Masa Depan Jakarta di Mata Skorer Karaoke—Cerpen 'Metaxu' Oleh Norman Erikson Pasaribu
Ilustrasi oleh Dwiky KA.

FYI.

This story is over 5 years old.

Indonesia 2038

Masa Depan Jakarta di Mata Skorer Karaoke—Cerpen 'Metaxu' Oleh Norman Erikson Pasaribu

Memakai sudut pandang pegawai karaoke, Norman memberi pembaca bar dipenuhi hologram, membayangkan Kota Tua tenggelam, serta sebuah kisah yang sulit dilupakan.

*Cerpen ini tayang sebagai bagian dari 'Pekan Fiksi VICE: Indonesia 2038'. Redaksi meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan situasi Indonesia pada 2038. Naskah yang kami terima rata-rata bercorak fiksi ilmiah, menyajikan gaya tutur segar, serta sudut pandang menarik saat mengulas topik seperti teknologi, lingkungan, agama, hingga bahasa di masa mendatang.

Selamat membaca!

Iklan

Ini termasuk cerita yang tak akan pernah muncul di video-video pengakuan dosaku untukmu. Ini datang dari kehidupanku saja ketika aku masih tinggal di Jakarta. Aku masih seorang skorer tanpa daya tarik di salah satu rumah karaoke premium di Jalan Sabang Baru, seperti yang pernah kuceritakan selintas di pengakuan-pengakuanku sebelumnya. Setiap hari aku bertengkar dengan adikku yang pemarah dan melemparinya dengan botol-botol obat batuk kosong, berharap salah satu dari mereka membuatnya buta. Yang betulan terjadi: ketika aku tiga belas tahun, satu mengenai telinga kirinya dan pecahan botol membuat ia agak tuli. Sayangnya, Om, itu bukan dosa terbesarku.

Saat itu aku hanyalah seorang gadis yang melintasi hidupnya mengendarai majalah bekas terbang, dan bukannya buku-buku tebal. Aku bukan seorang perempuan yang kini kau kenal, yang sedang menyelesaikan kuliah Filsafat Teknik, yang tengah merampungkan skripsi tentang fenomena metaxis dalam penayangan ulang ingatan pada otak manusia. Diriku saat itu mustahil muncul ketika misa hanya untuk “mendengarkan khotbah Om.” Masa depanku yang masih tersisa di sana: kacamata yang disambung lem Alteco, dan cuping hidung penuh noda hitam karena hiperpigmentasi.

Hidup dimulai pukul tujuh dan adik laki-lakiku mengantar aku dengan motornya menuju Stasiun Kranji. Beginilah aku mempersiapkan pagiku: tisu basah, krim anti-skincancer, permen mint pereda tenggorokan gatal, dan kalung dengan plat logam bertuliskan namaku—jaga-jaga aku dibacok ketika pulang malam dan mereka perlu mengidentifikasi jasadku. Seperti semua orang, aku tak berhenti melap wajah. Seperti semua orang, aku tak bicara dengan siapa pun. Aku gadis biasa. Aku turun di stasiun Sudirman. Aku berjalan kaki menuju tempatku bekerja.

Iklan

Di bundaran HI aku berhenti dan melihat mereka berdua sebentar, yang selalu mengintai dan mengawasi.

Kau lahir di kota ini ‘kan, Om? Aku terbuang di sana sejak lahir. Dulu ayahku bilang kedua patung itu namanya Patung Selamat Datang. Ia punya foto close-up wajah mereka dalam album, yang dulu ia ambil ketika masih muda dengan sebuah drone milik koran cetak tempat ia bekerja—sebelum akhirnya seseorang menciptakan photodrone dan ayahku kehilangan pekerjaannya. Ketika ibukota dipindahkan dua belas tahun lalu, umurku tiga belas. Aku dan adikku berkeliling RT membawa album ayahku itu, yang berisi Jakarta tempo dulu: banjir di Bukit Duri, orang-orang menggelar sajadah dan berdoa bersama di Monas, parade Pride pertama dan wajah ceria almarhum tanteku dan ceweknya… Anak-anak tetangga berkumpul mengelilingi kami berdua. Mereka terkesima.

Panggilan itu sendiri, Patung Selamat Tinggal, muncul sebagai respon konyol dari warganet terhadap pemindahan itu, tetapi menjadi lebih serius tak lama kemudian. Ketika akhirnya Pak Presiden memasukkannya sebagai cultural reference dalam pidato akhir tahunnya—resmilah sudah.

