Mendengar Kisah Masyarakat Adat Mentawai Bertahan Menghadapi Paksaan Modernisas
Daniel Patepboruk Sikebukat, kepala suku Sabulukkungan di Mentawai. Dia dan warganya menolak hutan industri. Semua foto oleh Ramadhani.

FYI.

This story is over 5 years old.

Konflik Lahan

Mendengar Kisah Masyarakat Adat Mentawai Bertahan Menghadapi Paksaan Modernisasi

Kontributor VICE Febriana Firdaus bersama fotografer Ramadhani menyusuri hutan Siberut, menemui masyarakat adat Mentawai yang tanah adatnya sedang terancam hutan industri.

Palagan Terakhir di Tanah Sikerei

Bertelanjang kaki, Teubalut Salemu melangkah pelan menyusuri jalan setapak di hutan di Dusun Salappak, Siberut Selatan, Mentawai. Kakinya kadang tenggelam sampai pergelangan di dalam lumpur. Tapi ia tetap mengayunkan goloknya menebas tetumbuhan yang menghalangi jalan, sehingga ia bisa lewat dan mencari tanaman obat-obatan. Sesekali ia meraba dedaunan kemudian mengendusnya seperti anjing. “Ini Mumunen namanya. Kami biasanya meramu daun ini untuk obat sakit perut, punggung, dan pinggang,” katanya dalam Bahasa Indonesia yang lancar. Sebagai seorang Sikerei—persilangan antara dukun dan dokter tradisional—ia sudah tak asing lagi keluar masuk hutan. Meski hujan baru saja mampir dan menggenangi dusun, niatnya mencari dan meramu obat untuk salah satu pasiennya yang tak mampu lagi membendung rasa sakit akibat rematik.

Teubalut tak sendirian, ia bersama rekannya Stefanus Salemu yang juga sama-sama berasal dari Dusun Bekkeiluk, tetangga Salappak. Keduanya pun terus berjalan menyusuri jalan setapak, menjalankan tugas dinasnya mencari obat yang membawa mereka menghilang ditelan hijaunya hutan hujan.

Iklan

Teusabit Sagolu, Sikerei di Bekkeiluk menggelar ritual penyembuhan. Penyakit bagi Sikkerei adalah roh-roh tidak baik yang harus ditenangkan. Foto oleh Ramadhani.

Peran Sikerei tak hanya mencari obat bagi mereka yang sakit, lebih dari itu, mereka adalah simbol keamanan bagi masyarakat adat Mentawai, sebab mereka juga bertugas melindungi warganya dari roh-roh jahat yang dipercaya membawa sial atau sakit-penyakit. Sikerei serupa tetua suku yang punya peran besar menentukan berbagai kebijakan dalam hidup masyarakat adat. Ini adalah cara hidup yang berangsur punah di Indonesia. Masyarakat adat Mentawai sudah sejak lama jadi korban kebijakan pemerintah yang hendak ‘memodernisasi’ mereka.

Pemerintah sejak era Sukarno hingga Jokowi telah menerapkan berbagai program untuk ‘memajukan’ masyarakat adat, mulai dari yang persuasif hingga opresif. Kini wilayah hutan yang tersisa untuk mereka jatahnya hanya 8 persen dari keseluruhan lahan di Siberut. Sebagian lainnya dikelola pemerintah, sebagian lagi dilimpahkan hak pakainya pada perusahaan. Belakangan situasi di Siberut agak memanas. Hutan yang jadi sumber penghidupan bagi mereka terancam dipangkas sejak pemerintah memberikan izin pada PT Biomass Andalan Energi untuk mengelola lahan.

Tengkorak-tengkorak tergantung di pintu-pintu Uma. Kera dan babi hutan adalah hewan buruan yang lazim dikonsumsi Masyarakat Mentawai. Tengkorak hewan-hewan ini menjadi hiasan di Uma, sebagai kebanggaan berburu. Foto oleh Ramadhani.

Pada 2 Mei 2017 lalu, Badan Koordinasi Penanaman Modal mengabulkan surat persetujuan prinsip Hutan Tanaman Industri (HTI) pada Biomass. Biomass mendapat konsesi untuk mengubah hutan seluas 20 ribu hektar menjadi ladang tanaman yang jadi bahan pokok pembuatan energi terbarukan. Wilayah konsesi Biomass sebagian tumpang tindih dengan hutan-hutan yang jadi tempat tinggal dan sumber penghidupan bagi masyarakat adat. Hutan tempat Teubalut mencari tanaman-tanaman obat juga tanaman yang menurut kepercayaan mereka bisa mengusir roh jahat.

