Semua foto oleh penulis.
Anjing-anjing itu menyalak saat mendapati sekelebat sosok hitam bergerak di rimbun semak. Sekira 12 lelaki dewasa di sekitar mereka seketika waspada, mengarahkan tombak berbahan besi, serta golok, ke belukar yang dituju anjing mereka. Tim dipecah dua dengan posisi melingkar, sembari setengah berlari memaksa sosok hitam itu keluar dari persembunyian untuk dihabisi. Tombak dihujamkan bergantian ke sasaran. Dalam percobaan pertama, tak satupun tombak kena sasaran.Anjing yang menyalak dan berlarian di sekitar semak itu bukan binatang sembarangan. Endusan mereka dilatih menyasar satu sosok saja: babi hutan. Hubungan akrab antara manusia dan anjing semacam ini tak biasa didapati di kawasan perkotaan Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam.Bagi masyarakat pinggiran Aceh, tradisi berburu babi masih populer sampai sekarang. Kegiatan ini, selain menjadi hiburan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pegunungan Aceh Besar, juga bermanfaat menjaga tanaman padi dari gangguan kawanan babi hutan.Kontributor VICE berkesempatan mengikuti kelompok pemburu, saat mereka mencari babi hutan di Perbukitan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Perburuan rutin dilakukan saban Sabtu dan Minggu. Hari itu, warga memilih area berburu di perbukitan dekat Desa Lampanah, berjarak 7 kilometer dari desa asal mereka, ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak.Setelah anjing menyalak, gerombolan babi umumnya akan meringkik. Tapi saking rimbunnya semak, mata manusia sulit memastikan lokasi persisnya. Itulah kenapa tim harus terdiri dari banyak orang untuk menombak satu per satu. Seringkali hunjaman mereka meleset, seperti yang terjadi sore itu.Setelah beberapa kali percobaan dari pagi hingga matahari tergelincir ke Barat, mereka tak pulang dengan tangan hampa. Dua babi berhasil dibunuh. Para pemburu membiarkan binatang liar itu tergeletak dalam jalan setapak hutan, tak dikubur ataupun dibawa pulang untuk diolah. Ajaran Islam tetap mereka percaya, bahwa babi adalah binatang najis dan sebaiknya tak disentuh sama sekali."Kegiatan berburu ini kami jadikan ajang bertukar pengetahuan tentang alam, dan mempelajari kebiasaan binatang, serta melatih fisik untuk bisa bergerak dan respons cepat," kata Muhammad Nur, 53 tahun, warga Indrapuri sekaligus salah satu pemburu babi hutan paling senior desa itu.Dia sudah terbiasa memburu anjing sejak usia 15 tahun. Seperti penduduk Aceh Besar lain, teknik berburu babi dia pelajari karena sering diajak orang tuanya melakukan kegiatan serupa.Sekalipun anjing memegang peranan penting dalam tiap perburuan babi, Nur mengaku manusia yang terlibat wajib punya kemampuan mumpuni bertahan hidup di hutan. Perburuan sangat mungkin berlangsung lebih dari 12 jam. Pemburu juga selalu berpindah-pindah lokasi, kadang berlari mengejar babi yang geraknya cepat.Di luar perburuan melibatkan anjing, petani setempat juga memasang jerat. Teknik lazimnya adalah memasang kawat seling yang terkait di sekeliling kebun, digantung ke pagar. Ada juga yang mengunakan racun untuk membunuh babi liar. Biasanya racun itu dilumurkan pada ketela, makanan kesukaan babi hutan. Metode racun belakangan dihindari, karena kadang yang mati justru hewan peliharaan maupun ternak warga.
Tonton perjalanan Alex Abbad bersama tim VICE memburu babi di pedalaman Jawa Barat:
Muzawwir, selaku tetua adat di Indrapuri, mengaku teknik berburu babi adalah ilmu yang penting dikuasai warganya. Apalagi mayoritas penduduk Aceh yang hidup di pegunungan hidup dari bertani dan berkebun. Babi adalah salah satu hama paling dimusuhi.Sayangnya, menurut lelaki 70 tahun ini, yang masih rutin melakukan perburan ini umumnya lelaki berumur 40 tahun ke atas. Generasi muda desa dia anggap kurang peduli merawat kawasan kebun mereka. Banyak juga anak muda yang sudah meninggalkan desa tersebut, merantau ke kota."Sekarang [berburu babi] sudah tidak seramai dulu, karena anak muda sudah tidak terlalu tertarik dengan berkebun atau bertan," ujarnya.Padahal, belasan tahun lalu—bahkan di saat konflik Aceh—perburuan babi dilakukan hampir seluruh warga desa, tua maupun muda. Anak muda, terutama yang sudah berpendidikan tinggi, tak lagi terlibat perburuan. Muzawwir agak khawatir, tradisi ini segera punah dari pedesaan Aceh. Tradisi ini justru dilestarikan petani yang hanya lulusan SD atau SMP."Dulu ketika kita berencana berburu babi, kita akan memberi pengumuman di meunasah (musala-red), dan semua orang ingin ikut andil dalam berburu. Kalau sekarang ya beginilah, hanya dilakukan oleh belasan orang saja," tutupnya.
Iklan
Iklan
Tonton perjalanan Alex Abbad bersama tim VICE memburu babi di pedalaman Jawa Barat:
Muzawwir, selaku tetua adat di Indrapuri, mengaku teknik berburu babi adalah ilmu yang penting dikuasai warganya. Apalagi mayoritas penduduk Aceh yang hidup di pegunungan hidup dari bertani dan berkebun. Babi adalah salah satu hama paling dimusuhi.
Iklan