Setelah melewati fase panik bahwa dia nyasar enggak keruan, ritmenya menjadi lebih stabil. Dia mencoba terus berjalan dengan lesu, mencoba memecahkan masalah sambil menghiraukan rasa lapar. Sekujur tubuhnya nyeri. Dia menghayalkan makanan dan orang-orang yang mungkin tak akan pernah dia lihat lagi. Dia terus-menerus membayangkan melihat jalan atau beristirahat di bawah pohon, tapi itu tidak nyata. Terkadang dia merasa damai, namun seringkali dia panik. Tapi terus saja berjalan, terus dan terus, hingga akhirnya mati atau menemukan jalan keluar.
Saya terbangun karena gigitan di kaki. Ketika mencoba meraih senter, saya merasakan banyak semut merayap di seluruh bagian tubuh. "Plis lah pergi," saya ngomong sendiri, mencoba mengusir mereka. Saya hanya ingin istirahat. Kalaupun saya ingin menyalakan senter sekarang, saya tahu senternya hanya akan menyala sebentar—baterainya nyaris habis.Jemari saya menggapai batu kecil, ini upaya pertahanan diri. Saya mulai menggerus semut-semut yang mencoba mendekat, sebelum mereka menggigit saya. Senter saya mati-nyala, menyinari kekerasan yang saya lakukan terhadap semut, seperti di film laga. Ketika belasan ekor semut sisanya telah mati atau menjauh, saya letakkan kembali senter di atas kepala dan mencoba mencari posisi nyaman untuk tidur. Luka-luka di betis terasa pedih, tapi itu tidak ada apa-apanya dibandingkan nyeri di kaki. Setelah berjalan menelusuri sungai berbatu tajam (lebih cepat menelusuri sungai dibandingkan mencari arah di dalam hutan), sepatu lars saya robek, menggores telapak kaki. Akibatnya, kaki saya infeksi, rasanya nyut-nyutan bila dipaksa berjalan, dan setelah lewat sehari mulai berbau busuk. Solusi satu-satunya hanyalah kembali tidur. Kembali ke alam bawah sadar.Saya menemukan jalan keluar, tapi kalau dilihat ke belakang, hari-hari di sana terasa sama semua. Kisah ini hanyalah satu dari hari-hari itu, yang saya bisa ingat dengan baik, di mana saya nyasar di Taman Nasional Gunung Mulu, Sarawak, Malaysia.
Berjarak beberapa kilometer dari tujuan, saya salah belok euy. Beberapa sungai melintasi jalan setapak, sekeras apapun saya mengingat jalan pulang, saya tidak menemukan jalannya. Saya enggak langsung panik ketika sore berlanjut jadi malam, karena saya yakin kok akan menemukan jalan pulang dalam beberapa jam. Tapi ternyata saya salah. Alih-alih menunggu matahari pagi, saya kekeuh berjalan di dalam hutan, mengira-ngira jalan keluar. Saya yakin banget ini sudah dekat. Dekat banget lah. Tapi ternyata saya malah kehilangan arah sama sekali.Ketika akhirnya fajar tiba saya sudah nyasar bukan kepalang, tapi tetap saja saya masih pede menemukan jalan keluar. Berikutnya, dua hari menjadi tiga hari. Tiba-tiba saya sudah enggak bisa menghitung berapa hari saya telah nyasar di hutan.