FYI.

This story is over 5 years old.

Politik

Kesimpulan Peneliti: Dominasi Laki-Laki Dalam Politik Indonesia Merugikan Perempuan

Runyamnya lagi, kebijakan kuota gender tidak efektif mendongkrak tingkat keterpilihan perempuan. Kuatnya oligarki jadi salah satu pemicu.
Kesimpulan Peneliti: Dominasi Laki-Laki Dalam Politik Indonesia Merugikan Perempuan
Jokowi dan Prabowo bertemu saat debat pilpres. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Negara kepulauan ini memiliki ratusan kelompok etnis, dan setengah dari populasinya adalah perempuan.

Namun penelitian saya yang baru diterbitkan di jurnal Women’s Studies International Forum menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia didominasi oleh politikus laki-laki yang mayoritas berasal dari pulau Jawa.

Penelitian saya menemukan bahwa sebagian besar kandidat yang terpilih selama pemilihan umum (Pemilu) tahun 2014 adalah pria Muslim yang berstatus menikah dan berusia antara 40 hingga 60-an tahun. Mereka sebagian besar tinggal di Jawa dan mengenyam pendidikan tinggi atau universitas.

Iklan

Kecenderungan ini telah membuat perempuan enggan memasuki politik karena sistem cenderung memprioritaskan laki-laki.

Salah satu akibat dari dominasi pria pada sistem politik di Indonesia adalah rendahnya representasi politisi perempuan di DPR. Dalam pemilihan legislatif lima tahun lalu, hanya 97 dari 2.467 kandidat perempuan yang menang, atau kurang dari 4 persen. Hasil ini menyeret persentase kursi perempuan di parlemen menjadi 17,03 persen, turun dari 18,03 persen pada pemilihan sebelumnya.

File 20190328 139374 70y7a9.jpg?ixlib=rb 1.1

Penelitian saya menelisik karakteristik sekitar 6.000-an kandidat yang berlaga di Pemilu 2014. Hasil riset menunjukkan parlemen Indonesia gagal mewakili keanekaragaman di Indonesia.

Lebih dari 80 persen kursi dalam pemilihan legislatif 2014 jatuh ke tangan laki-laki. Di antara para wakil rakyat terpilih ini, 75 persen tinggal di Jawa, dan 90 persen di antaranya adalah lulusan universitas. Hanya kurang dari 2 persen adalah anggota parlemen berusia muda yakni di bawah 30 tahun.

Orang yang berusia antara 40 sampai 59 tahun terlalu banyak mendominasi kursi di DPR. Kelompok usia ini jumlahnya hanya 12,89 persen dari populasi nasional, tetapi hampir 39 persen anggota DPR berusia 40-59 tahun. Hal yang sama berlaku untuk kelompok usia 50-59 tahun, yang hanya mewakili 8,43 persen dari populasi nasional namun menguasai 30 persen kursi di DPR.

Pola yang tidak inklusif ini dimulai dari proses pencalonan anggota legislatif. Dalam pemilihan 2014, hanya 37 persen dari kandidat adalah perempuan, dan 27 persen dari mereka tinggal di luar Jawa. Hanya 5 persen dari mereka yang mewakili generasi muda, antara 20 dan 29 tahun.

Iklan

Kerugian perempuan

Rasio keterwakilan perempuan di parlemen nasional di Indonesia masih berada di bawah 20 persen meskipun ada kebijakan kuota gender 30 persen. Kebijakan yang diperkenalkan pada tahun 2004 mengharuskan partai politik untuk mencalonkan perempuan setidaknya 30 persen dari total kandidat.

Kecilnya jumlah kursi perempuan di DPR menunjukkan bahwa kebijakan kuota gender tidak efektif mendongkrak tingkat keterpilihan perempuan.

Beberapa elit partai yang saya wawancarai membela keputusan mereka yang mencalonkan lebih banyak pria daripada perempuan dengan mengatakan bahwa kandidat perempuan berkualitas tinggi saat ini semakin sulit ditemukan. Mereka juga menyalahkan elektabilitas perempuan yang relatif rendah.

Preferensi ini terlihat ketika partai-partai cenderung menempatkan kandidat laki-laki di nomor urut teratas di kertas suara, sementara calon legislatif perempuan ditempatkan di nomor-nomor yang lebih rendah. Secara statistik, semakin rendah seorang kandidat ditempatkan di kertas suara, semakin kecil kemungkinannya untuk menang. Setiap satu nomor lebih rendah dari puncak daftar calon legislatif, peluang untuk menang merosot sebanyak 63,5 persen.

Dari keseluruhan kandidat perempuan yang terpilih dalam pemilu 2014, 47 persen dicalonkan sebagai kandidat nomor satu. Dari kandidat laki-laki yang terpilih, 65 persen menempati nomor urut satu. Karena partai politik cenderung mencalonkan politikus laki-laki di posisi teratas, ini menciptakan kerugian yang signifikan bagi politikus perempuan.

Iklan

Tren lain yang patut dicermati adalah sebagian besar kandidat perempuan terpilih memiliki hubungan dengan petahana. Hampir setengah dari mereka (45 dari 97) menikah atau memiliki hubungan darah dengan para pemimpin politik.

Hal ini mengindikasikan bahwa laki-laki masih mengendalikan politik dan banyak perempuan tidak bisa menang tanpa dukungan dari politisi laki-laki.

Hal ini tidak hanya merusak partisipasi perempuan dalam politik, tetapi juga dapat meneguhkan oligarki politik. Oligarki politik adalah sistem politik di mana sejumlah kecil elit partai dan keluarganya mendominasi proses pengambilan keputusan di DPR. Karena mayoritas elit partai adalah laki-laki, hal ini dapat semakin merusak partisipasi perempuan dalam sistem politik negara.

The Conversation

Ella S. Prihatini adalah Endeavour scholar dan kandidat Ph.D dari University of Western Australia

Artikel ini dipublikasi ulang dari The Conversation berdasarkan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.