Barangkali pertanyaanmu sekarang: apa perempuan itu cerminan higher middle class; soalnya dia membawa sebuket bunga di tangannya?

Sama sekali bukan. Dulu sekali bunga bukan sesuatu yang mewah, itu kata ayahku. Dulu kita menyambut kedatangan orang yang dicintai dengan bunga. Coba bayangkan.

Iklan

Dengan nama baru patung itu, kita bisa bayangkan bunga itu pemberian kekasih si gadis, yang akan merantau ke Palangkaraya, untuk bekerja sebagai koki di restoran Thailand.

Atau ia temukan itu tergeletak di jalan tol menuju bandara. Kalau jeli kau bisa menemukan apa pun di jalanan. Itu kata Alkitab. Barangkali perjanjian lama.

*

Sehari-hari aku dan semua rekan kerjaku cuma berkutat di bangunan empat lantai itu. Hidup begitu tertebak dan repetitif sehingga kadang kami membiarkannya berjalan tanpa interupsi: para mahasiswa akan datang pada happy hours, di hari kerja—biasanya Rabu. Mereka anak-anak pejabat, jenuh karena tugas kuliah, main dengan lagu-lagu yang sedang tenar di vid-radio. Next, next, next! karena hanya suka refrainnya saja. Datang biasanya berempat atau berlima—small atau medium. Suara mereka kencang, jadi di ujung belakang. Para pegawai kantoran dari Gatsu akan datang malam Jumat, dengan klien-klien mereka, biasanya Cina daratan atau India, sesekali bule. Botol-botol bir dibuka, sayap ayam berember-ember digoreng. Instruksi: Mark up nilai untuk klien, dan jangan kirim komentar pada setengah jam terakhir karena deal sedang digol. Para ibu pejabat: tengah minggu, tengah hari. Pelayan android mengekor di belakang. Tentu saja ruangan VVIP. Menu makan siang. Colaganja. Es teh leci. Keripik singkong, dengan sambal matahnaise. Kemudian para turis bule, datang untuk melihat Kota Tua yang tergenang. Beberapa sungguhan peneliti. Bir Bintang. Kacang bawang. Keripik udang. Kemudian kami sendiri, pada malam-malam bos pulang cepat, lagu-lagu santai, lagu-lagu lama. Lagu-lagu yang tak pernah dimainkan mereka semua, hanya agar lagu-lagu itu tetap ada.

*

Pemilik menamai tempat itu Ear to Ear, tetapi orang-orang lebih terbiasa menyebutnya All Ears, kependekan dari moto yang terpajang di meja resepsionis dalam tinta biru spesial—campuran azure, elektrik, dan majorel: Buat Kamu We Are All Ears. Kalau kau merasa sedikit tentram ketika melihat tulisan itu, Om, sadari bahwa ini efek psikologis dari warna tersebut, yang didesain khusus oleh seorang koloris lulusan Parsons berdasarkan observasinya pada watak warga kota ini.

Berbeda dari semua tempat karaoke premium di mall-mall di Jakarta saat itu, dengan segala pelayan android mereka, atau aplikasi skoring terbaru mereka—pilihan Pitchfork pada 2037! Handpicked by Kendrick Lamar just for you!—All Ears datang dengan gagasan kuno dan kentara sederhana: skor yang kau dapat di tiap nyanyianmu diberikan manusia sungguhan. Manusia-manusia itu juga sesekali akan mengirimkan komentar atau banyolan semacam, “good song selection!” atau “aku suka warna suaramu tapi pitchnya goyang,” atau “Who is this? You sounded like early Mariah!”

Iklan

Tak ada perangkat rekognisi suara, yang di tempat lain membuat para mahasiswa mencampur-aduk bahasa: “Chúng tôi muốn All I Want for Ied Mubarak Is You by Aeesyah.”

Tak ada sajian 5DX, tak ada video klip diputar menjadi hologram.

Hanya kami.

