FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Tanda-Tanda Kamu Adalah 'Cinebro'

Ada penggemar film, ada kritikus film, nah yang ngerasa lebih tinggi (dan ngeselin) dari mereka adalah cinebro. Iya deh bro, kita paham alasanmu bilang "Inception" film terbaik sepanjang masa.
Ilustrasi oleh Dini Lestari

Sebagai penggemar film, kami sangat akrab dengan istilah ‘Cinebro’. Cinebro adalah para lelaki ‘pakar’ sinema, yang biasanya menggemari film-film “maskulin” di atas segalanya. Mereka mengira berhak memutuskan film apa yang keren, seni macam apa yang bagus, dan bahkan mereka sanggup menyodorkan definisi seni versi mereka sendiri.

Cinebro kerap menatap orang awam perfilman seperti baru melihat hantu. Apalagi kalau mendengar lawan bicaranya tidak pernah mendengar kiprah Andrzej Żuławski, atau tidak bisa menyebut semua judul film Wes Anderson, bahkan yang terhitung komersil sekalipun. Apakah kamu masuk kategori cinebro atau tidak, berikut tanda-tandanya:

Iklan

Kamu merasa setiap sutradara muda berbakat harus menyutradari film superhero
Film superhero adalah puncak dari pembuatan sinema. Setidaknya itu pendapatmu. The Dark Knight adalah contoh tonggak perfilman dunia. Dalam film itu, menurutmu Christopher Nolan benar-benar tak bercela. Kamu pasti ingat dan kagum banget sama adegan kamera memutari kelompok jagoan kita di The Avengers langsung membuat kita menganga? Cinebro jenis ini tentu saja setuju kalau mendengar rencana sutradara film Lady Bird, Greta Gerwig, yang baru saja mendapat sanjung puji kritikus berbagai negara perlu menangani sebuah film Marvel? Masuk akal sih. Sutradara baru yang mendapat pujian kritikus di film perdana mereka sudah pasti langsung siap untuk menangani film superhero. Karena, film zaman sekarang cuma superhero kan, bro?

Hanya ada empat jenis film yang kamu suka tanpa merasa malu

Beberapa genre film tertentu sangat mempengaruhi kepribadian cinebro, sehingga persona mereka dibentuk berdasarkan menyukai dan membicarakan film-film ini. Dalam opini kami yang jelas tidak subyektif, berikut adalah tipe-tipe umum film yang sudah pasti akan langsung dipuja selangit oleh Cinebro:

  • Jenis Film ‘ANJING KEREN ABIS COY’ (Inception, Oldboy, Mulholland Drive, Primer, Fight Club)
  • Film ‘Penuh Kekerasan Tapi Tetep Nyeni’ (The Raid, I Saw the Devil, The Revenant, film-film sutradara Serbia, sama semua filmnya Quentin Tarantino)
  • Film ‘Cowok Standar Sukses Dapat Cewek Cantik’ (Scott Pilgrim vs The World, 500 Days of Summer, dan semua film Judd Apatow)
  • Film ‘Sensitif, Bikin Galau, tapi gak Kebangetan Mellow-nya’ (Lost in Translation, Annie Hall dan Boyhood)

Iklan

Pokoknya dilarang menyebut film yang cinebro tidak suka pas lagi ngobrol (apalagi kalau Hollywood yang pasaran banget), kecuali kamu pengin dengar mereka bilang, “ya ampun, selera elo gitu amat,” atau "duh, kurang arthouse nih."

Kamu cuma percayai kritik film yang ditulis A.O.Scott dan Scott Weinberg (plus hampir enggak pernah baca ulasan film Indonesia)
Sama seperti jenis orang yang kamu ingin lihat di layar lebar, kamu memilih untuk mendengarkan opini cowok-cowok straight dan berkulit putih. Bagi kamu, merekalah yang paling obyektif soal penulisan resensi film. Orang lain sering minta macam-macam, seperti representasi inklusif dari kaum minoritas, ngapain peduli sama isu beginian?

Kamu selalu siap memberi opini soal film, padahal enggak ada yang minta
Tiap kali seseorang ngetweet tentang film apapun, dan kebetulan kamu sedang di Twitter lalu melihat seseorang baru saja menonton film favoritmu. Namun dia tidak memberikan penilaian yang positif. Kamu bisa saja menanyakan alasan mereka, dan mungkin mereka menolak untuk menjawabmu atau tidak peduli menjelaskan jawaban mereka. Ini sudah pasti salah dong. Sudah pasti kamu berhak atas waktu dan energi seseorang untuk menjelaskan kenapa mereka tidak merasakan apa yang kamu rasakan tentang karya seni tertentu. Secara pasif-agresif, kamu memanggil mereka bego, mengatakan mereka tidak mengerti film atau tidak bisa menghargai seni, bahwa mereka itu cuman ‘hater.’ Semua opini pribadi orang lewat lensa socio-politik kamu anggap sebagai serangan pribadi terhadap seleramu.

Kamu berpendapat pencipta karya seni tidak harus menjadi orang baik karena yang penting hanyalah ciptaan mereka. Kamu mungkin sudah menonton setiap film Woody Allen dalam format Blu-Ray karena Manhattan adalah film pertama yang membangkitkan kecintaanmu terhadap sinema. Kita semua tahu bahwa setiap sutradara lelaki terkenal memiliki segerombolan superfans yang menganggap karya idola mereka tidak perlu didiskusikan, apalagi dikritik. Mereka tidak akan membiarkan negativitas apapun ditujukan ke pahlawan mereka. Lalu apa yang terjadi apabila idolamu adalah seorang monster?

Beberapa sutradara favoritmu mungkin dituduh melakukan pelecehan seksual oleh puluhan orang. Kamu punya dua pilihan: membela para korban dan berdamai dengan fakta bahwa idolamu bukanlah sosok pahlawan seperti yang kamu inginkan, atau mengatakan bahwa para penuduh semuanya pembohong yang hanya mencari ketenaran atau uang. Kemungkinan besar kamu memilih opsi kedua. Kamu merasa semua orang yang pernah dilecehkan oleh Harvey Weinstein, sosok di balik semua film favoritmu, seharusnya bangga.

Kamu percaya ideologi seni untuk seni, pisahkan film dari kelakuan si pembuatnya, dan musuhi orang yang kritis sama filmmaker kesukaanmu
Kamu akan menciptakan alasan untuk membela sutradara dan film favoritmu. Kamu merasa orang lain tidak mengerti seni, bahwa mereka membatasi kebebasan berkarya dengan cara mengelukan “political correctness.” Kamu heran kenapa orang lebih mudah tersinggung oleh apapun. Jawabannya? Karena marah melihat orang-orang yang diperlakukan dengan tidak adil itu secara emosional melegakan. Kamu mengatakan bahwa orang bisa memilih untuk tidak tersinggung, karena ya begitulah cara dunia bekerja—masalah langsung hilang ketika kamu menganggap mereka tidak ada. Gitu kan?