Alasan Kita Perlu Menantang Budaya Monogami
Foto via akun Flickr/My United States of Whatever

FYI.

This story is over 5 years old.

monogami

Alasan Kita Perlu Menantang Budaya Monogami

"Saya takjub saat menemukan data bila orang yang punya tak hanya satu pasangan memiliki kualitas hubungan lebih baik."

Saya seorang poliseksual. Tentu saja saya sering mendapat penilaian negatif terhadap status saya dari masyarakat yang kurang begitu memahami sikap saya terhadap hubungan dan pernikahan tersebut. Tidak jarang penilaian ini datang dari orang-orang terdekat saya. Saya sering mendengar hinaan seperti, “Kamu tuh kegatelan,” atau “pacarmu setuju kamu jalan juga sama orang lain? Seriusan tuh?” Mereka bahkan pernah mengadukan kepada pasangan utama saya kalau saya “selingkuh."

Iklan

Karena reaksi-reaksi negatif tersebut, saya sering merasa sangat berbeda dari kebanyakan orang. Penelitian yang diterbitkan baru-baru ini menunjukkan norma monogami dalam pernikahan sudah sangat merasuki pola pikir setiap orang, melewati ranah interaksi sosial kita, bahkan memasuki bidang sains.

“Oh, mereka ingin kita semua menjadi poliamori,” adalah contoh negatif yang sering didengar peneliti Terri Conley dari University of Michigan saat dia mengajukan studinya untuk ditinjau oleh kolega akademisi lainnya. Penelitian Conley membahas temuan positif yang ada di hubungan nonmonogami konsensual.

“Di saat peneliti menyajikan hasil yang menunjukkan bahwa hubungan monogami lebih baik dari nonmonogami, mereka akan disanjung-sanjung dan dianggap tidak bias. Apabila ada peneliti yang menunjukkan data bahwa hubungan nonmonogami lebih baik, maka mereka akan dianggap bias dan peneliti gadungan,” kata Conley yang mempelajari gender dan seksualitas, saat dihubungi VICE.

VICE mewawancarai Conley, membicarakan penolakan yang dia alami terhadap penelitiannya, sekaligus membahas akar tradisi monogami yang kuat di berbagai kebudayaan.

VICE: Mengapa anda memutuskan untuk terlibat penelitian tentang poliamori?
Terri Conley: Awalnya saya tertarik untuk membahas bagaimana suatu hubungan bisa mengakibatkan perilaku kesehatan dan seksual yang negatif – terutama pada hubungan seksual yang tidak memakai kondom. Semakin saya mendalami ini, saya tidak paham mengapa suatu hubungan bisa menjadi tidak baik, meskipun penelitian saya menunjukkan jika Anda dalam suatu hubungan maka ada kemungkinan Anda akan melakukan hubungan seks yang tidak sehat. Karena itulah saya memutuskan untuk menggali lebih dalam penelitian ini. Kalau saya pikir-pikir lagi, mungkin bukan hubungannya yang menyebabkan pasangan tidak memakai kondom atau melakukan hubungan seks yang sehat, tetapi ini bisa terjadi karena ada kesepakatan yang terjadi dalam hubungan monogami. Seiring waktu, saya memutuskan untuk lebih fokus meneliti bagaimana hubungan monogami bisa menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan seksual. Awalnya saya melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa orang nonmonogami lebih paham pentingnya berhubungan seks yang sehat di luar hubungan utamanya – kami mengamati orang yang memiliki hubungan utama bersama dengan pasangan utamanya, bukan mereka yang selingkuh dari pasangannya… Banyak peninjau yang menentang temuan kami ini. Ada seseorang yang mengatakan bahwa kami sangat “tidak bertanggung jawab” karena telah “mempromosikan” budaya nonmonogami. Ada juga yang mengatakan bahwa kami mengetahui bahwa hubungan gay pada laki-laki “memperburuk” hubungan nonmonogami. Dan kami membatin, “memperburuk”? Kata tersebut sangat sarat makna. Saking banyaknya tanggapan negatif yang kami dapatkan, saya berpikir untuk membahas ini semakin sering lagi [ tertawa]. Kami terus menemukan penentangan dalam tinjauan penelitian saya yang lainnya, bahkan pada saat saya membahas topik seksual lain. Saya baru menyadari bahwa penelitian kami ini menyebabkan sesuatu yang lebih besar daripada tinjauan negatif biasa. Banyak orang yang murka dengan hasil penelitian kami.

Iklan

Istilah negatif apa yang paling sering Anda lihat di penelitian ilmiah yang menunjukkan bias terhadap hubungan nonmonogami?
Saya tidak merasa ada orang yang sengaja menentang, mereka hanya sudah terbiasa berpikir bahwa hubungan monogami adalah hubungan yang baik. Mereka menganggap bahwa suatu hubungan sebaiknya hanya memiliki satu pasangan. Apabila Anda berada dalam hubungan nonmonogami konsensual di mana Anda memiliki lebih dari satu pasangan, Anda harus menentukan pilihan: Siapa yang harus saya bahas? Atau mungkin mereka menjawab pertanyaan dengan satu pasangan dan orang lain dengan pasangannya yang lain. Istilah “selingkuh” sering digunakan secara akademis dan kata ini sangat sarat makna. Istilah alternatif yang lebih netral biasanya “nonmonogami nonkonsensual.” Ada juga “pihak yang tersinggung” yang bisa saja “diselingkuhi.” Saya merasa kami tidak bisa mendekati topik perselingkuhan secara ilmiah jika kami menggunakan istilah tersebut. Beberapa skala hubungan akan membicarakan, “Saya terpikir untuk mencari pasangan baru,” dan itu menunjukkan kualitas yang rendah pada hubungannya bersama pasangan saat ini. Jika Anda seorang monogami, maka itu wajar-wajar saja. Namun, apabila Anda berada dalam hubungan nonmonogami nonkonsensual, Anda mencari pasangan lain bukan karena Anda tidak bahagia dengan pasangan saat ini.