*

Kami duduk dalam barisan-barisan di ruangan 6x6 di lantai paling atas tempat ini. Kalau suatu kali kau datang tanpa jubah, masuklah dan kau akan temukan ini, Om: kami semua masih awal atau pertengahan dua puluhan, dengan baju compang-camping putih-kuning karena dicuci dengan air keran. Kebanyakan dari kami lahir dan besar di pinggiran Botabek, hanya lulusan SMA, dan terlalu miskin untuk kuliah lagi. Mata kami berkantung-kantung dan mereka hitam seperti kulit ayam bakar, bekas jam-jam malam bekerja. Ketika ditanya, sebagian masih bisa menjawab dengan sigap dan sederhana: mimpiku merantau ke Palangkaraya, jadi pengamen jalanan untuk beberapa bulan, mendapatkan manajer, tampil di acara pernikahan yang disiarkan di televisi, meluncurkan album. Namun sebelum tiket sekali jalan ke ibukota sampai ke tangan, kami menemukan brosur pekerjaan ini. Kami mengangguk-angguk pada pertanyaan-pertanyaan: “Do you like music?” Yes . “Ingin jadi orang dalam industri?” Tentuja! Dan, yang paling klasik, “Siap bikin perubahan?”

Hell yeah.

*

Masalah pada pengakuanku ini, Om: adikku juga menemukan brosur itu. Suatu Minggu siang, beberapa hari setelah aku mulai bekerja di All Ears tanpa memberitahunya, ia menghampiriku dan bilang, “Kak, aku mau kerja di sini.”

Aku menerima brosur itu dan tercenung. Aku paham perkataannya. Ia melakukan ini karena rindu ayah kami.

Iklan

Setelah dipecat, ayah bekerja serabutan. Ia mencuci mobil, bekerja di pabrik kain di Cikarang, mengurus taman orang-orang kaya di Menteng, menjadi narasumber seorang novelis yang mengerjakan naskah soal fotografer. Di waktu-waktu menganggur, ia mendengarkan musik untuk menghabiskan waktu. Kami berdua membesarkan diri kami sendiri di luar rumah, aku bekerja membantu-bantu di salon. Kami tak tahan dengan lagu-lagu kesukaan ayah. Setelah ayah kami bunuh diri beberapa tahun kemudian, kami kembali masuk ke rumah dan mengambil podium: kami mendengarkan musik kesukaan ayah.

Kau bisa bayangkan ini: aku tidur-tiduran di atas tikar plastik sambil membaca satu dari segunung majalah bekas milik ayahku. Benda itu melayang di atas wajahku seperti televisi orang-orang kaya. Tanganku menahannya. Di sofa di sudut adikku membuka-buka album foto. Kadang-kadang sesuatu yang barangkali debu jatuh dan mataku berair.

“Apa debu melompat ke matamu?” tanyaku sesekali.

“Hah,” balas adikku bingung; air mata berlinangan di wajahnya.

*

Aku juga tahu alasan lain adik laki-lakiku tak ingin merantau ke Kalimantan dan bekerja di pabrik sawit, seperti yang dilakukan banyak teman kami. Kudengar dari kawannya ia naksir seorang pegawai kontruksi di dekat sini, seorang bocah dari Tangerang bernama Ben. “Dia juga ingin punya anak android bernama Starla,” kata teman adikku, tertawa. Setelah ia sendiri merantau ke Kalimantan, kami lepas kontak.

“Itu tempatku bekerja sekarang,” kataku, hati-hati, ketika ia menunjukkan brosur yang berisi pekerjaan yang baruku. “Nanti kutanya bosku.”

Iklan

Masalahnya, Om, masalah yang ada pada masalah pengakuanku ini: satu telinga adikku tuli.

Adikku tampak terkejut. Sebelum ini kukira dia sudah melihat map berkas yang sengaja kutinggalkan di meja rias milik almarhum ibu kami.

“Sejak… kapan?”

“Baru kok. I will let you know.”

Ia seperti ingin membalas perkataanku, tetapi menahan dirinya.

Ia pemarah, jadi kutawarkan jawaban yang aman. Dulu ia sempat lama tak mau bicara denganku karena kularang ia untuk memanggil pendeta untuk memakamkan ayah kami. Mau bagaimana lagi, ayah tak pernah membayar iuran tahunan jemaat. Mereka tak akan mau membantu kita, tukasku, karena bagi mereka kita bukan lagi orang Kristen.

Sebagai perlawanan terhadapku, ia mulai pergi ke gereja setiap minggunya.

*

Pengakuanku: aku tak pernah menanyakan soal itu ke bosku dan selalu memilih mengulur-ulur waktu.

“Ia sedang dalam sidang perceraian dengan istrinya, moodnya sedang buruk, “ kataku, ketika adikku menanyakan hal itu seminggu kemudian. “Anaknya depresi pascaperceraian.” “Keponakannya meninggal karena demam berdarah.” Yang terakhir ini membuat adikku marah. Ia menuduhku berbohong. Tak ada yang meninggal demam berdarah sejak bertahun-tahun lalu, katanya. Kalau begitu AIDS, jawabku. Tak ada lagi yang meninggal karena AIDS. Oh.

