Sistem Pendidikan

Hukuman Mengeluarkan Siswa dari Sekolah Masih Populer Meski Pernah Dikritik Menteri

Pada 2016 dan 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Yohana Yembise pernah mengimbau hukuman model ini tidak dilakukan lagi.
book-1822474_1920
Gambar dari Pixabay

“Mengeluarkan siswa dari sekolah tidak menyelesaikan masalah, sebaiknya siswa tersebut dipindah ke sekolah lain,” ujar Menteri Yohana menanggapi cara sekolah memperlakukan siswa nakal pada 2017.

"Filosofi pendidikan adalah anak berhak mendapatkan pendidikan. Jika siswa diberhentikan karena melakukan perbuatan melanggar hukum, tentu tidak boleh dan itu tindakan keliru," kata Mendikbud Anies Baswedan saat berdialog dengan guru di Bangka Belitung, Mei 2016.

Iklan

Pesan yang mirip diulangi menteri pendidikan pengganti Anies, Muhadji Effendi. “Jangan berikan sanksi yang sifatnya tidak mendidik. Tidak boleh itu (mengeluarkan dari sekolah), (anak) yang tidak sekolah saja diminta untuk masuk (sekolah) kok,” kata Muhadjir pada Oktober 2019.

Bertahun lalu, saat membaca dua pernyataan tersebut, mungkin kita pernah sempat mikir, Wah, menteri progresif akan mengubah wajah Pendidikan Indonesia. Tapi ternyata masih begitu-begitu saja.

Kayak pekan lalu. Kabar dikeluarkannya seorang siswi dari SMP Islam Terpadu (IT) Nur Hidayah, Solo, meluas di media sosial sebelum menjadi sorotan publik dan dinas pendidikan setempat. Mulanya dikabarkan bahwa si siswi dikeluarkan “hanya karena” mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman lelaki sesama pelajar di SMP IT Nur Hidayah.

Kalau kata guru les korban yang menulis di media sosial, sekolah mengetahui kedua siswa beberapa kali berkomunikasi berdasarkan bukti skrinsut chat dan surat ucapan selamat ulang tahun yang ditemukan ibu siswa penerima surat.

Sekolah kemudian buka suara, mengklarifikasi bahwa hukuman itu diberikan karena siswi tersebut sudah berulang kali melakukan kesalahan hingga melewati ambang batas poin—sistem kuantifikasi kesalahan siswa yang umum digunakan di sekolah-sekolah Indonesia.

Selain itu, menurut sekolah, aturan ketat yang melarang interaksi “berlebihan” antarmurid beda jenis kelamin sudah disosialisasikan sejak siswa masuk sekolah. Sehingga keputusan sekolah sudah memenuhi prosedur dan tidak semena-mena.

Iklan

"Karena sejak akan bersekolah di sini, calon siswa sudah kami tegaskan tidak boleh berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis. Itu termasuk pelanggaran berat, tapi ternyata itu tetap dilakukan," kata Kepala SMP IT Nur Hidayah Zuhdi Yusroni, dikutip Detik.

"Siswi tersebut sudah berulang kali melakukan pelanggaran. Selama masa hukuman, dia kembali melakukan pelanggaran. Memang yang paling sering dilanggar itu hubungan (komunikasi) dengan lawan jenis," kata Zuhdi.

KPAI merepons negatif pembelaan sekolah tersebut. "KPAI menilai sekolah terlalu berlebihan menetapkan aturan sekolah dan menerapkan sanksi,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti kepada Detik. Ia menambahkan, "Sekolah melanggar hak atas pendidikan ananda AN karena mengeluarkan secara tidak adil dan berpotensi menimbulkan stigma negatif bagi ananda AN ketika dia bersekolah di tempat lain."

Sedangkan Dinas Pendidikan Solo, meski akan akan memanggil kepala sekolah untuk menanyakan kronologi pengeluaran, terkesan tak mau ikut campur. “Kalau itu sudah aturan almamater daripada sekolah setempat, mestinya antara sekolah dengan orang tua sudah ada deal-deal ataupun persetujuan di awal terkait aturan," kata Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Dinas Pendidikan Solo Bambang Wahyono.

Di kasus siswa dikeluarkan dari sekolah, sejauh mana otonomi sekolah dan di titik mana otoritas yang lebih tinggi bisa mengintervensi emang rada enggak jelas.

Iklan

Di Polewali Mandar September tahun lalu, siswa madrasah aliyah dikeluarkan setelah dihajar kepala sekolah. Pangkal persoalan: Siswa bertengkar dengan seorang guru ketika akan izin ke toilet saat pelajaran. Lalu di Batam, dua siswa SMP dikeluarkan karena tidak mau menghormat bendera merah putih dan menyanyikan “Indonesia Raya”. Di Bandung dan Nunukan, siswa dikeluarkan sekolah karena tidak membayar infak dan SPP. Yang rada horor, siswa korban pengeroyokan kakak kelas di Bekasi malah dikeluarkan karena orang tua pengeroyok adalah donatur sekolah.

Ancaman dikeluarkan dari sekolah dipakai SMKN 2 Tangerang untuk menghalang-halangi siswanya terlibat demo besar di Gedung MPR/DPR RI, September tahun lalu. Tapi, kita yang berpengalaman sekolah di Indonesia kayaknya bakal sepakat, enggak ada yang mengalahkan kehamilan tidak diinginkan (KTD) dalam hal bikin siswa dikeluarkan.

Ngomong-ngomong, larangan interaksi “berlebihan” antara siswa dan siswi di SMP IT Nur Hidayah ini menarik.

Di satu sisi, aturan kayak gini umumnya untuk menjaga pergaulan heterosekual biar anak-anak sekolah terjaga moral (dan akidahnya, mengingat di sekolah Islam). Tapi, di poros lain ketakutan pada interaksi heteroseksual sejak dini malah mengantarkan orang tua pada horor lain (yang sebenarnya sesat logika).’

Saya bilang gini karena tahun lalu, Dinas Kesehatan Tulungagung menuding orang tua yang overprotektif melarang anaknya bergaul dengan teman lawan jenis adalah penyebab tingginya angka remaja gay di kota itu.

Haduuuh pusing.