'Kami Hanya Menyambung Hidup': Geliat Migran Hazara Bertahan di Jalanan Jakarta
All photos by author

FYI.

This story is over 5 years old.

pengungsi

'Kami Hanya Menyambung Hidup': Geliat Migran Hazara Bertahan di Jalanan Jakarta

Pencari suaka asal Afghanistan terjebak labirin birokrasi, tak ada negara maju yang mau menerima, dan mereka dilarang bekerja selama terdampar di Jakarta.

Ali Khan Khashei tengah menghabiskan tegukan terakhir teh di sebuah warung kecil di kawasan Jakarta Pusat ketika pembicaraan membelok ke arah yang kurang menyenangkan. Pemilik warung sejenak mengamati Ali dan dua orang anak Hazara yang kerap datang ke warungnya. Dia bertanya dari mana mereka berasal. "Afganistan," jawab dua anak itu. Pemilik kembali membuka mulut. Kali ini menganjurkan mereka kembali ke Afganistan dan bertarung bersama Taliban.

Iklan

Kalau mereka mati syahid, katanya, Allah akan membalas dengan pahala yang berlimpah.

Kedua anak itu diam saja mendengarkan ceramah pemilik warung. Mereka berdiri dengan cara yang tak jauh berbeda seperti remaja seusia mereka. Beberapa kali mereka terlihat mengangguk dengan kaku, menyetujui beberapa poin yang dikatakan pemilik warung. Saat ceramah singkat itu selesai, keduanya bangkit, berterimakasih dan pergi. Di luar Ali terdengar geram.

"Bagiku, Taliban itu teroris," ujar Ali pada saya. "Mereka akan membunuh saya kalau berani pulang. Tapi, mau tak mau, aku harus bilang 'bapak benar sekali' meski aku berpikir sebaliknya. Aku enggak mau cari masalah dulu."

Ali dan dua anak lainnya tahu sebengis apa Taliban. Ketiganya berasal dari etnis Hazara, salah satu etnis yang mengalami persekusi paling parah di muka Bumi. Ali lahir di Iran di sebuah keluarga Hazara yang kabur menghindari kekerasan yang terjadi di Ghazni, daerah pegunungan kira-kira 150km dari Kabul, beberapa dekade lalu.

Setelah Ali dideportasi dari Iran karena nekat bekerja tanpa visa, orang tuanya menyarankan dia tak usah kembali ke Afghanistan. Di Tanah Airnya, orang-orang etnis Hazara sepertinya dimusuhi oleh etnis mayoritas Pasthun. Alasannya, mereka menganut Islam mazhab Syiah.

Taliban dan simpatisan ISIS berulang kali melancarkan serangan teror mematikan menyasar komunitas Hazara di Afghanistan. Salah satu kejadian paling parah pada 2015, ketika tujuh lelaki Hazara dipenggal oleh militan setempat, lalu jasadnya dibuang di jalanan Kota Ghazni. Populasi warga Hazara di Afghanistan merosot hingga menyisakan tinggal 20 persen saja di negara itu. Sebagian besar kabur ke luar negeri mencari hidup yang lebih baik daripada tinggal namun terus mengalami kekerasan dan ancaman sistematis.

Iklan

Ali menuruti saran ayah-ibu, menghabiskan sisa uangnya berangkat ke Asia Tenggara, mencari peruntungan sebagai pencari suaka ke negara-negara Barat.

Namun, setibanya di Indonesia, dia menghadapi situasi jauh lebih berat dibanding Iran. Ali adalah salah satu dari 14.000 pengungsi dan pencari suaka yang menunggu di Indonesia sebelum ditempatkan kembali di negara baru. Indonesia tidak ikut serta meneken Konvensi tentang Pengungsi tahun 1951. Imbasnya, Indonesia hanya bisa menjadi tempat transit sementara sebelum UNHCR menentukan negara ketika yang akan mengadopsi seorang pengungsi.

Ali Khan Khashei duduk di luar warteg kawasan Jakarta Pusat Central Jakarta. Semua foto oleh penulis.

Mayoritas pengungsi datang dari Afganistan, Myanmar dan Somalia. Ali, seperti pengungsi lainnya, berasal etnis Hazara, sebuah etnis muslim Syiah. Anggota etnis Hazara mengalami persekusi selama beberapa generasi dari kelompok muslim Suni, termasuk Taliban. Ada sekitar 2,6 juta pengungsi dari Afganistan yang tersebar di seluruh dunia, menurut data yang dikeluarkan UNHCR. Mereka adalah bagian dari krisis global pengungsi yang mencakup 22,5 juta orang pengungsi. Lebih dari setengah dari jumlah pengungsi ini berusia di bawah 18 tahun.

