FYI.

This story is over 5 years old.

Ramalan Masa Depan

Inilah Gambaran Pemakaman di Masa Mendatang

Bagaimana ide-ide inovatif bisa memperbaiki sistem pemakaman dan tempat peristirahatan terakhir? Topik soal kematian kayaknya harus lebih sering kita obrolin deh.
Foto: shutterstock

Versi lain postingan ini mulanya muncul di Tedium , newsletter dua kali seminggu yang ngomongin hal-hal aneh.

Kematian adalah hal yang ganjil.

Semua orang pada akhirnya mati, memang, dan kita tidak punya kuasa menentukan kapan itu terjadi. Permasalahannya, kematian adalah topik obrolan yang sangat sensitif. Topik ini memicu emosi, dan susah dibicarakan dengan cara yang tepat.

Mungkin itulah mengapa "kematian" dan "inovasi" jarang ditemukan dalam kalimat yang sama. Tapi ya, dalam semangat Halloween, kita bisa ngobrolin apakah kematian, salah satu proses kehidupan yang paling kental ritual, sebetulnya bisa jadi pemicu banyak inovasi. "Ini bukan sekadar melihat sebuah mobil pemakaman di sebuah pameran, melainkan perubahan pesat di budaya yang merengkuh teknologi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini mentransofrmasi semua industri, termasuk pemakaman." — Peter Billingham, konsultan asal Inggris dalam industri pemakaman dan penggagas situs bernama

Iklan

Death Goes Digital

, memikirkan apakah

kendaraan swakemudi bisa mengacaukan industri pemakaman

. (Pemikiran ini muncul setelah National Funeral Exhibition, di mana

mobil jenazah elektrik

, yang dibuat berdasarkan Nissan Leaf, ditampilkan.)

Inti pemikiran Billingham bukanlah soal kendaraan swakemudi pada umumnya, melainkan soal fakta bahwa industri pemakaman tidak mengadakan inovasi sama sekali. Menurutnya hal tersebut merupakan masalah.

Sampel produk digital FuneralScreen. Gambar: FuneralScreen

Proses pemakaman berubah dalam lima cara berikut ini:

Contoh app di masa mendatang FuneralScreen's. Image: FuneralScreen

1. Lebih banyak jenazah dikremasi.
Menurut statistik dari National Funeral Directors Association, kremasi telah menjadi pilihan pemakaman yang populer dibandingkan penguburan tradisional. Pada 2015, 47.9 persen orang memilih kremasi, dan angka tersebut diperkirakan melonjak sebanyak 53.3 persen tahun depan dan 71.3 persen pada 2030. Perbedaan biaya adalah salah satu faktor penentu: sebuah asosiasi melaporkan bahwa proses kremasi menghabiskan biaya $6,078 pada 2014, sedangkan proses penguburan tradisional menghabiskan biaya $7,181. 2. Startup mulai memasuki sektor ini.
Akeselator startup Y Combinator telah memberikan dukungan pada sekurang-kurangnya dua startup terkait pemakaman, meski salah satunya, Halolife, sudah tak aktif lagi. Alumni YC Willing, yang fokus pada perencanaan tanah, mampu mencapai Series A tahun lalu dan menurut laporan digunakan untuk menciptakan 25,000 dokumen tanah per bulan. 3. Rumah-rumah duka menggunakan platform khusus
Industri yang niche seringkali memiliki kebutuhan hardware dan software yang spesifik, dan dunia pemakaman bukan pengecualian. Di antara vendor-vendor di ruangan itu adalah FrontRunner Professional, FuneralTech, dan Aldor Systems. 4. Sekarang papan nama banyaknya digital
Papan nama digital menjadi sangat diminati di rumah-rumah duka selama beberapa tahun belakangan, dengan vendor-vendor seperti FuneralScreen yang secara spesifik menyasar pasar tersebut. 5. Nisan kini menjadi lebih canggih
Sebagaimana kita jelaskan di awal tahun ini, kamu bisa saja mendapatkan batu nisan dengan pahatan ikon-ikon budaya populer kegemaranmu. Namun, baru-baru ini sebuah pemakaman Slovenia mengenalkan batu nisan digital, sebuah alat yang bisa memutar konten digital yang merefleksikan kehidupan seseorang sebelum meninggal. Konsep ini mirip dengan FuneralScreen yang baru saja saya sebut di atas, tentu, tapi fakta bahwa layar ini bisa ditempatkan di luar ruangan memiliki pesonanya sendiri.

Iklan

"Saya ingat ayah saya pernah bilang, 'Saya telah menggunakan Angie's List untuk para kontraktor. Apakah ada yang seperti ini tapi untuk rumah duka?' Dan saya bilang, ya, tentu saja, pasti ada lah… Eh tapi ternyata enggak ada. — Mike Belsito, salah satu penggagas perusahaan bernama eFuneral, mendiskusikan dengan The Atlantic alasan dia mendirikan perusahaan tersbeut dengan Bryan Chaikin. Intinya sih, firma startup itu berupaya memudahkan serangkaian proses perencanaan pemakaman yang dari sananya rumit—sebagaimana dialami langsung oleh keluarga Belsito saat kematian seorang sepupu. Meksi ini ide yang cukup bagus, firma ini kesulitan memasuki pasar dan akhirnya dijual ke sebuah perusahaan asuransi jiwa pada 2014. "Pengalaman itu sangat hebat, tapi pada intinya, kami gagal," ujar Belsito pada sebuah postingan di Medium. Firma-firma lainnya memiliki misi serupa, seperti Parting.

