FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Sebuah Dokumenter Menguak Sisi Gelap Profesi Livestreamer di Cina

Film dokumenter terbaru Hao Wu, 'People’s Republic of Desire', mengikuti keseharian dua livestreamer yang ingin tenar di YY, platform streaming terpopuler Tiongkok. Harga yang harus mereka bayar amat mahal.
Dicuplik: ITVS
Dicuplik: ITVS

Shen Man berdandan di depan cermin sebelum acaranya mulai. Perempuan 21 tahun ini dulunya merupakan seorang perawat sebelum banting setir menjadi penyanyi di YY. Salah satu layanan livestreaming terbesar di Cina. Tak seperti di dunia maya, Man dianggap sebagai diaosi atau pecundang di dunia nyata.

Dia bernyanyi di depan kamera, menggoda fans secara virtual, dan mempertahankan penggemar royal supaya bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Dia memang punya uang banyak, tapi dia amat sengsara. “Kalau dipikir-pikir, aku merasa terasing dari masyarakat,” katanya. “Aku enggak pernah keluar rumah atau bahkan melihat matahari.”

Iklan

Ayahnya yang pengangguran terlihat di latar belakang. Dia merokok tak henti-hentinya, dan berusaha menghindar dari sorotan kamera. Penghasilan Man cukup untuk menyokong keluarganya, tapi ayahnya yakin kalau karier Man tidak akan bertahan lama. “Palingan dia bertahan selama dua tahun di YY,” katanya. “Dia sebentar lagi 22 tahun.”

Ini merupakan adegan dari People’s Republic of Desire, film dokumenter terbaru garapan filmmaker Hao Wu. Film ini menelusuri dunia livestreaming di Cina yang menyedihkan tapi menguntungkan. People’s Republic of Desire mengikuti keseharian dua livestreamer, Man dan komedian online bernama Big Li, yang berlomba dengan streamer lainnya untuk mendapatkan peringkat tinggi dan menghasilkan uang banyak.

Dunia livestreaming sangat besar di Cina. Menurut Wu, lebih dari 400 juta penduduk Tiongkok—sekitar separuh dari pengguna internet di sana—suka menonton livestream, baik itu orang menyanyi, memasak, makan siang, atau melakukan stand-up comedy. Industri ini bernilai US$4,4 miliar (setara dengan Rp62 triliun). Film dokumenter Wu menyelidiki bagaimana cara kerja industri livestreaming dan apa dampaknya kepada orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Saat diwawancarai, Wu menceritakan bahwa dia dulunya bekerja di industri teknologi di Cina dan AS sebelum menjadi pembuat film. Pada 2014, temannya yang berprofesi sebagai analis keuangan bertanya soal YY kepadanya. Temannya lalu menjelaskan kalau perusahaan tersebut bernilai US$2,5 miliar atau setara dengan Rp35 triliun di NASDAQ. “Saya sangat terkejut karena belum pernah dengar soal perusahaan itu sebelumnya,” kata Wu lewat telepon.

Iklan

Dia kemudian mencari tahu soal YY, bertanya kepada teman-temannya dan menyadari sesuatu. Orang-orang dari berbagai kalangan menggunakan platform tersebut. “Segera setelah menyadari kalau anak muda kaya dan miskin—pecundang di Cina—memakai situs web ini dan menyukai idola yang sama, saya yakin kalau ada sejarah di baliknya.”

Di Amerika, pengguna layanan livestreaming Twitch bisa menayangkan siaran langsung selama berjam-jam pada satu waktu. Situs ini biasanya dimanfaatkan gamer untuk menyiarkan langsung video bermain game. Mereka akan meminta penonton atau penggemar untuk memberikan sedikit uang atau men- subscribe kanal Twitch-nya supaya bisa terus membuat video. Twitch akan membagi uangnya dan streamer terus melakukan siaran langsung. Di Twitch, siapa saja bisa menjadi livestreamer dan menchat para streamer secara gratis. YY berbeda dari Twitch. Penonton harus bayar kalau ingin ngobrol dengan streamer.

“Interaksinya butuh uang,” kata Wu. “Penggemar harus beli hadiah digital kalau ingin menunjukkan betapa mereka mengidolakan seorang livestreamer.”

Para livestreamer di YY menghasilkan uang dari fans royalnya, yang dikelompokkan menjadi tiga tingkat. Kelompok terbesar adalah diaosi atau pecundang. “Kebanyakan penggemarnya adalah orang-orang kesepian,” kata Wu. “Mereka tidak punya teman di dunia nyata, makanya mereka main internet karena ingin berinteraksi dengan seleb atau idola di sana.”

Iklan

Diaosi menonton livestreamer favoritnya dan membelikan mereka hadiah virtual — emoji dan hadiah digital seperti bunga. Mereka berharap idolanya akan menyadari keberadaan mereka.

Pada akhirnya, menurut Wu, para diaosi YY berhasil memikat orang-orang tajir di Cina yang ingin memamerkan kekayaannya. “Setelah kamu menaklukkan penggemar loser, orang-orang kaya akan membelikanmu hadiah virtual karena penggemar livestreamer yang miskin akan memberikan tepuk tangan,” kata Wu.

