FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Twitter, Facebook, YouTube, dan Medsos Lainnya Bersatu Memberangus Konten Terorisme

Konten yang ditandai berisi paham ekstremisme oleh satu perusahaan akan secara otomatis ditinjau oleh perusahaan medsos lainnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News. Betapa cekatan. Hanya berselang 24 jam sejak dikritik Uni Eropa karena gagal memenuhi janji mengurangi penyebaran konten ekstremis pada platform masing-masing, perusahaan media sosial mencakup Twitter, Facebook, dan Youtube, mengumumkan upaya baru untuk memenuhi target lama itu.

Upaya baru ini dirancang mengurangi persebaran materi terorisme yang tersedia secara daring. Caranya mengandalkan arsip terpusat berisi hash—DNA digital—yang dapat menentukan gambar dan video tergolong bermuatan materi-materi ekstremisme.

Iklan

Ide dari upaya tersebut adalah, konten yang ditandai oleh salah satu perusahaan akan secara otomatis ditinjau oleh perusahaan lainnya. Konten tersebut selanjutnya akan dihapus jika terbukti menyalahi syarat dan ketentuan mereka. Akan tetapi, tiap-tiap perusahaan mempunyai interpretasi berbeda soal apa yang tergolong konten ekstremis, sehingga prosesnya tidak dapat berjalan secara otomatis meski tetap akan lebih cepat.

"Dengan saling berbagi informasi, kami dapat menggunakan hash bersama untuk membantu mengenali konten teroris potensial dalam platform kami," kata perwakilan perusahaan melalui pernyataan tertulis bersama awal pekan ini.

Mulanya, tiap perusahaan akan berbagi "gambar dan video paling ekstrem dan terorisme paling mengerikan" yang telah mereka hapus dari layanan mereka—konten yang kemungkinan besar menyalahi seluruh ketentuan dan kebijakan semua perusahaan.

Pekan lalu, dalam wawancara yang diterbitkan Financial Times, Komisioner Uni Eropa untuk Bidang Hukum, Vera Jourova, mengkritik perusahaan teknologi raksasa asal Silicon Valley, AS, karena gagal memenuhi janji yang mereka buat pada Mei 2016. Saat itu para petinggi jejaring sosial besar menandatangani "kode etik sukarela", menyatakan para pengelola medsos akan mengambil langkah konkret memerangi rasisme dan ujaran kebencian yang tersebar di layanan masing-masing.

"Beberapa bulan terakhir menunjukan bahwa perusahaan-perusahaan media sosial perlu menjalankan peran penting mereka dan turut bertanggung jawab atas fenomena seperti radikalisasi daring, ujaran kebencian ilegal, atau berita palsu," kata Jourova dalam wawancara tersebut.

Pernyataan gabungan yang diunggah pada situs Facebook hari Senin lalu, menunjukan reaksi cekatan mereka terhadap kritik Jurova. Meski begitu, Facebook tidak serta merta menjawab sudah sejauh mana dan berapa lama upaya tersebut telah berjalan.

Saat ini, empat perusahaan tersebut menggunakan sistem serupa dengan PhotoDNA—sistem yang mampu mengenali gambar-gambar anak yang mengalami kekerasan seksual, yang mungkin diunggah ke platform mereka. Namun, tak seperti sistem yang baru, arsip PhotoDNA dikelola oleh penegak hukum dan perusahaan yang secara resmi berkewajiban untuk menghapus konten-konten tak pantas.

Hany Farid, salah satu pengembang PhotoDNA, secara terbuka menyambut pengumuman tersebut. Tetapi, Farid masih ragu soal sejauh mana perusahaan-perusahaan itu akan transparan soal prosesnya. Kepada surat kabar the Guardian, dia menyatakan arsip tersebut harus dikelola oleh para ahli dalam bidang konten ektremis. Kalau tidak, pengumuman itu sia-sia belaka.

"Yang kita inginkan adalah menghilangkan panggung raksasa yang disediakan media sosial untuk kelompok seperti ISIS. Dan hal tersebut tak bisa diwujudkan dengan sekadar menulis rilisan pers."