FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Panduan Memahami JAD, Dalang Berbagai Teror Terkait ISIS di Indonesia

Masih banyak kesalahpahaman publik, termasuk polisi, terhadap cara kerja Jamaah Ansharut Daulah yang meledakkan bom bunuh diri di Kampung Melayu pekan lalu.
Pawai diduga anggota JAD di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Foto oleh Iqbal Kholidi.

Serangan bom di terminal bus Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang menewaskan tiga polisi dan dua pelaku, serta melukai 11 orang lainnya, adalah bentuk baru terorisme bagi Indonesia. Pelakunya tidak pernah mengikuti pelatihan militer yang teratur seperti generasi awal jihadis. Semua orang yang terlibat hanya disatukan oleh kesamaan ideologi dan aplikasi pesan terenkripsi bernama Telegram. Para martirnya sengaja menyerang target-target mudah, baik itu warga sipil ataupun polisi. Pakar terorisme bahkan tidak pernah menyebutnya sebagai organisasi.

Iklan

Detasemen Khusus Polisi Anti Teror 88 menyatakan serangan Kampung Melayu didalangi jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kedua pelaku, yang teridentifikasi sebagai warga Bandung bernama Ahmad Sukri dan Ichwan Nurul Salam, meledakkan bom bunuh diri di sebuah toilet dan parkiran sepeda motor Terminal Kampung Melayu. Belum jelas kapan dan bagaimana keduanya bergabung dan menjadi pendukung JAD.

Nama JAD tiba-tiba muncul menyusul pernyataan mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As'ad Said Ali pada jumpa pers Maret 2015, yang menyebut sejumlah pendukung ISIS telah mendeklarasikan kelompok baru. November tahun yang sama, simpatisan ISIS di Tanah Air menggelar acara di Kota Batu, Jawa Timur. Selebihnya nihil informasi tentang sepak terjang anggotanya.

Bagaimanapun, 'kelompok teroris' satu ini semakin patut diwaspadai. "JAD tidak bisa dilihat sebelah mata lagi," kata pengamat terorisme Al Chaidar kepada VICE Indonesia. "Jaringan mereka sangat luas sudah sampai ke Filipina untuk pembelian senjata. Anggotanya mencapai ribuan, tersebar di 18 provinsi."

The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga pengamat terorisme Asia Tenggara, menganggap JAD bukanlah organisasi yang rapi dengan kekuatan militer dan sumber donasi dari dalam maupun luar negeri, seperti dikesankan pemberitaan media massa.

Melalui laporan bertajuk Disunity Among Indonesian ISIS Supporters and the Risk of More Violence IPAC menyebutkan tidak ada bukti struktur organisasi dalam JAD. "Nama itu hanyalah istilah generik untuk menyebut para pendukung ISIS di Indonesia," ungkap laporan tersebut.

Iklan

Tak kurang, sesama anggota kelompok Islam radikal merasa JAD bukan organisasi. Nanang Ainur Rafiq, pengurus Jemaah Ansharut Tauhid (JAT)—organisasi yang dibentuk oleh Abu bakar Ba'asyir sesudah tenggelamnya Jamaah Islamiyah—mengakui pernah ada pertemuan simpatisan ISIS dari berbagai kota di Indonesia tiga tahun lalu. Namun, seingatnya, tak ada upaya deklarasi sebuah organisasi teror baru.

"Istilah Anshar Daulah itukan dari bahasa arab artinya pendukung daulah (negara Islam), tapi tidak ada pembentukan tanzhim terstruktur bernama Jamaah Anshar Daulah. Itu adalah istilah media dan aparat," ujar Nanang).

Media dan pihak kepolisian menggambarkan JAD seakan-akan organisasi struktural, dengan pucuk pimpinan dipegang Aman Abdurrahman, biasa dipanggil Aman, yang saat ini sedang menjalani hukuman sembilan tahun penjara di Lapas Batu, Nusakambangan. Dia terbukti mengorganisir kamp paramiliter di Jantho, Aceh.

Aman, yang sempat menjadi dosen di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta pada dekade 90-an, bukanlah militan yang pernah menjejakkan kaki di medan perang. Tidak pula mengenyam pendidikan militer. Aman menjadi figur penting dalam peta radikalisme di Indonesia karena menerjemahkan dan mempromosikan ajaran takfiri (mengkafirkan muslim lain yang tidak sepaham)—ajaran ekstrim sempalan Salafi yang diperkenalkan oleh Sayyid Qutb dan terutama Abu Musab Al Zarkawi, pendiri Al Qaeda di Irak (AQI) sebelum berubah menjadi ISIS.

Iklan

Aman, yang berdakwah dari satu masjid ke masjid lain, lantas memiliki ratusan bahkan ribuan pengikut. Ajarannya, konon, bahkan bikin mantan amir Jemaah Islamiyah (JI) Abu Bakar Ba'asyir tertarik. Tak lama ketika ISIS menyatakan berdirinya negara Islam di Suriah dan Iraq, baik Aman maupun Ba'asyir berbaiat pada Khalifah ISIS Abu Bakr Al Baghdadi.

Terlepas dari ada atau tidaknya JAD, teror di Indonesia sudah mencapai babak baru. Ketika membangun sebuah organisasi dengan sayap militer yang kuat sudah mustahil (kamp paramiliter terakhir ada di Jantho yang belum sempat beroperasi karena keburu dibongkar aparat pada 2010), para militan kini bergerak secara mandiri dan sporadis tanpa ada sentralisasi rantai komando.