30 pengungsi dan pencari suaka dari Afganistan, termasuk lima keluarga lainnya, hidup di Jalan Kebon Sirih, tepat di samping kantor UNHCR di Jakarta. Mereka tidur beralas tikar dan kerap patungan untuk bisa membeli makanan. Pengungsi dan pencari suaka tak diperbolehkan bekerja di Indonesia. Mereka juga tak bisa menerima beragam program jaminan sosial, termasuk akses pendidikan dan kesehatan. Tanpa izin bekerja dan bantuan dari pemerintah Indonesia, para pengungsi ini bakal kesusahan membiaya hidup mereka dan keluarga mereka.

Iklan

Sebagian pencari suaka masih mendapat kiriman uang dari kampung halaman mereka. Sisanya cuma bisa bergantung pada belas kasih orang lain. Setelah terdaftar sebagai pengungsi resmi, proses penempatan seorang pengungsi di negara baru bisa makan waktu 10 tahun. Parahnya, meski sudah menunggu selama itu, tak ada jaminan seorang pengungsi bakal ditempatkan di negara baru.

Hanya 1 persen pengungsi global yang berhasil ditempatkan di negara baru. Bagi Ali dan teman-temannya, kebanyakan mengungsi tanpa didampingi orang tua, Indonesia adalah persinggahan yang bisa saja mereka huni seumur hidup.

"Kalau aku ingat situasi yang aku dan keluarg alami, dan sadar bahwa aku buang-buang waktu semata, aku melakukan ini" kata Ali sambil menunjukkan bekas luka belati dan puntung rokok di tangannya. Nama Ali telah diganti guna melindungi identitasnya dan kelancaran proses pemukiman ulangnya.

Masa penungguan yang begitu panjang telah berimbas secara fisik dan emosional pada anak-anak Afganistan yang tinggal di Kebon Sirih. Tanpa kesempatan bekerja atau mengecap bangku sekolah, tiap hari adalah kebosanan yang berulang.

"Sekarang jika aku tak melakukannya, aku merasa hampa."

"Aku sebenarnya ingin kembali ke Iran, tapi tak bisa," ujarnya. Setelah dideportasi, Ali sebetulnya sempat menghabiskan 10 hari di Afghanistan. Dia lantas membeli tiket pesawat terbang ke India dan Malaysia. Di Negeri Jiran, Ali bertemu seorang penyelundup yang bisa menyebrangkan dirinya ke Indonesia dengan imbalan sebesar US$1.000.

Iklan

"Katanya, Indonesia jauh lebih baik dari Malaysia. Prosesnya bisa lebih cepat," Kenang Ali. Namun, ada hal yang dirahasiakan oleh sang penyelundup adalah Ali tak akan bisa bekerja di Indonesia. Di Malaysia, meski ilegal, Ali masih kerap menemukan pekerjaan. Alhasil, Ali hidup menggelandang selama beberapa tahun.

Kini, Ali berpikir untuk kembali ke Malaysia. "Masalahnya, kalau aku kembali ke sana, aku harus mulai dari nol lagi," tutur Ali.

Awalnya, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia, Ali merasa UNHCR terkesan yakin bahwa dirinya bakal segera ditempatkan di negara ketiga.

Tanpa pendapatan, Ali tak punya pilihan kecuali hidup menggelandang di jalan. Banyak pengungsi Afganistan memilih hidup di dekat Bogor yang memiliki udara yang sejuk dan ada banyakan pilihan rumah tinggal yang bisa mereka pilih. Tapi, Ali khawatir jika dirinya meninggalkan Kebon Sirih, UNHCR akan melupakannya. "Kalau aku pergi, aku akan kehilagan kesempatanku," ujar Ali.

Di bawah sengatan matahari siang hari, Ali dan temannya duduk di atas buah tikar, mendengarkan lagu "Despacito" dari ponsel mereka. Mereka melewatkan waktu kosong yang entah berlangsung sampai kapan, mendengarkan musik, bermain game di ponsel mereka seperti Clash of Clans atau 8 Pool, dan menghibur anak-anak yang lebih muda dari mereka. Mobil dan sepeda motor lewat dekat mereka, hanya beberapa centimeter dari ujung tikar mereka. Anak-anak laki itu segera menutup mulut dan hidung mereka dengan kaos yang mereka kenakan.

Iklan

Mohammad Reza Bahadori, 18 tahun, menggunakan form pengaduan tambahan dari UNHCR untuk membuat kapal dan perahu kertas untuk dijadikan mainan anak-anak pengungsi yang lebih muda. Reza sudah berada di Indonesia selama tiga tahun. Tiap minggu, Reza menulis satu sampai dua surat ke UNHCR. Dia meminta mereka untuk mempercepat proses pemukiman kembali dipercepat dan meminta bantuan mereka untuk menyediakan makanan serta rumah tinggal. Namun, selama tiga tahun, tak ada sedikit pun perubahan.