Contoh kotak abu (pura-puranya punya) Lemmy Kilmister's, dibikin Foreverance. Foto: via the company's Facebook page

Saat musisi terkenal meninggal dunia, mereka membuat guci pemakaman 3D mereka dari startup ini

Kita sudah kehilangan banyak bintang besar pada beberapa tahun belakangan, terutama dalam dunia musik, dan terutama pada 2016, saat kita memulai tahun dengan meninggalnya David Bowie, disusul dengan Prince beberapa tahun berikutnya, dan diakhiri dengan kepergian George Michael.
Namun, kematian dua bintang rock di ujung 2015 lah yang menggarisbawahi yang diharapkan untuk menjadi tren pada tahun-tahun mendatang. Pada awalan Desember 2015, mantan penyanyi Stone Temple Pilots Scott Weiland meninggal dunia dalam bus tur di Bloomington, Minnesota. Foreverence, sebuah perusahaan yang baru dibangun tahun lalu dan kantornya hanya berada sekitar 16 km dari lokasi kematian Weiland, pada akhirnya bertanggung jawab dalam pembuatan guci kematian sang vokalis. (Keluarga Weiland memilih sebuah megaphone, yang sering digunakan sang vokalis, sebagai rancangan gucinya.) Beberapa minggu kemudian di Los Angeles, ikon Motörhead Lemmy Kilmister meninggal akibat kanker, dan dia bukan jenis orang yang cocok dengan guci tradisional. Jadi Foreverence menciptakan sebuah rancangan khusus untuknya yang menampilkan topi dan gayanya yang ikonik—secara spesifik, Ace of Spades.

Iklan

Terang, ide Foreverence cukup brilian. Perusahaan ini muncul dari ide Peter Saari, yang awalnya bekerja sebagai konsultan untuk perusahaan yang menjual peralatan 3D-printing. Dia belajar soal popularitas kremasi untuk alasan-alasan selain finansial di majalah Time—dan sadar bahwa dua konsep tersebut cocok, terutama karena dia sadar proses kremasi akan semakin digemari masyarakat. "Ada sebuah celah pasar untuk kremasi bernilai tinggi bagi individu dan keluarga yang menginginkan produk kremasi yang bernilai tinggi itu," ujar Saari pada Twin Cities Business tahun lalu. "Emang enggak ada aja. Alasannya adalah presumsi keliru yang saya rasa masih lekat pada perusahaan jasa pemakaman, yaitu bahwa orang-orang memilih proses kremasi hanya karena itu pilihan yang lebih murah—alih-alih karena alasan kepraktisan dan pragmatisme." Dengan kata lain, ada orang-orang yang mampu memesan guci pemakaman 3D, dan mungkin menginginkan sesuatu yang unik karena sang mendiang memiliki kepribadian yang unik. Seperti keluarga-keluarga para bintang rock. Faktanya, orang pertama yang menjadi klien tim Saari adalah Bob Casale, seorang anggota Devi yang topinya menjadi tepat peristirahatan bagi ikon musik tersebut. Weiland, Casale, dan Kilmeister, tentu saja, adalah bintang-bintang besar pada masa dan dalam lingkupnya masing-masing, namun Saari kemudian mengerjakan ikon-ikon yang lebih penting lagi: Prince.

Iklan

Saat ikon pop Minneapolis meninggal dunia tahun lalu, saudara perempuannya, Tyka, menghubungi Foreverence, yang kemudian membuatkan guci berupa replika Pasiley park, studio dan tempat tinggalnya. Saari menekankan bahwa memesan guci pemakaman khusus dapat dilakukan masyarakat umum, bukan hanya orang-orang terkenal saja. "Dengan ngobrol-ngobrol, foto-foto, dan sketsa, kami biasanya bisa menunjukkan ekspresi paling pas dan bermakna dari hidup dan peninggalan seseorang. Kami lalu merancang dan membuat memorial yang sempurna," ujar Saari pada People soal pendekatan perusahaannya tahun lalu. Tentu saja, pendekatan mereka mengalahkan pendekatan yang dilakukan kompetitor mereka, seperti Cremation Solutions, yang telah mencoba menjual ide menaruh peninggalan seseorang dengan cara seperti ini, a la Futurama.