Aku berbohong lagi: Ia bilang tak bisa menerima pegawai yang tuli. Adikku mengoreksiku. Ia juga tidak bisa menerima pegawai yang setengah tuli, aku mengoreksi penolakanku.

Iklan

Aku memintanya untuk bekerja dulu di sekitar ini, mungkin di pabrik di dekat sini. “Setelah uangmu terkumpul. Obati telingamu dan kau bisa bekerja di tempatku.” Sejujurnya aku tak tahu mengapa aku tak mau menanyakan hal itu kepada bosku. Apa ruginya?

Adikku berteriak dan memakiku. Ia meraih botol obat batuk kosong di meja dan melemparkanya ke arahku.

Aku menghindar dan botol itu pecah menabrak dinding di belakangku.

“Kau gila aku bisa buta!”

Ia membuang muka, menyodorkan telinga kirinya.

“Kalau telingaku bagus, aku pasti bisa bekerja untuk pemerintah!”

*

Sejujurnya aku lupa alasan aku melempar adikku dengan botol obat batuk. Sudah lama sekali. Namun, rupanya ia masih ingat: “Kau marah aku menghilangkan album ayah,” cetusnya suatu kali, pada satu dari banyak kesempatan ia kembali membujukku untuk menego bosku. Aku merasa dia menyalahkan aku.

*

Aku dan rekan-rekan kerjaku—kami akhirnya tak pernah membuat perubahan di dunia ini, musik ataupun bukan. Pemilik mendaftarkan hak cipta sistem ini dan tak membagi lisensinya kepada siapa pun, meskipun kami tahu beberapa tempat karaoke murah di sekitaran Melawai atau Palmerah diam-diam meniru secara ilegal sistem ini.

Hari-hari kami habis di depan monitor, bergantian bertahan di sana hingga pagi hari. Ojek-ojek datang menjemput, membawa kami kembali ke Stasiun Sudirman. Kami tertidur sebentar-sebentar dalam gerbong, tak tertarik melihat lanskap kota ini, yang masa jayanya sudah ketinggalan sejak stasiun pertama.

Iklan

*

Kalau ini kisah Alkitab, Om, inilah cara adikku mendapatkan pengetahuannya: suatu hari ia mengikutiku ke kantor.

Hari kerja yang biasa, dengan para mahasiswa. Perasaanku sedang buruk karena pagi harinya hujan deras dan sepatuku basah kuyup. Salah satu resepsionis masuk dan mencolekku. “Lin, ada cowok mengaku adikmu. Lagi ngomong ke bos.”

Aku terperangah dan cepat-cepat meninggalkan meja. Adikku mamakai kemeja biru muda kusam dan celana panjang. Saat tadi ia mengantarku ke stasiun, ia bercelana pendek dengan kaus kumalnya yang biasa. Ia sedang bicara dengan penuh semangat dengan bosku. Mendadak aku sangat conscious: kulitnya hitam betul, penuh jerawat. Giginya kuning seperti kulit roti.

Dari wajahnya aku bisa melihat bosku terganggu, tetapi sungkan mengabaikan adikku. Ketika aku mendekat ia langsung menepuk lenganku. “Lin, take care of this,” katanya singkat dan dingin, “dan ganti kacamata bodolmu.” Ia meninggalkan ruang tunggu.

*

Aku mengajak adikku keluar, tetapi ia menolak.

“Kalau kau masih begini mereka akan menelepon polisi,” kataku dengan penuh amarah, tetapi dengan seutas ketakutan yang tak bisa kusembunyikan. “Kau membuatku malu.”

Aku menyeretnya keluar, dan kami bertengkar di depan All Ears.

Pengakuanku: kuhina dia karena aku tahu alasan dia menginginkan pekerjaan ini adalah sentimentalisme terhadap ayah kami. Dan kutegaskan: surga tak ada, tuhan tak ada, neraka tak ada, dan ayah kami sudah tak ada. “Bahkan kelak kuburannya pun akan terendam air,” tambahku. “Dan selama ini toh aku yang mengurusmu.”

Iklan

Tiba-tiba dia tampak murung. Ia berbalik dan berjalan cepat ke arah stasiun Sudirman. Aku mengejarnya.

Di depan pintu stasiun, ia menengok ke arahku.

Wajahnya berlinangan air mata. “Don’t say that,” katanya gagap. “Take it back.”

“Dasar cengeng,” hinaku.

