FYI.

This story is over 5 years old.

perang

AS Sebenarnya Sudah Tak Sabar Ingin Berperang Di Suriah

Pengamat dan media massa hanya butuh momentum 'merestui' keterlibatan Negeri Adi Daya itu. Sekarang kesempatan terbuka setelah Trump memerintahkan gempuran rudal ke Suriah.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Sehari sebelum akhir pekan lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengejutkan seluruh dunia karena memerintahkan gempuran 59 peluru kendali jenis Tomahawk ke Pangkalan Udara Shayrat milik pemerintah Suriah di Kota Homs. Serangan ini diklaim sebagai tindakan balasan atas kebijakan Presiden Suriah Bashar al-Assad menyerang warga sipil di kawasan Idlib dengan senjata kimia—tepatnya gas sarin. Insiden tiga hari sebelum gempuran AS itu menewaskan lebih dari 80 orang, termasuk 30-an anak.

Iklan

Trump dalam waktu singkat berubah 180 derajat dari sosok presiden yang sangat menolak keterlibatan AS dalam perang apapun di Timur Tengah—bahkan pernah bilang tak tertarik lagi menggulingkan Presiden Assad—menjadi pemimpin negara adi daya yang siap melakukan operasi militer kapanpun juga.

Trump beralasan nuraninya tak bisa menerima penderitaan warga sipil—terutama anak-anak—di kota Khan Sheikhoun menderita akibat bom berisi gas syaraf sarin yang mematikan. "Assad telah menyiksa orang-orang tak bersalah, lelaki, perempuan, dan terutama anak-anak. [Serangan gas sarin] memicu kematian menyiksa bagi banyak orang. Sampai-sampai bayi tak berdosa dihabisi secara kejam dalam serangan barbar tersebut," kata Trump dalam jumpa pers sesudah insiden tersebut. "Semua anak-anak anugerah Tuhan tidak sepatutnya mengalami kekejian semacam itu. Karena itulah saya memerintahkan pengiriman rudal ke pangkalan udara Suriah yang menjadi lokasi awal penyerangan tersebut."

Setelah Trump dihajar kanan-kiri karena inkompetensi dan kesalahan kebijakan, terutama oleh media massa sejak menjabat 11 pekan lalu, dia akhirnya memperoleh dukungan mutlak dari semua kubu ketika memilih opsi peperangan. Jurnalis senior CNN, Fareed Zakaria, menyatakan keputusan menyerang pangkalan udara Suriah tempo hari resmi menabalkan Trump sebagai "sosok presiden." Sesama politikus Partai Republik, Senator John McCain yang dulu memusuhi Trump, kini menyebut rivalnya itu melakukan tindakan yang tepat. "[Serangan] ini baru awal. Masih banyak hal perlu dilakukan, namun tanpa adanya serangan rudal AS ke Suriah tentu kita tidak bisa berharap akan muncul perubahan di kawasan tersebut," kata McCain saat hadir di acara bincang-bincang televisi Morning Joe.

Iklan

Lebih mengejutkan lagi, lawan-lawan politik Trump dari Partai Demokrat semua mendukung keputusan sang presiden menyerang aset militer Assad. Kalaupun ada protes, lebih pada tuntutan agar presiden AS segera mendatangi Kongres untuk menjelaskan apa langkah berikutnya dalam menangani konflik Suriah. Pemimpin Partai Demokrat, seperti Chuck Schumer dan Nancy Pelosi, semuanya mendukung Trump memerintahkan serangan rudal. Calon Presiden Hillary Clinton yang dipecundangi Trump tahun lalu, turut mengapresiasi keputusan ini, karena menurut Clinton AS harus "lebih berani mengkonfrontasi Assad."

Media liberal seakan tak mau kalah, segera ikut gerbong memuji-muji Trump. Mulai dari pembawa acara MSNBC Brian Williams yang mengaku terharu melihat rudal AS ditembakkan dari Laut Mediterannia untuk menghantam rezim despotik Suriah, sampai kolom opini surat kabar The New York Times yang menegaskan: "Presiden Donald J. Trump sudah bertindak benar dengan memerintahkan serangan militer ke rezim Presiden Bashar al-Assad."