Iklan

Masyarakat adat di desa Bekkeilkuk, Siberut mesti segera menyiapkan strategi menangkal perubahan yang kemungkinan bisa segera datang. Tak terbayangkan oleh Teubalut jika tanaman hutan yang beragam-ragam dan tumbuh subur dengan sendirinya itu akan diganti dengan beberapa jenis tanaman penunjang industri saja. “Tidak boleh, kami akan menolak,” katanya tegas. Penggundulan hutan untuk kepentingan industri bukannya tak pernah terjadi di Mentawai sebelumnya. Kami berkendara ke arah selatan Siberut untuk menemui seorang sesepuh bernama Batista Teu Lakka, Sikerei dari suku Sabulukkungan yang bermukim di Muara Siberut. Suku Subalukkungan bersengketa dengan PT Biomass karena lahan adat mereka masuk dalam wilayah konsesi perusahaan. Ketika kami temui, Batista, kini 78 tahun, masih mengenakan pakaian kebesarannya. Pinggangnya dilingkari oleh Kabit, cawat yang terbuat dari kulit kayu pohon Baguk, yang dipakai untuk menutupi daerah kemaluan. Lehernya berhiaskan Lekkeu, kalung manik-manik warna-warni. Sementara di kepalanya, ada Sorat mengikat erat. Ketiga perhiasan adat itu melambangkan kedekatan pada alam.

Meski hanya mengenakan cawat, ia tak kedinginan saat dikunjungi di rumah sosial di Muara Siberut, padahal saat itu hujan turun bersama hembusan angin dingin. Orang Mentawai memang sudah terbiasa dengan pakaian selembar cawat, beberapa perhiasan dari dedaunan, tidur dan mencari makan di hutan seperti menebang sagu, memakan ulatnya, dan berburu kera, rusa, serta babi hutan. Mereka hidup satu suku di bawah Uma, sebutan untuk rumah adat Mentawai.

Iklan

Azrel dan Riko Sabulukkungan mengenakan cawat, pakaian adat Mentawai. Keduanya telah masuk pendidikan anak usia dini dan siap melanjutkan sekolah. Foto oleh Ramadhani.

Kepada saya, Batista mengaku hanya sepekan sekali menengok hutannya. Itupun jika ada tanaman obat yang ingin ia ramu. Butuh tiga jam perjalanan menyusuri sungai dengan Pompong-perahu tradisional setempat-dan tiga jam lagi perjalanan kaki menuju lahan adatnya. Ia sudah sangat tua, tak mungkin lagi sering-sering mengunjungi lahannya. Beda sekali dengan dulu ketika ia masih muda dan bermukim di hutan. Ia tak perlu jalan begitu jauh untuk mencari tanaman obat-obatan.

Batista kini hanya bisa duduk-duduk di Uma, berharap dengan cemas menunggu perkembangan sengketa lahan antara masyarakat adat Suku Sabulukkungan dan PT Biomass.

Saya bertanya pada Batista, bagaimana ceritanya kini ia bisa tinggal di rumah hibah dinas sosial, di tengah kota Muara Siberut? Untuk menjawab itu, Batista membawaku jauh ke masa lalu. Ia mulai bercerita tentang peristiwa di kala pemerintahan Orde Lama memaksanya meninggalkan kepercayaan yang ia anut.

Martina Sagolu, serupa anak-anak lain di Desa Bekkeiluk, harus berjalan sekitar dua jam menembus hutan menuju dusun Salappa saat bersekolah. Jika hujan deras memicu banjir, otomatis mereka libur. Di desa mereka, sekolah baru tersedia sampai kelas tiga. Jika tamat SD kelak, Martina harus menyeberang ke Desa Muntei untuk menyambung sekolah. Foto oleh Ramadhani

Pada era Sukarno, agama didefinisikan sebagai kepercayaan yang memiliki kitab suci, nabi, dan pengakuan internasional. Pemerintah Orde Lama bahkan membentuk Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) pada 1953. Setahun kemudian, gerilya pada masyarakat adat di pedalaman dimulai. Termasuk pada Batista yang menganut Arat Sabulungan, kepercayaan orang Mentawai kepada roh-roh di alam semesta. Ia percaya bahwa ada penguasa di tanah (Tai Kabagat Polak) dan laut (Tai Kabagat Koat). Negara meminta Batista meninggalkan kepercayaan itu.