“Bosmu bilang ia tak pernah dengar permintaanku,” katanya keras. Ia masuk ke dalam stasiun.

*

Sejak itu aku hampir tak pernah bertemu dengan adikku lagi.

Dari yang kudengar dari tetangga, ia kini superaktif sebagai naposobulung di gereja HKBP dekat rumah kami. Satu kali aku datang kebaktian dan menemukan ia sebagai pengumpul persembahan. Aku pergi sebelum ia sampai ke barisanku.

Sebetulnya ini bukan pekerjaan yang menyenangkan, ingin sekali aku memberitahunya. Karena orang-orang kaya tak pernah paham apa yang mereka inginkan. Mereka akan selalu merasa tak dimengerti. “You will never understand them karena kau tak pernah punya apa yang mereka miliki.”

Beberapa bulan kemudian kudengar adikku bisa merantau ke Palangkaraya. HKBP memutuskan untuk menambah satu unit cabang di sana. Namun mereka hanya bisa menggaji satu orang untuk mengurus urusan rumah tangga gereja dan orang itu adikku.

*

Aku tak mengantarnya ke bandara.

Setelah ia pergi, ia rutin mengirim surat dan barang-barang: taplak meja bunga-bunga, sepatu olahraga, jamu impor dari Cina, album foto berisi foto-foto Palangkaraya. Aku melihat gambar-gambar itu satu per satu: Gedung-gedung pencakar langit diseliweri mobil terbang. Android-android melayani orang-orang di supermarket. Seorang perempuan menggendong seorang bayi. Bayi itu tertawa dan kita bisa melihat lidah karet. Hi. Namamu Starla?

Iklan

Semua surat dan barang itu tak pernah ditujukan untukku. Adikku menulis, Dear Ayah…

Halo Yah,

Hi Ayah,

Ayah,

Yah,

Yah,

Yah…?

Bahkan ia tak pernah sekalipun menyebutku atau menanyakan kabarku. Ia juga menggunakan alamat kantor pos pusat Palangkaraya sehingga aku tak bisa membalas suratnya. Sempat kupikir aku bisa berpura-pura jadi ayahku: Selama ini Ayah memalsukan kematian Ayah, atau Seorang ilmuwan Bandung memasukkan kesadaranku ke dalam kotak, Dek tetapi setelah kupikir lagi: itu konyol. Dan ia pasti akan pulang dalam beberapa bulan.

Ia menulis: ia serabutan untuk gereja HKBP di Palangkaraya, melakukan apa pun yang dikatakan dua pendeta di sana. Ia menjadi pembersih gereja pada jeda di antara dua kebaktian, sesekali pengumpul persembahan, sesekali pembaca ayat Alkitab, sesekali notulen rapat majelis, dan bahkan pembagi lilin-lilin pada misa Natal, juga sesekali. Ia lupa membawa satu pun foto keluarga. Suatu kali ia menulis, “Aku mendengarkan musik terus. Itu satu-satunya cara aku masih bisa mengingat wajahmu, Yah.”

Setelah hampir dua tahun kirimannya berhenti.

*

Setahun kemudian kuputuskan untuk mencari adikku. Aku berhenti dari pekerjaanku, pekerjaan yang pernah memisahkan kami berdua. Aku beruntung mendapatkan info soal kontrakan murah, Om. Kau tentu tahu tak pernah urusan mudah untuk masuk ke kota ini. Mesti ada sponsor yang menjamin kau tak akan jadi gembel di jalan. Tembok tinggi tebal yang mengelilingi kota ini ada bukan untuk melindungi, tetapi membatasi. Kalau kau coba mengetuk tembok itu, suaranya tak akan sampai ke sisi sebelah. Ketika terlalu tebal pembatas kehilangan esensnya untuk menghubungkan, Om. Katakan itu kepada kawanmu Weil.

*

Aku tinggal di sebuah unit apartemen kecil di daerah pinggiran Palangkaraya, milik seorang gadis muda campuran. “Ini tempat tinggal salah satu suami simpanan ibuku,” katanya. Ia terlihat lebih cantik dari foto profilnya. Ia memilihku sebagai penyewa setelah tahu aku bekerja di karaoke milik almarhum ibunya. Oh. Ini rupanya perempuan warna biru itu, pikirku. “Ibuku dulu menulis lirik dan puisi untuk para musisi,” katanya ketika kami sampai ke pigura berisi seorang perempuan bersebelahan dengan seorang laki-laki muda. “Akhirnya ia memutuskan ingin membuat perusahaan karaoke, with a nice twist.” With a human twist, pikirku. Namun, bagaimana rasanya kehilangan seluruh keluargamu dalam sebuah penerbangan? Aku tak pernah menanyakan hal itu kepadanya. Kadang-kadang keberuntungan datang dengan cara paling menyedihkan. Gadis itu menyerahkan semua koleksi krim wajah milik simpanan ibunya kepadaku. Aku bimbang, awalnya. Namun, lima minggu ke depan setelah itu adalah minggu-minggu tercantik dalam hidupku. Kulitku mentereng menantang matahari. Kulitku berani melawan opresi cahaya.

