FYI.

This story is over 5 years old.

Kesetaraan Gender

Penyelenggara Women’s March Mengimbau Setengah Populasi Dunia Mogok Kerja Selama 24 jam

Bayangkan bila seruan itu dipenuhi pada perayaan Hari Perempuan Internasional 8 Maret. Betapa terguncangnya perekonomian Planet Bumi.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Women's March yang diselenggarakan satu hari setelah Donald Trump resmi menjabat presiden adalah demonstrasi massa terbesar di sejarah Amerika Serikat. Namun, setelah itu muncul pertanyaan apakah aksi tersebut merupakan awalan dari sebuah gerakan baru atau peristiwa lepasan yang dipicu kemarahan atas kemenangan Trump di pemilu.

Pembuktian arah gerakan itu akan terlihat dari pawai yang jatuh hari ini, Rabu 8 Maret 2017.

Pada 8 Maret, digelar serentak aksi merayakan Hari Perempuan Internasional di berbagai negara. Tema besarnya adalah "A Day Without a Woman". Harapan penyelenggara, setengah populasi dunia diimbau untuk sejenak berhenti mendukung perekonomian dunia, alias mogok kerja. Para penyelenggara mengimbau para perempuan di seluruh dunia mengambil cuti serta berupaya tidak membelanjakan uang untuk hal-hal lain selain kebutuhan perempuan. Atau setidaknya belanjakan uang untuk bisnis yang pemiliknya golongan minoritas. Pada kolom opini surat kabar The Guardian, para penyelenggara menyebut aksi ini sebagai "Feminism for 99%" alias "Feminisme bagi kelas pekerja". Penyelenggara menyatakan satu tujuan utama aksi global tahun ini adalah mendemonstrasikan kekuatan ekonomi perempuan secara kolektif. Pawai di berbagai negara hari ini adalah satu dari 10 aksi yang akan diadakan para penyelenggara dalam 100 hari pertama pemerintahan Trump. Penyelenggara asal AS bukan yang pertama kali menciptakan ide mogok kerja 24 jam. Para aktivis internasional mulai mendiskusikan ide, yang berasal dari era 1900an, untuk mendesak kesetaraan upah dan kebijakan pro-choice di banyak negara Eropa akhir tahun lalu. Pada bulan Oktober, ribuan perempuan melakukan demonstrasi di Polandia untuk memprotes rancangan undang-undang anti-aborsi yang ekstrem, dan berhasil membuat para pembuat kebijakan membatalkan RUU tersebut. Di Islandia, perempuan pulang kerja 14 persen lebih awal dari biasanya. Aksi pulang cepat ini untuk memprotes kesenjangan upah 14 persen antara buruh laki-laki dan perempuan. Setelah kesuksesan Women's March awal tahun ini, penyelenggara asal AS memberikan dukungan kepada International Women's Strike untuk merancang 8 maret sebagai aksi terbesar lanjutan merespons keberhasilan pawai sebelumnya. "Tema aksi tahun ini adalah memberdayakan perempuan-perempuan yang mungkin sebelumnya kurang aktif berpolitik, serta mengajak perempuan-perempuan terlibat pawai untuk pertama kalinya, atau mengajak mereka yang ingin berpartisipasi lagi [pada Hari Perempuan Internasional]," kata Tabitha St. Bernard, salah satu penyelenggara asal AS. Tidak semua orang memiliki kemewahan mogok kerja atau tidak berbelanja pada 8 Maret. Margarita Grigorian menyelenggarakan demonstrasi kecil-kecilan untuk Women's March Rusia pada bulan Januari silam, tapi dia tidak merencanakan apa-apa untuk hari ini dan belum mendengar orang-orang akan berpartisipasi. "Saya rasa buruh-buruh yang bekerja untuk perusahaan Rusia sulit mogok kerja atau pulang kerja lebih awal untuk mendukung isu-isu seperti ini," ujarnya lewat pesan Facebook. "Risiko dipecat amat besar." St. Bernard berkata bahwa para penyelenggara sadar betul akan tantangan-tantangan yang ada dan "mengimbau orang-orang menggunakan kreativitasnya untuk menunjukan solidaritas" dengan mengenakan pakaian berwarna merah atau berdiskusi dengan kolega di kantor mengenai isu-isu seperti kesetaraan upah dan cuti keluarga berbayar. Beberapa majikan telah bereaksi terhadap rencana aksi mogok kerja tersebut. Kawasan sekolah di North Carolina dilaporkan membatalkan kegiatan belajar mengajar setelah mengetahui jumlah guru perempuan yang berencana mogok kerja. Sekolah-sekolah negeri di Alexandria, Virginia juga berencana melakukan hal yang sama karena 300 guru izin cuti, berdasarkan keterangan tertulis. NARAL Pro-Choice Amerika menutup kantor-kantornya dan mengimbau karyawan mereka di Ibu Kota Washington D.C berpartisipasi dalam aksi protes atas kebijakan presiden Trump. Pemerintah Trump hendak mengurangi anggaran aborsi. Belum jelas bagaimana para perempuan dan laki-laki akan berpartisipasi dalam seruan mogok kerja tersebut. "Ada beberapa hal di gerakan ini yang tidak dapat diukur," ujarnya. "Aksi ini ingin mengingatkan orang-orang bahwa [gerakan ini] bukan lomba lari cepat atau bahkan lari maraton—gerakan ini lebih menyerupai lari estafet." Seruan mogok ini didasarkan pada sejarah lahirnya Hari Perempuan Internasional. Pada 8 Maret 1908, lebih dari 15.000 buruh garmen perempuan berpawai di Kota New York untuk menuntut upah adil dan hak politik. Mengikuti kesuksesan tersebut, para buruh garmen perempuan menyelenggarakan aksi sepanjang tiga bulan tahun depan yang akan dinamakan "Uprising of the 20.000."