Bagaimana kekhawatiran ekologis membantu mengubah percakapan seputar kematian

Kini, lebih dari yang sudah-sudah, kita membahas kematian dalam konteks dampak lingkungan. Banyak orang mencoba meminimalisir dampak mereka pada planet ini dengan cara mendaur ulang, sadar terhadap lingkungan, dan lain-lain. Tapi, bagaimana nanti kalau mereka sudah meninggal?
Sebagian besar material—dari balsem, kayu, hingga metal—digunakan untuk mengadakan sebuah pemakaman tradisional, dan penguburan biasanya memakan banyak lahan. Dan meski kremasi memakan lahan lebih sedikit, proses ini dikenal cenderung menciptakan polusi udara. Namun meningkatnya "kremasi air," atau alkaline hydrolysis, dapat membantu mengurangi limbah tersebut. Sejauh ini proses kremasi air baru legal di 14 negara bagian, dan California akan menjadi negara bagian ke-15. Proses ini, yang kontroversial di beberapa kalangan, memasukkan jenazah ke dalam mesin berisi cairan alkaline selama empat jam, sehingga mempercepat proses dekomposisi sementara meninggalkan tulang-tulang yang kemudian dikremasi. Proses ini dipandang lebih baik untuk lingkungan hidup dibandingkan kremasi tradisional, namun ada kebingungan soal proses ini, dan kelompok-kelompok religius tidak yakin apakah hal ini sesuai ajaran agama. Dari sudut pandang yang lebih tidak senonoh, kalau kamu khawatir soal dampak ekologis dari peti mati yang dikubur dalam tanah, kamu mungkin akan tertarik dengan konsep Coeio. Pendekatan startup ini, yang dinamakan "infinity burial" yang mencakup mengubur jenazah dalam balutan pakaian berbahan jamur, kini menarik perhatian publik karena dianggap begitu melenceng dari kebiasaan. Kalau kamu belum pernah mendengarnya, nih saya rangkum: seniman dan ilmuwan Jae Rhum Lee memiliki konsep Infinity Burial sebagai bagian dari penelitian program master. Konsep ini mulanya muncul dari kekhawatirannya dengan cara-cara materi limbah terlibat dalam proses pemakaman dan penguburan. Di atas segalanya, sebetulnya racun tubuh manusia sebenarnya problematis. Meski demikian, Lee, sadar akan dampak jamur pada proses pembusukan. Dia menganalisa dampak ini dengan memberikan berbagai macam jamur pada rambutnya, kulitnya, dan kukunya. Hal ini membantunya menemukan jenis jamur yang paling cocok untuk proses pembusukan jenazah. Lalu, dengan bantuan sesama perancang Mike Ma, dia membuat jamur tersebut dalam bentuk jubah yang dikenakan jenazah. Alih-alih dikubur dalam peti, kamu bia dikubur dalam balutan jubah ini. Kalau jamur-jamur ini melakukan tugas mereka, tubuhmu akan menjadi pupuk kompos. Hasilnya sangat menakjubkan—Lee menjadi buah bibir pada 2011 TED Talk—dan kalau dihitung-hitung tidak memakan biaya tinggi. Kamu bisa beranjak ke situs Coeio dan membeli jubah jamur seharga $1,500, yang bisa dibilang lebih murah dibandingkan peti mati tradisional, dan tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk proses pembalseman. Meski demikian, kamu mungkin kesulitan menemukan lahan penguburan, sebagaimana dialami Dennis White, yang meninggal tahun lalu, saat dia mencari-cari lahan sebelum meninggal.
Apapun itu, apakah kamu menganggap pendekatan Jae Rhim Lee aneh atau bahkan keren, hal ini kurang dibicarakan secara umum terutama dalam industri pemakaman. Jamur-jamur ini rasanya provokatif. Salah satu hal aneh soal bisnis pemakaman adalah, jumlahnya yang sedikit.
Ya, iya, bisnis ini cukup umum, tapi tidak banyak. Kita mungkin melihat banyak berita duka di berita atau media sosial, tapi dalam hal perencanaan proses pemakaman orang-orang yang kita kenal dan cintai, kamu mungkin hanya mengalaminya beberapa kali saja. Kalau keluargamu sering berpindah-pindah, mungkin kamu hanya menggunakan rumah duka tertentu sekali atau dua kali seumur hidup, dan kalaupun keluargamu menetap, mungkin kamu hanya perlu mengunjungi rumah duka beberapa kali saja. Selain itu, sebagian besar rumah duka adalah bisnis keluarga alih-alih konglomerat korporat, ini adalah bisnis yang sulit dipertahankan. Mereka mungkin hanya memiliki satu kesempatan untuk melakukan hal ini. Mengingat pemakaman kental ritual, yang sebenarnya lebih luwes dibandingkan 50 tahun lalu, dapat dimengerti mengapa teknologi lamban sekali dalam menginovasi proses dan bisnis pemakaman.
Tempat peristirahatan terakhir mungkin bukan fokus industri teknologi, tapi ini adalah tempat di mana kita sebagai masyarakat belum bahas secara serius sebagaimana kita membahas smartphone. Mungkin semua obrolan soal kematian ini terdengar aneh atau kelam, namun mingkin kalau kita bahas bagaimana teknologi dapat memperbaiki prosesnya, kita bisa saja membuat proses berduka menjadi lebih mudah bagi orang-orang yang ditinggalkan. Ini proses yang sulit, namun penting untuk dilakukan dengan cara yang tepat.