Lupakan senapan serbu atau bom berdaya ledak tinggi seperti era JI. Para militan kini hanya mengandalkan senjata tajam, senapan rakitan dan kadang selundupan dari Filipina. Soal bom pun bisa dibilang amatir dan berdaya ledak rendah. Biasanya dibuat menggunakan alat sederhana seperti pressure cooker dengan bahan kimia yang cenderung mudah didapat seperti potasium nitrat. Mereka mempelajari semua lewat internet berbekal panduan yang disebar lewat media sosial.

Dengan kemudahan media sosial dan aplikasi pengirim pesan seperti Telegram, radikalisme mudah menyebar seperti virus. Aplikasi tersebut juga digunakan untuk berkoordinasi sebelum melakukan serangan.

"Interaksi virtual (antar jihadis) itu berjalan," ujar pengamat terorisme Ridlwan Habibi kepada VICE indonesia. "Mereka mungkin tidak saling mengenal, tapi satu serangan dapat menginspirasi militan lain untuk melakukan hal serupa."

Iklan

Sementara itu Herdi Sahrasad, peneliti politik Islam dari Universitas Paramidana. mengatakan serangan bom Kampung Melayu baru-baru ini menimbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Dia mendesak kepolisian segera memberikan bukti yang valid soal ada tidaknya JAD.

"Ada indikasi pelakunya adalah anggota JAD, jika polisi sudah menginvestigasi dan yakin ya buka saja struktur organisasinya. Aparat harus transparan," ujar Herdi kepada VICE Indonesia.

Berikut rangkaian teror di Tanah Air yang menurut polisi melibatkan JAD:

16 Maret 2014

Ribuan orang menyatakan dukungan terhadap ISIS di Bundaran HI. Pendeklarasian tersebut diprakarsai oleh ustadz Syamsudin Uba setelah mendapat izin dari Polres Jakarta Pusat. Aksi tersebut diikuti pula oleh Bachrumsyah - yang kini berada di Suriah - dan M. Fachry, pendiri situs radikal pro-ISIS al-mustaqbal.net yang kini tengah menjalani hukuman di penjara.

20 November 2015

Para pendukung ISIS mengadakan pertemuan di sebuah hotel di Batu. Ada dua versi soal isi pertemuan. Pertama pendeklarasian organisasi (JAD). Kedua, pertemuan tersebut hanyalah untuk menyamakan persepsi soal kekhalifahan Islam.

14 Januari 2016

Beberapa hari setelah Aman mengeluarkan fatwa menyerukan jihad di dalam negeri bagi mereka yang tidak sanggup pergi ke Suriah, empat orang yang diidentifikasi sebagai Ahmad Muhazan, Dian Juni Kurniadi, Afif alias Sunakim, dan Muhamad Ali, menyerang pusat perbelanjaan Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Delapan orang tewas (termasuk keempat pelaku) dan 24 lainnya luka-luka. Keempat pelaku diketahui mengunjungi Aman di Nusakambangan antar Mei dan Oktober 2015 untuk meminta nasehat.

13 November 2016

Seorang yang diduga anggota JAD di Samarinda, Kalimantan Timur melempar bom molotov ke Gereja Oikumene. Pelaku yang bernama Juhanda alias Jo, adalah mantan napi terorisme bom buku yang mengguncang Jakarta pada 2011.

10 Januari 2017

Kementerian Luar Negeri AS (US Department of State) menyatakan JAD sebagai Specially Designated Global Terrorist (SDGT).

27 Februari 2017

Sebuah bom panci berdaya ledak rendah meledak di sebuah lapangan di Cicendo, Bandung. Tidak ada korban jiwa maupun luka dalam insiden tersebut. Namun pelaku, Yayat Cahdiyat, tewas dalam baku tembak dengan aparat kepolisian saat bersembunyi di kantor kelurahan.

23 Maret 2017

Densus 88 menangkap tujuh orang diduga anggota JAD dan menembak mati satu orang - yang teridentifikasi sebagai Nanang Kosim - di wilayah berbeda di Banten dan Jawa Barat. Menurut pihak kepolisian, Nanang diketahui ikut dalam pertemuan di Batu dan berperan sebagai pemasok senjata dari Filipina Selatan, termasuk senjata yang digunakan oleh para pelaku serangan bom Thamrin.

7 April 2017

Tiga terduga teroris Zainal Anshori, Hendis Efendi, dan Hasan ditangkap di dua lokasi terpisah di Lamongan, Jawa Timur. Zainal memiliki koneksi dengan Nanang dan juga berperan sebagai pemasok senjata.

8 April 2017

Densus 88 menembak mati enam terduga anggota JAD di Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur. Sebelumnya, keenam terduga teroris tersebut berupaya menembak sebuah pos polisi sebagai aksi balas dendam atas penangkapan rekan mereka di Lamongan.

11 April 2017

Polisi menangkap Muhammad Ibnu Dar yang menyerang Mapolres Banyumas, Jawa Tengah. Pelaku yang menggunakan sepeda motor tiba-tiba masuk ke halaman mapolres dan menabrakkan sepeda motornya ke arah personel kepolisian sebelum menyerang menggunakan pisau. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Polisi menemukan rangkaian bahan peledak saat menggeledah rumah Ibnu dan menduga serangan tersebut merupakan buntut penangkapan anggota JAD sebelumnya.

24 Mei 2017

Dua serangan diduga bom bunuh diri terjadi di terminal bus Kampung Melayu. Serangan pertama terjadi di sebuah toilet dan tidak menimbulkan korban. Tak berselang lama serangan kedua terjadi kala para personil polisi mendatangi lokasi untuk mengamankan. Serangan tersebut terjadi setelah serangan bom di konser Ariana Grande di Manchester, Inggris dan Marawi, Mindanao, Filipina. Kedua pelaku diduga anggota JAD. Lima orang tewas yakni polisi dan pelaku, sementara 11 orang lainnya luka-luka.