Saya kadang merasa orang berpikir bahwa perasaan cinta kita terbatas. Jika Anda berhubungan atau tidur dengan orang lain, mereka menganggap Anda tidak begitu mencintai pasangan utama?
Saya takjub saat menemukan bahwa orang yang nonmonogami memiliki hubungan yang lebih baik. Ini hanyalah bagian kecil saja dan saya tidak menggeneralisasikan bahwa semuanya seperti itu. Menurut saya sangat menakjubkan mengingat betapa banyaknya tekanan yang dialami mereka yang memiliki hubungan yang tidak biasa: Ada stigma yang menimpa, tidak terlalu banyak aturan yang harus dilakukan selama hubungan… Orang nonmonogami memiliki hubungan yang sukses, dan mereka bahagia menjalaninya. Ini menunjukkan ketahanan yang ada di komunitas tersebut.

Iklan

Baca artikel VICE lain yang membahas tema perlawanan terhadap monogami:

Menurut anda adakah cara menghapus bias penelitian ilmiah saat membahas hubungan nonmonogami?
Menurut saya kondisi sosial masa kini berubah sangat cepat. Saya telah menerbitkan penelitian selama enam tahun, dan bekerja di bidang ini sejak 1991. Dalam skala sosial, orang-orang harus lebih berani mengakui statusnya sebagai poliamori atau nonmonogami kepada teman-temannya, agar mereka dapat memikirkan hubungannya saat mendengar tentang hubungan ini. Pengakuan kepada kelompok yang berbeda bisa mendorong respons yang lebih positif terhadap kelompok nonmonogami, dan ini diharapkan bisa mengurangi prasangka buruk. Ini sangat penting karena masih banyak yang tidak mengetahui hubungan nonmonogami. Ketika saya memberitahu orang lain tentang ini, mereka berujar, “Memang ada yang seperti itu?” atau, “Pasti jumlahnya kecil bagi orang yang tidak menemukan pasangannya.” Sebenarnya, tidak seperti itu. Kami menemukan bahwa sekitar 4 atau 5 persen orang melakukan ini. Orang awam terkejut saat mendengarnya. Untuk perubahan sosial pada umumnya, dan termasuk konteks penelitian ilmiah, pengakuan atau visibilitas bisa menjadi masalah yang besar.

Saya pribadi tidak memberitahu orang tentang status sebagai poliamoris, karena merasa ini adalah hal pribadi. Orang pasti akan sulit memahaminya.
Apa yang Anda lakukan itu wajar, tetapi saya berharap akan ada lebih banyak orang lagi yang bersedia mengakui statusnya. Apabila kita ingin melihat perubahan sosial, maka harus ada orang yang berani untuk menunjukkan statusnya secara terang-terangan dan menepis stigma yang ada selama ini. Kita bisa ambil contoh dari apa yang dialami pasangan gay dan biseksual dulu. Banyak yang bersedia mengakui orientasi seksualnya meskipun ada stigma buruk yang menimpa mereka. Namun, bukan berarti semua orang poliseksual harus melakukannya, karena setiap orang memiliki alasannya masing-masing mengapa mereka memutuskan untuk tidak melakukan itu. Alasan yang biasanya muncul di AS adalah karena saya rasa tidak ada undang-undang yang melindungi mereka yang memiliki pilihan hubungan yang berbeda. Di AS, Anda bisa saja dipecat dari pekerjaan karena memiliki hubungan nonmonogami konsensual. Saya rasa juga banyak orang pada umumnya yang tidak tertarik menceritakan hubungannya kepada orang lain. Misalnya, ada dua rekan kerja Anda yang merupakan pasangan suami istri, dan Anda terkejut karena tidak mengetahuinya. Semuanya kembali lagi kepada keputusan kita masing-masing; apakah kita bersedia untuk mengumumkan hubungan kita kepada orang lain.

Konsep monogami sudah sangat tertanam di berbagai budaya, menurut anda, ini adakah hubungannya sama ajaran agama atau memang kebudayaan asli manusia sejak dulu lebih condong monogami?
Saya pikir konsep ini datang dari agama, tetapi menariknya ini juga memengaruhi orang-orang yang tidak religius sekalipun. Budaya monogami tercipta dari tradisi agama Abrahamik yang sangat melibatkan hubungan dari garis ayah (paternal), yang akhirnya menciptakan budaya monogami. Sekarang ini, banyak orang yang kesulitan melepaskan diri dari budaya monogami tersebut.

*Wawancara ini sudah kami sunting agar ringkas dan lebih enak dibaca.

Colek Allison Tierney di Twitter.