasaran beruntun.

Iklan

Seorang aktivis buruh yang bekerja dengan para pekerja bergaji rendah baru-baru ini mengeluh ke saya tentang banyaknya buruh yang menggunakan Instagram—yang dianggap lebih parah dibanding sosmed lainnya.

“Hanya berbagi foto tidak akan menimbulkan dampak yang besar,” ujarnya.

Masalah yang ditampilkan media viral saat ini bukanlah hal baru. Mereka serupa dengan apa yang terjadi pada 1968 di Perancis, ketika mahasiswa dan seniman memenuhi Paris dengan slogan dan menciptakan sebuah pemberontakan yang hampir melengserkan pemerintah. Kemudian perserikatan buruh mulai turun tangan—awalnya, mereka mendukung mahasiswa, tapi setelah bernegosiasi dengan pemerintah dan mengancam menggunakan kekuatan ekonomi mereka, perserikatan malah mencari keuntungan untuk pihak sendiri.

Cerita yang serupa terjadi paska “Revolusi Facebook” terjadi di Mesir: para kaum liberal muda yang melek teknologi memulai terjadinya pemberontakan, tapi ketika pemilu berlangsung, mereka tidak berdaya menghadapi Muslim Brotherhood, yang telah menghabiskan beberapa dekade mengorganisir kekuatan lewat masjid-masjid setempat dan layanan sosial. Muslim Brotherhood akhirnya tunduk terhadap militer Mesir yang didanai AS. Kaum liberal Facebook masih harus banyak berbenah diri.

Apabila sebuah pemberontakan revolusioner yang viral terjadi sekarang di AS, siapa yang kira-kira akan meraup keuntungan? Walmart? Militer? Saya tidak yakin pemberontakan ini akan dilakukan secara mandiri oleh para kaum radikal di seluruh negeri. Setiap kali saya menghadiri pertemuan anarkis, mereka selalu membahas bagaimana mereka akan bertambah kuat apabila jasa pengasuhan anak disediakan. Masalahnya, gereja-gereja evangelis yang menjadi lawan politik mereka sudah melakukannya dari dulu.

Iklan

Para demonstran di Tahrir Square Kairo pada 2011. Foto dari akun Flickr Ramy Raoof

Gerakan perlawanan baru bisa fektif jika memiliki jaringan yang fleksibel, kuat dan bisa menyesuaikan kondisi yang selalu berubah. Mereka perlu saling mendukung sesama anggota dan calon anggota yang ingin meninggalkan lembaga yang menopang sistem saat ini. Mereka perlu mengembangkan lembaga lain untuk menciptakan dunia baru. Membagi pandangan dan pendapat lewat Facebook, Twitter, Instagram atau Snapchat tidak akan bermanfaat apa-apa jika tidak ada kontribusi nyata.

Situs DemocracyOS, yang didirikan aktivis Argentina, atau Loomio diinsiasi veteran Occupy di New Zealand, merupakan sarana open-source untuk mengambil keputusan bersama. Kedua sarana ini sangat berguna bagi partai politik baru yang sangat memanfaatkan internet. CoBudget, add-on baru di Loomio, membantu mereka menyediakan sumber daya secara kolaboratif. Proyek open-source lainnya, Diaspora—sarana internet seperti Facebook yang membebaskan penggunanya untuk mengatur data pribadinya—juga sangat berfungsi dengan baik sampai-sampai Islamic State turut bergabung di sana. CoWorker.org adalah situs web yang menyediakan wadah bagi para buruh untuk saling terhubung satu sama lain dan mempublikasikan kampanyenya supaya kondisi mereka bisa membaik.

Sayangnya, situs web yang ramah gerakan resistensi ini tidak sepopuler pesaingnya. Jarang ada perusahaan swasta yang tertarik memanfaatkannya dan mendatangi banyak pengguna ke situs-situs ini.