*

Sisanya seperti yang kau telah pahami separuhnya, Om: aku datang kebaktian setiap minggu, berganti-ganti gereja setelah tak kutemukan adikku di dua HKBP di kota ini. Aku sering ke gereja ini—padahal ia mustahil ke sini. Tetapi sejujurnya aku suka apa yang kau katakan di khotbah-khotbahmu, Om. Pengakuanku: aku tak pernah berharap menemukan tuhan siapa pun di sini. Aku tetap berharap menemukan adikku saja: aku duduk tenang di pinggir baris paling belakang, tak sanggup membayar untuk bangku terdepan, tak juga terbiasa ketika mencari ayat dan perikop, sementara seorang laki-laki akhir dua puluhan menyodorkan mesin kolekte dari baris ke baris, dan orang-orang men-tap kartu mereka, memberikan sedikit kemiskinan mereka untuk gereja, dan kemudian melanjutkan mesin itu ke orang di sebelahnya. Laki-laki akhir dua puluhan itu sampai ke sebelahku. Mesin itu sampai ke bawah hidungku. Putih metalik, dengan garis-garis biru yang mengingatkan kepada All Ears, garis-garis yang memberikan rasa nyaman dan sedikit kekhawatiran. “Apakah aku sudah memberikan segalanya untukmu, tuhan?” “Apakah aku sudah menunjukkan cintaku kepadamu?” Kurasa inilah pertanyaan yang diharapkan muncul di kepalaku ketika melihat warna itu. That’s the whole trick.

Apa yang kubayangkan: aku menengadah dan terkejut melihat wajah yang melayang di atasku. Muka itu lebih cerah daripada yang kuingat dulu. Debu dan air keran bukan lagi bagian dari kehidupannya sehari-hari. Kulitnya sekarang mengingatkanku kepada kulitku ketika baru pindah ke kota ini.

Iklan

Apa yang sudah kulatih untuk kukatakan: “[suku kata pertama namanya], ‘kan? [Nama lengkapnya], (suatu usaha lebih) ’kan?

Apa yang kutahu akan kukatakan: “ …”

*

Dari satu artikel referensi yang kutonton untuk penulisan skripsiku, aku tahu dalam waktu dekat kita bisa menghapus ingatan buruk kita selamanya. Selamanya? Kata itu tak pernah terdengar meyakinkan ‘kan, Om? Ingatan-ingatan yang kupunya sudah coba kuhapus, tetapi muncul lagi dengan sendirinya. Mereka abadi karena mereka protein.

Kemanapun aku pergi di kota ini, Om, di bawah hiruk-pikuk langit yang bercahaya dengan bintang-bintang buatan, penuh mobil-mobil terbang, dikelilingi segala kerlap yang hanya bisa kutemukan di sini, aku terus saja merasa seperti napi kota tua itu dan Patung Selamat Tinggal setiap saat mengawasiku dari kejauhan, sementara punggung kurus adikku selalu berjalan memasuki stasiun. Ia menjauh tetapi tak pernah mengecil, tidak juga ditelan pintu masuk. Apa ia berjalan di tempat? Ia tampak seperti sebuah foto lama, dengan kemeja birunya yang kumal. Ia mengingatkanku kepada ayahku.

Aku? Aku tak mirip siapa pun, Om.

Bagaimana kau meninggalkan sesuatu yang berjalan di tempat menjauhimu?

Kau tinggal membalikkan badanmu.

Mereka berdua barangkali ingin aku mengejarnya, Om. Itulah dosa terbesarku.


*Norman Erikson Pasaribu, lahir dan kini tinggal di Jakarta. Puisi dan cerita pendeknya terbit baru-baru ini di Asymptote, Asia Literary Review, The Margins, Cordite Poetry Review, AJAR, dan Kill Your Darlings. Ia gemar menggambar dan bereksperimen dengan yogurt. Ia bisa ditemukan di normaneriksonpasaribu.com.