Iklan

Kemudian Soeharto berkuasa. Alih-alih kebebasan agama membaik, Soeharto malah mengerahkan aparat untuk memburu para Sikerei. Aparat masuk hutan dan menembakkan senjata ke arah langit, memaksa Sikerei menyerahkan diri untuk diperiksa. Mereka yang masih mempraktikkan Arat Sabulungan harus siap diberondong teror oleh aparat.

“Pakaian adat Sikerei dimusnahkan dan dibakar, pakai kadut tidak boleh sama sekali. Apalagi pakai tato, dipenjara,” kata Batista terbata-bata dalam bahasa Mentawai. Aparat juga memotong rambut para Sikerei yang panjang yang mereka jumpai di tengah hutan. Sikerei diburu bagai babi hutan.

Itulah yang terjadi pada Batista. Ia ditangkap dan dipenjara semata-mata karena dia Sikerei. Tapi ia berhasil menyelamatkan perlengkapan adatnya setelah berhasil membuktikan bahwa ia bisa menyembuhkan orang sakit. Itu juga karena bantuan kepala daerah saat itu yang menjemputnya di kantor polisi.

Diskriminasi terhadap kepercayaan terhadap masyarakat adat ini berlanjut dengan dikukuhkannya aturan tentang penodaan agama (UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965) yang mengatur soal enam agama resmi di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.


Baca juga liputan VICE tentang penganut agama sinkretis di Lombok:

Dengan dalih peraturan itu, pemerintah meminta orang-orang pedalaman di Mentawai keluar dari hutan dan mendiami rumah-rumah yang dibuatkan oleh Kementerian Sosial.

Tarida Hernawati, antropolog yang sudah 15 tahun mendampingi masyarakat adat di Mentawai mengatakan relokasi besar-besaran terjadi pada pada 1980-an. “Mereka dibuatkan rumah kecil-kecil. Tapi ada perlawanan dari orang-orang ini, mereka kembali lagi ke hutan. Dipaksa lagi. Dikejar-kejar lagi mereka ini di dalam hutan,” kata perempuan yang tengah studi di Universitas Andalas itu. Tarida melakukan pendampingan bersama Yayasan Citra Mandiri yang bekerja sama dengan Kemitraan untuk memastikan masyarakat adat mendapat akses pelayanan dasar dan penerimaan sosial. Menurut Tarida, masyarakat adat melawan kebijakan pemerintah karena karena lokasi rumah dinas sosial begitu jauh dari tanah mereka. Pasca reformasi, tepatnya di era Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, masyarakat adat bisa sejenak bernapas lega. Gus Dur menghapus Kementerian Sosial sekaligus menerbitkan Tap MPR tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. “Memang sempat tak ada lagi program itu di Mentawai,” ujar Ida.

Iklan

Tapi setelah Gus Dur tak lagi menjabat, operasi orang pedalaman itu kembali digelar. Kali ini dengan nama program Komunitas Adat Terpencil (KAT). Masyarakat adat diiming-imingi rumah, tanah untuk tempat ibadah, sampai ladang agar mau pindah ke lokasi baru. Akhirnya sebagian besar masyarakat adat berhasil dipindahkan secara paksa di lokasi yang lebih dekat dengan pantai. Tapi relokasi itu menimbulkan masalah baru.

“Orang adat Mentawai dipaksa meninggalkan tradisi mereka dan dijauhkan dari hutan sebagai sumber kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya mereka,” katanya lagi. Mereka dipaksa menganut sistem perdesaan yang biasa diterapkan di Pulau Jawa, tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah dan kondisi geografis kepulauan itu.

Gereja Katolik di desa Tetesinabak. Katolik menjadi ajaran agama yang datang dari luar ke Mentawai selain Protestan dan Islam. Tiga agama asing ini menggeser, Arat Sabulunngan, kepercayaan lama masyarakat Mentawai. Foto oleh Ramadhani.