Menurut Wu, beberapa fans kaya menjadi semacam selebritas di YY. “Beberapa penggemar ini… Mereka berkompetisi mengeluarkan uang sebanyak mungkin supaya penggemar-penggemar lain tahu kalau mereka fans nomor satu, yang paling kaya di platform.”

Insentif keuntungan di YY menciptakan budaya streaming yang berbeda di Cina dan AS. Streamer di kedua negara ini sama-sama bersaing, tetapi tujuannya berbeda.

Di Amerika, YouTuber dan streamer Twitch akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat konten setiap harinya agar tetap mendapat keuntungan. Sedangkan YY lebih mementingkan hubungan antara streamer dan penggemar. Livestreamer di YY hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja untuk siaran langsung. Setelah itu, mereka akan ngobrol dengan penggemar kaya atau menghabiskan waktu berjam-jam di chat room dan kotak pesan untuk meminta dukungan dari loser.

Interaksi penggemar kaya dan livestreamer di Cina berbeda dari di AS. Li dan Man akan ditelepon oleh penggemar kaya yang berjanji akan memberikan lebih banyak uang dan mengajaknya bertemu.

Iklan

“Ada aturan tersirat di dunia ini,” kata Man, seraya mempersiapkan siaran langsung. “Lihat saja fans kaya itu. Kamu pikir mereka bodoh? Membuang-buang uangnya begitu saja? Mereka akan meminta kami bertemu langsung, atau yang lainnya. Tentu saja aku kesal. Setiap perempuan ingin hidup bak putri raja. Tapi semuanya omong kosong kalau sudah menyangkut uang, baik itu keluarga, percintaan atau pertemanan. Semuanya omong kosong. Orang-orang memujamu kalau kamu kaya. Enggak akan ada yang peduli kalau kamu miskin.”

Bagi para streamer, kehidupan ini sulit dan menantang. Menurut Wu, Li dan Man menghasilkan sekitar US$80.000 sampai $100.000 (Rp1,1-1,5 miliar rupiah) per bulan, tetapi semua waktu bebas mereka diluangkan untuk terus menghasilkan uang. “Mereka enggak pernah keluar rumah,” ujar Wu kepadaku. “Mereka cuman keluar untuk pergi dinner sama penggemar.”

Agar tetap menarik, YY menggelar kompetisi tahunan untuk menentukan idola YY top. Selama 15 hari, para livestreamer bersaing untuk memperoleh jumlah suara paling banyak untuk melihat siapa yang akan menjadi idola terpopuler tahun itu. Pengguna harus membeli suara, dan idola YY top adalah streamer dengan modal paling banyak. Para diaosi menabung untuk mendukung streamer kesukaan mereka, penggemar kaya berjanji mengeluarkan banyak uang, dan investor super kaya yang mengontrol agensi streamer mengeluarkan jutaan dolar demi menciptakan superstar YY berikutnya. Bahkan para livestreamer sendiri mengeluarkan uang untuk menaikkan jumlah suara untuk mereka.

Iklan

Dalam film ini, Man dan Li menjalankan kompetisi-kompetisi ini dengan bernyanyi, bercerita, dan meminta uang. Penggemar YY mengeluarkan jutaan dolar setiap tahun demi bersuara untuk streamer kesukaan mereka, dan YY mengantongi 50 hingga 60 persen uang tersebut. Sisanya diberi kepada para streamer, yang jika diwakili agen, harus membagi 20 persen darinya dengan mereka.

Dalam sistem ini, para streamer bekerja habis-habisan, para pecundang bertepuk tangan, dan yang kaya mengeluarkan uang, tapi pada akhirnya, pemenang yang sebenarnya adalah platform YY.

“Enggak ada gunanya sama sekali,” ujar ayah Man pada saat kompetisi, mengacu pada jumlah uang sangat besar yang dikeluarkan streamer untuk meningkatkan peluang mereka menjadi idola YY top. “Picasso [salah satu saingan terbesar Li] akan kehilangan US$650 ribu dolar (9 miliar rupiah) uangnya sendiri. Big Li akan kehilangan hampir US$1 juta (14 miliar rupiah). Jadi mereka berdua sudah kalah. Yang menang cuman platformnya. Dua yang kalah.”

“Ketika seorang livestreamer mencapai tingkat sukses tertentu, sangat susah bagi mereka untuk meninggalkan kehidupan itu,” ucapnya kepadaku. “Di satu sisi, mereka menghasilkan jumlah uang yang banyak dan bisa menghidupi keluarga mereka, tapi di sisi lainnya, mereka enggak bahagia karena mereka enggak punya teman asli. Cuman ada hubungan di internet, yang mungkin asli, mungkin enggak.”

Dari pandangan AS, semua uang dan energi yang diarahkan pada livestreaming mungkin tidak masuk akal, tapi menurut Wu, ini karena platform medsos di AS didasarkan pada insentif yang lain. Pada akhirnya, kita semua seakan bermain dadu di sebuah kasino yang memakan semua uang kita.

“Facebook telah merancang sistemnya agar memaksimalkan pendapatan periklanan,” katanya. “Karena itu ada echo chamber. Bukan hanya platformnya, tapi juga penggunanya. Kita hanya mau mendengarkan pendapat yang mirip dengan pendapat kita. Kita adalah bagian dari permainan ini dan platform-platform ini memanfaatkan keinginan kita dan algoritma mereka untuk mengamplifikasi itu.”