Iklan

Meskipun begitu, kita tidak bisa memungkiri bahwa teknologi canggih seperti smartphone memang memudahkan orang untuk merekam kekerasan polisi dan menyebarkan buktinya ke mana saja. Organisasi seperti Witness sangat memfasilitasi aktivis dalam membagikan bukti kekerasan yang mereka rekam. Akan tetapi, ada saat-saat di mana sebaiknya kita tidak menggunakan ponsel karena sangat mungkin ponselnya diawasi oleh pasukan polisi yang semakin canggih dan militeristik.

Alexander Berkman berpidato di hadapan massa yang memadati Union Square pada momen May Day 1914. Foto via Wikimedia Commons

Banyak yang bisa diharapkan dari masa depan aksi protes dan aktivisme jika kita menimbang baik-baik manfaat aplikasi dan teknologi canggih. Sekarang kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi menggelar aksi protes yang efektif, atau mendapatkan kesempatan untuk melakukan pelatihan. Peneliti seperti Erica Chenoweth dan Maria Stephan telah memilah-milah data gerakan-gerakan yang terjadi di masa lalu untuk menentukan mana yang efektif dan tidak.

Para sejarawan mulai menggali kembali cerita-cerita yang terlupakan tentang protes besar yang membentuk dunia yang kita tinggali saat ini. Program perlawanan sipil pertama di Univerity of Massachusetts Amherst, menyimpan harapan bahwa sekolah-sekolah ang mengajarkan tentang people power akan lebih mudah dijumpai dari kampus-kampus yang mengajarkan perang.

Salah satu hal menarik perhatian saya saat menghabiskan waktu di perkemahan Occupy adalah amnesia. Pengetahuan aktivis muda pergerakan protes yang terjadi dalam satu atau dua dekade bisa dibilang penuh lubang dan terlalu semenjana, jika dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang para pesohor, perang dan berbagai macam imperium. Inilah alasan kenapa banyak peserta Occupy lekas putus asa ketika gerakan yang mereka sokong tak sesukses seperti yang mereka bayangkan hanya dalam hitungan beberapa bulan saja. Mungkin juga, ini yang menyebabkan banyak aktivis menyerah dan meninggalkan Arab Spring setelah berhadapan dengan kekerasan pemerintah militer Mesir dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

Iklan

Jangan sampai lupa, revolusi Perancis melewati masa-masa sulit yang hampir mirip selama periode Pemerintahan Teror dan bangkit kekuasaan Napoleon. Ironisnya, berkat penaklukan-penaklukan Napoleon sebagai diktator, ide-ide tentang demokrasi menyebar. Di Amerika Serikat, pengkritik gerakan Occupy menuding kegagalan gerakan tersebut karena keengganannya untuk lebih melibatkan diri pada politik kotak suara, seperti yang pernah dilakukan pada insiden Tea Party. Sayang, para pengkritik ini kerap mengesamping fakta penting bahwa gerakan Occupy membuka jalan bagi politikus progresif sekelas Bill de Blasio dan Elizabeth Warren.

Unjuk rasa Occupy mungkin sudah lewat, namun pergerakan terus berderap. Saya berharap mereka yang berjuang memerangi sistem hukum yang rasis mampu melihat jauh ke depan, lebih juah dari para pengusung Occupy.

Jika ada hikmah yang bisa saya petik dari pengalaman saya meliput aksi protes, maka pelajaran itu adalah untuk tidak memercayai prediksi siapapun—termasuk ramalan yang keluar dari mulut saya. Pergerakan selalu punya cara untuk membuat kita terkesima. Akan tetapi, rasa-rasanya kita suah cukup tahu untuk tak lagi berharap bahwa beberapa aplikasi keren akan datang dibuat di masa depan dan mengubah dunia. Semua itu salah besar. Aplikasi apapun mustahil bisa mengubah dunia. Kitalah, manusia dengan segala amal baktinya, yang harus melakukan tugas tersebut.


Nathan Schneider adalah penulis buku God in Proof dan Thank You, Anarchy. Kunjungi websitenya di TheRowBoat.com. Dia bisa diajak tukar pikiran di Twitter lewat akun ini.