Selain itu, relokasi juga menyebabkan potensi konflik horisontal di Mentawai. Suku lain menuding bahwa Sabulukkungan adalah anak emas pemerintah. Karena mereka mendapat subsidi untuk hidup selama dua tahun berturut-turut. “Nyatanya bukan anak emas pemerintah, tapi korban politik,” kata Batista.

Kini Suku Sabulukkungan bingung hendak pindah ke mana lagi. Karena mereka tak punya sertifikat tanah hibah itu dari pemerintah. Status mereka justru masih menumpang di tanah orang. Kondisi itu berlangsung hingga hari ini.

Bersamaan dengan relokasi besar-besaran itu, perusahaan sawit mulai mengajukan Izin Usaha Perkebunan. Menurut data Yayasan Citra Mandiri, pemerintah awalnya menetapkan hutan produksi seluas hampir 300.000 hektar di Pulau Siberut. Ini terkait usaha pemerintah waktu itu untuk meningkatkan pendapatan negara melalui ekspor kayu gelondongan.

Iklan

Menurut Ida, memang tak bisa mengaitkan secara langsung antara upaya pemerintah mengubah keyakinan serta merelokasi masyarakat adat dengan ambisi perusahaan di Mentawai. Tapi ia tak menampik bahwa pengusiran terhadap masyarakat adat ini diterapkan secara sistematis. Mulai dari dipaksa memeluk agama modern, direlokasi, dan dijauhkan dari hutan belantara yang jadi ‘rumah’ mereka. Ujung-ujungnya: komersialisasi hutan adat Mentawai. Presiden Joko “Jokowi” Widodo, menawarkan program tersendiri untuk masyarakat adat Mentawai, yakni sertifikasi lahan adat khusus warga Sabulukkungan. Toggilak Sabulukkungan, tetua Suku Sabulukkungan selaku rekan Batista mengatakan, mereka saat ini menunggu janji sertifikasi tanah oleh Jokowi yang tak kunjung direalisasikan. Janji itu mencakup sertifikasi lahan adat maupun penyediaan tanah relokasi.

Justina Magdaobuk Saumanuk menjadi wanita terakhir yang masih melakoni ritual rajah tubuh atau Titti di Uma Sabulukkungan. Rasa sakit yang tak tertahankan dan perubahan zaman membuat banyak masyarakat Mentawai tidak lagi memasang Titti di tubuh mereka. Foto oleh Ramadhani.

Toggilak yang mengenakan pakaian khas adat Mentawai sama seperti Batista bercerita tentang kebingungannya atas status lahan adatnya dan tanah relokasi ini. Ia bimbang, ketidakpastian hukum membuat sukunya tak dapat bergerak lebih jauh.

“Kami tidak pernah tahu izin sawit HTI itu, kami tahunya orang yang baru pulang dari Padang bilang tanah kami sudah masuk peta perusahaan sawit. Tentu kami merasa terkejut dan heran. Kok tanah kami masuk peta lahan sawit, terus kami hidup dari mana?” katanya sambil sesekali menyesap rokok. Meski kini ada beberapa relawan yang membantunya menulis surat permohonan kepada kementerian dan perusahaan, menggalang dukungan, ia tetap tidak tahu harus berbuat apa. Sambil menunggu langkah pemerintah, Toggilak dan Batista mengumpulkan anak, menantu, dan cucu-cucunya untuk terus meyakinkan mereka agar tidak tergoda lagi dengan iming-iming pemerintah atau perusahaan.

Suku Sabulukkungan pada dasarnya tetap ingin tinggal di tanah mereka. Di hutan belantara. “Jadi bagaimanapun itu kami pertahankan, sampai mati. Biarlah, mati itu juga demi tanahnya sendiri,” kata Justina, istri Batista. Siang itu langit kelabu di Muara Siberut menemani hujan yang terus turun. Jalanan berlumpur. Batista, Toggilak, dan Justina, menghangatkan diri dengan meriung di Uma ditemani anak-anak dan cucu mereka. Kami pamit undur diri sebelum gelap tiba. Toggilak dan Batista berpesan merasa telah memberi mandat pada wartawan untuk mengabarkan pada pemerintah bila mereka tidak setuju izin HTI diterbitkan. Mereka akan terus memprotes sikap pemerintah yang memojokkan masyarakat adat.

“Jika protes juga tidak berhasil, mungkin jalan terakhir adalah kami ambil panah dan parang. Kami siap perang.”