Semua anomali tersebut, dukungan dari seluruh pihak di AS, menandakan Trump rupanya masih presiden Negeri Paman Sam gaya lama yang siap memerintahkan intervensi politik dan militer di luar negeri, serta menggalang dukungan semua kalangan. Tapi harus diakui, tetap ada faktor pembedanya. Trump tidak pernah dikenal sebagai sosok politikus yang bisa dipegang kata-katanya (walau politikus juga bukan pekerjaan yang membuat seseorang menepati janji). TTrump sangat ekstrem dalam perkara berubah pikiran. Sejak tiga tahun lalu, hingga menjelang pilpres AS tahun lalu, dia selalu mengesankan diri sebagai antitesis Hillary Clinton yang antiperang. Dia menuduh Clinton melayani kepentingan industri senjata yang bisa menangguk untung jika AS terlibat konflik baru Timur Tengah. "Kita akan terjebak dalam Perang Dunia III jika rakyat Amerika percaya pada janji-janji Hillary Clinton," ujarnya. Melalui akun Twitternya, Trump juga pernah mendesak Presiden Barack Obama tidak menyerang Suriah. Supaya lebih ironis lagi, kita juga harus ingat seminggu sebelum akhirnya memerintahkan serangan rudal, Trump sempat bilang bila AS tak lagi tertarik mendukung gerakan-gerakan menggulingkan Assad.

Duduk persoalannya, sayang, tidak semata-mata soal Trump. Hanya karena Trump adalah sosok unik, kita tidak boleh terkejut jika sistem besar Negeri Paman Sam membuatnya tetap menjalani skenario peperangan dan intervensi kondisi di negara orang. Toh selama momen kampanye Trump juga sudah menunjukkan tanda-tanda jika dia tak ragu menggelar operasi militer setelah menjabat. Indikasinya sudah bisa dilihat ketika dia berjanji, "secepat dan seefektif mungkin menghabisi ISIS dengan cara membombardir markas mereka." Pendukung setia Trump, misalnya selebtwit Bill Mitchell, juga meyakini "Trump tidak akan ragu melakukan apapun untuk menghabisi ekstremisme di Timur Tengah."

Seandainya serangan militer akhir pekan lalu ke Suriah sekadar upaya pencitraan, artinya Trump berhasil menemukan ceruk alasan spesifik yang membuatnya bisa meraih dukungan dari semua kubu. Alasan itu adalah serangan militer dalam rangka "bantuan kemanusiaan" terhadap rakyat Idlib yang menderita serangan gas sarin.

Kekacauan yang ditimbulkan Amerika Serikat di Irak dan Afghanistan sebenarnya mengajarkan kita satu hal: kaum liberal, konservatif, dan analis-analis yang muncul di saluran televisi kabel AS sangat menyukai perang dengan "tujuan baik". Televisi bisa menangguk untung karena rating meningkat selama perang, ada banyak komentator mendadak jadi ekstra patriotis, dan politikus Kongres maupun DPR Negeri Paman Sam bisa berpura-pura nasionalis untuk meraih dukungan dari rakyat pemilih di daerah masing-masing. Semua pakar yang diberi kesempatan bicara oleh media massa AS seakan-akan tidak belajar dari kacau balaunya perang melawan teror selama era Presiden George W. Bush Jr. Kita tentu masih ingat betapa invasi AS ke Irak pada 2003 ternyata dipicu oleh data intelijen yang tidak akurat serta keinginan menguasai minyak. Melihat polah media massa, mereka masih bersorak-sorai menyambut kemungkinan keterlibatan militer AS di Suriah secara langsung, sebagaimana media yang dulu mencemooh kini bersedia menyambut hangat mantan presiden Bush yang sebetulnya sudah melakukan banyak blunder selama menjabat.

Trump tidak memulai perang baru Kamis pekan lalu ketika memerintahkan serangan rudal. Faktanya AS sebenarnya sudah terlibat sejak jauh-jauh hari di konflik Suriah dengan mengirimkan bantuan intelijen dan dana pada para pemberontak. Apa yang dilakukan Trump hanya meresmikan keterlibatan Negeri Adi Daya ini dalam kekacauan terburuk di Timur Tengah enam tahun terakhir. Trump menunjukkan bahwa dia tidak pernah ragu memanfaatkan kekuasaan seorang presiden AS menggunakan persenjataan tercanggih di seluruh dunia. Nyaris semua pihak mendukung kebijakan semacam itu; kebijakan yang diambil sosok sekelas Trump. Kita tampaknya memang gila perang.