FYI.

This story is over 5 years old.

Lingkungan

Hasil Penelitian: Manusia Mempercepat Gelombang Kepunahan di Muka Bumi

Tidak mengejutkan, tapi tetap saja menyedihkan saat mendengar ulah manusia bikin ratusan hewan punah sejak awal Abad 20.
Foto anak gajah oleh Associated Press.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Terlalu banyak berita menyedihkan akhir-akhir ini. Kalau semua itu masih belum cukup mengkhawatirkan kalian, nih ada satu kabar buruk lainnya: awal pekan ini ilmuwan memperingatkan kepunahan massal ke-6 kalinya di Bumi sudah dimulai. Apabila skenario kiamat kecil itu terbukti, maka dampaknya berupa "serangan mengerikan terhadap pondasi peradaban manusia." Kesimpulan yang bikin khawatir itu dimual dalam jurnal peer-review Proceedings of the National Academy of Sciences. Tim peneliti memperkirakan hampir separuh hewan darat yang yang mereka catat datanya mengalami "penurunan populasi drastis" sejak permulaan Abad 20. Hal itu terjadi akibat kebiasaan konsumsi yang berlebihan dan lonjakan populasi. Pendek kata, manusia patut disalahkan. Meski timbul perdebatan baru-baru ini soal apakah peristiwa kepunahan massal sedang terjadi, tata bahasa dalam laporan ini menunjukkan secara gamblang pandangan penulisnya. Kepala Peneliti Gerardo Ceballos, profesor ekologi di Universidad Nacional Autónoma de México, berujar: "Situasi ini sudah terlanjur buruk, rasanya tak etis kalau tidak disampaikan secara gamblang."

Iklan

Apa yang terjadi?

Miliaran mamalia, unggas, reptil, dan amfibi punah di seluruh penjuru planet dalam beberapa dekade terakhir. Masalahnya, angka kepunahan ini terus meningkat. Mengingat kita tidak secara konstan menghitung jumlah setiap spesies hewan, makalah tersebut menunjukkan tren yang biasanya tidak disadari ilmuwan ataupun publik. Secara khusus makalah ini menunjukkan bahwa masalah ini tak hanya menglingkupi spesies-spesies langka namun juga spesies-spesies umum. Berikut beberapa statistik mengejutkan dari makalah yang disusun Ceballos dkk:

  • Hampir separuh kelompok penelitian terdiri dari 177 spesies mamalia kehilangan lebih dari 80 persen persebaran mereka sepanjang kurun 1900 hingga 2015.
  • Sebanyak 50 persen margasatwa di Bumi menghilang selama beberapa dekade terakhir.
  • Hanya tinggal 400.000 ekor gajah Afrika yang tersisa, menurun lebih dari satu juta ekor dari awal abad lalu.
  • Spesies-spesies akan punah pada tingkatan 100 kali lipat dari yang dianggap normal.
  • Hampir sepertiga dari 27.600 spesies darat mamalia, unggas, amfibi, dan reptil yang diteliti menurun dari segi populasi dan luas teritorial.

"Kepunahan biologis tentu saja memiliki konsekuensi ekologis, ekonomis, dan sosial yang fatal," seperti dikutip dari kesimpulan makalah tersebut. "Manusia pada akhirnya akan membayar ganjaran besar untuk pengurangan satu-satunya rangkaian kehidupan yang kita ketahui di jagad raya."


Mengapa hal ini terjadi?

Makalah ini mengungkapkan sejumlah alasan atas kepunahan dramatis margasatwa di seluruh dunia. Nyaris semuanya disebabkan ulah manusia. Perubahan iklim, disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, menyumbangkan zat beracun pada lingkungan; hutan-hutan dan habitat lainnya dialihfungsikan untuk agrikultur; dan pemburu gelap terus membahayakan kelangsungan hidup hewan-hewan seperti gajah, pangolin, badak, dan jerapah—akibat permintaan pasar. Peristiwa kepunahan massal ini, intinya disebabkan oleh dua hal, menurut makalah tersebut: "Lonjakan populasi manusia, dan pertumbuhan populasi, dan konsumsi berlebihan, terutama yang dilakukan orang-orang superkaya."

Lalu bagaimana masa depan manusia dan bumi?

"Semua pertanda mengarah pada serangan-serangan yang bahkan lebih parah lagi, terhadap keanekaragaman hayati pada dua dekade ke depan, sehingga masa depan tampaknya muram, termasuk bagi kehidupan manusia," ujar penelitian tersebut. Meski demikian, para ilmuwan memberikan secercah harapan. "Temuan-temuan ini pertanda kita harus segera bertindak. Kesempatannya kecil, tapi kita masih bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkan spesies dan populasi," ujar Ceballos.

Dengan angka-angka yang mengkhawatirkan, makalah ini memberi para ilmuwan perspektif yang realistis menghadapi permasalahan lingkungan. Namun, menurut Stuart Pimm, kepala ekologi konservasi di Duke University di North Carolina, temuan tersebut tidak menyertakan pemetaan mendetail soal apa yang bisa dilakukan terhadap konservasionis. Artinya, sulit mengetahui harus memulai dari mana untuk memperbaiki persoalan ini. "Kan masalahnya sudah jelas, lalu apa dong yang bisa kita lakukan?" ujar Pimm pada CNN.