"Setiap hari, kami hanya bisa bertahan hidup," kata Ali. Ali dan Reza menyapu bagian trotoar yang mereka gunakan tiap pagi. Pemilik rumah mengizinkan mereka tidur di trotoar itu di malam hari selama mereka tak nongkrong di tempat yang sama di siang hari. Ali dan Reza membersihkan bagian depan rumah sebagai ongkos menggunakan pompa air untuk mengisi botol air dan membasuh muka serta tangan. Ali mengaku bahwa hanya bisa mandi di wc umum di sisi jalan Kebon Sirih. Ali harus membayar Rp2.000 untuk menggunakan toilet dan Rp5.000 untuk mandi.

Di sebelah mereka, Muhammad Yussea Hakimi, 18 tahun, tengah menyisir rambut adik perempuannya Zahra, yang baru berusia 5 tahun. Yussea sudah tinggal di Indonesia selama 2 tahun. Sementara Ibu dan 3 saudara perempuannya baru sampai satu bulan lalu. Keluarga kecil ini tidur di atas tikar kecil bergambar karakter Frozen. Kelambu nyamuk yang melindungi mereka berwarna biru. Lubang terlihat di sana-sini. Fatma, Ibu Yussea, 38 tahun, memeriksa bekas gigitan nyamuk di legan Zahara. Yussea mengaku hanya bisa tidur barang beberapa jam dengan serbuan nyamuk dan suara mobil serta sepda motor berlalu lalang beberapa centimeter dari tempat mereka bermalam.

Iklan

Sekitar pukul 18;30, hujan tiba-tiba turun. Ali dan penghuni Kebon Sirih lainnya segara kalap mengemasi barang-barang mereka. Backpack, tas serta tikar dijinjing segara di taruh di bawah terpal. Beberapa anak laki-laki mengoleksi beberapa potong kardus untuk alas tidur dan menaruhnya di bawah sebuah gubuk kecil agar tetap kering. Jalanan yang sebelumnya riuh kini bersih tanpa mobil dan sepeda motor berlalu lalang ketika Ali dan kawan-kawan menemukan tempat berteduh di dekat sebuah warung kecil.
.
"Kalau hujan turun, kami tidak tidur," kata Ali. ada kalanya mereka berdiri semalaman di bawah atap sebuah rumah, menunggu hujan reda.

Yussea menemukan sebuah payung rusak di tepi jalan. Dia merobek kantog plastik dan mengikatkannya pada tiap ujung payung.

para pengungsi pria muda di Kebon Sirih punya kekhawatiran yang lebih besar dari sekedar menghabiskan malam hujan-hujanan. Ali mengingat insiden yang terjadi satu setengah bulan lalu ketika salah satu temannya ditusuk segerombolan warga Indonesia.

Insiden ini terjadi setelah seorang pengungsi belia menolak pindah tempat ketika sedang duduk di pinggir jalan. Ali juga mengatakan ketika dia masih tinggal di tempat penampungan, warga Indonesia yang tinggal di sekitar melarang mereka merayakan Ashura, ritual yang dirayakan muslim syiah untuk mengenang pembunuhan Imam Hussein.

"Mereka mengatakan apabila kami melihatmu di jalan, kami akan menghajar dan memukulimu," kata Ali. Mengkhawatirkan keselamatan mereka dan tidak ingin mengacaukan peluang mereka untuk dimukimkan ulang, para lelaki muda ini sekarang berhati-hati ketika berinteraksi dengan warga Indonesia.

"Maka dari itulah kami harus berlaku baik terhadap mereka. Bahkan ketika mereka mengatakan hal buruk ke kami, kami hanya menjawab ok. Kami harus berlaku seperti ini karena tidak punya pilihan lain, " kata Ali. "Mereka bisa membuat hidup kami menderita."

Tidak jarang pria-pria dewasa mendatangi mereka di malam hari, menawarkan uang untuk berhubungan seks. Ali bilang, anak-anak pengungsi itu berusaha menolak secara sopan tawaran semacam itu.

Anak-anak muda pengungsi di Kebon Sirih saling menjaga satu sama lain. Mereka tidur bergantian agar seseorang bisa menjaga barang-barang mereka. Mereka berbagi uang dan makanan agar semua orang bisa makan sesuatu. Banyak dari mereka datang ke Indonesia ketika masih muda tanpa kenalan satupun. Dalam waktu singkat, mereka menciptakan keluarga sendiri yang saling menyayangi satu sama lain. Tentunya ini bukanlah kehidupan yang mereka inginkan.

"Semalam, aku bermimpi tentang Australia. Rasanya luar biasa," kata Yussea. "Aku sampai tak mau bangun."