Gelombang Demo Menolak Junta Militer Melanda Thailand Digambarkan Lewat Mural, Graffiti, dan Meme
Salah satu gambar seniman Baphoboy mengkritik para pembela kerajaan yang dianggap berkhianat pada demokrasi. Foto dari arsip pribadi. 
Thailand

Gelombang Demo Pro-Demokrasi Melanda Thailand, Seniman Berada di Garis Depan

Aksi anak muda menuntut pembubaran pemerintah meningkat di Thailand selama 2020. Seniman graffiti dan pelukis termasuk yang gigih mengkritik junta militer dan kerajaan.

Lukisan dan graffiti bertema politis akan mudah kalian temukan sekarang di kota-kota besar Thailand, seperti Bangkok dan Chiang Mai. Gambar serupa lebih mudah lagi ditemui di medsos. Mulai dari tentara berwujud tengkorak, hingga jenderal bermata superbesar yang menyimbolkan tirani. Salah satu nama yang paling produktif menghasilkan mural dan gambar politis adalah Baphoboy, seniman muda dengan 32.500 follower di Instagram.

Iklan

Karya-karya Baphoboy mewakili keresahan anak muda yang selama tiga bulan terakhir kembali rajin turun ke jalanan Thailand, menuntut junta militer bubar dan mengembalikan demokrasi sesuai konstitusi.

Gerakan oposisi di Negeri Gajah Putih kali ini digerakkan sepenuhnya oleh anak muda. Mereka sama sekali tidak takut bila ditangkap aparat karena menghina kerajaan, tabu yang selama ini dianggap paling berdosa di Thailand. Meski begitu, beberapa nama aktivis muda sudah ditahan, sebagian bahkan hilang tanpa kabar.

Pada 19 September 2020 lalu, puluhan ribu anak muda yang rata-rata masih mahasiswa mengepung ibu kota Bangkok, menuntut kerajaan ikut aktif melengserkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Prayuth adalah jenderal yang mengkudeta PM Yingluck Shinawatra pada 2014, dengan dalih mengamankan negara karena ada sengketa pemilu, lalu menempatkan dirinya sendiri sebagai PM sampai sekarang. Di mata oposisi, militer adalah perpanjangan tangan kerajaan yang tidak suka pamor mereka disalip pemerintahan keluarga Shinawatra yang dua kali terpilih secara demokratis lewat pemilu.

Karenanya, target lain demonstran adalah anggota Kerajaan Thailand, yang dianggap gagal menjalankan amanat konstitusi. Pada Agustus lalu, beberapa perwakilan mahasiswa kampus top Thailand secara terbuka menantang kerajaan agar tidak ikut campur lagi dalam politik dan memakai militer sebagai pion untuk menyingkirkan pemerintahan demokratis.

Iklan

“Saya berharap gambar-gambar saya bisa membantu orang agar makin melek politik, mengingat itu kesadaran penting di masa-masa penuh demonstrasi seperti sekarang,” kata Baphoboy kepada VICE News.

Baphoboy, bernama asli Named Sippakorn “Ken” Khiaosanthia, adalah pemuda 24 tahun yang memanfaatkan bermacam konsep untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Dari mural sampai meme dia gunakan mengkritik pemerintahan junta, ataupun anggota kerajaan yang dianggap diam saja melihat demokrasi digembosi elit politik selama lima tahun terakhir.

Tindakan Baphoboy termasuk berisiko, mengingat Thailand memiliki hukum bernama Lese-Majeste, yang bisa memenjarakan siapapun dianggap menghina kerajaan atau raja dan keluarganya. Hukumannya bisa mencapai 15 tahun penjara dengan pengadilan yang selalu condong membela kerajaan.

Supplied by Baphoboy

Baphoboy juga masih dekat dengan para aktivis demokrasi muda, karena dia baru tahun ini lulus dari Universitas Silapakorn Bangkok. Dia bilang, anak muda sudah muak melihat kerajaan dan militer mempertahankan status quo lewat pemerintahan junta. “Anak muda sudah haus merasakan demokrasi sungguhan di Thailand,” ujarnya.

Selama gelombang demonstrasi ini berlangsung sejak Juli 2020, Baphoboy menjadi simbol ekspresi politik anak muda. Menjelang unjuk rasa besar akhir pekan lalu, karya Baphoboy yang diunggah di Instagram beredar luas, sampai menjadi viral.

Ketidakpuasan anak muda terhadap junta menjadi-jadi, setelah rezim Prayuth Chan-ocha menggelar pemilu yang dianggap curang pada 2019, untuk memuluskan jalan agar sang PM berkuasa secara legal. Pembubaran partai oposisi oleh pengadilan juga menambah bahan bakar massa aksi setahun terakhir.

Iklan

Selain Baphoboy, karya-karya protes dari seniman lain bermunculan di medsos, rata-rata bernuansa sarkas terhadap simbol bendera merah, putih, biru Thailand, atau memakai lambang-lambang khas negara tersebut. Simbol lain yang banyak dipakai adalah acungan tiga jari, meminjam simbol gerakan perlawanan di seri novel “The Hunger Games”.

“Karya-karya saya berusaha menyorot dampak pemilu yang tidak jujur memicu ketidakpuasan masyarakat,” kata Baphoboy. “Di Thailand, ada banyak hal yang selama ini dilarang dibahas. Maka saya sering menggambarkan anak kecil mempertanyakan berbagai hal di dunia.”

Bersama seniman lain, karya-karya Baphoboy dipamerkan di Bangkok beberapa hari lalu, dalam pameran bertema “menghilangnya seni di bawah rezim diktator”.

Kolektif the Unmuted Project menjadi motor pameran seni protes tersebut, karena melihat aspirasi politik anak muda akan sulit dibendung oleh rezim junta militer. “Kami ingin terlibat dalam gerakan pro-demokrasi, sehingga karya yang kami tampilkan semua dari seniman yang berani menentang propaganda penguasa,” kata Emarin, salah satu pendiri the Unmuted Project, kepada VICE News.

Selain Baphoboy, nama seniman lain yang mengemuka adalah Headache Stencil. Seniman yang lebih senior ini bahkan sudah sering dijuluki “Banksy-nya Thailand”, karena bergerak diam-diam dan menjaga identitas personalnya. Sejak 2018, Headache Stencil sudah rajin membuat graffiti dan stensilan menghina junta militer, sehingga dia sering masuk radar incaran aparat untuk ditangkap sewaktu-waktu. Karya Headache Stencil paling tenar, adalah saat dia mengejek wakil perdana menteri Prawit Wongsuwan yang kepergok suka mengoleksi jam tangan mewah.

Iklan

“Di mata hukum Thailand, saya ini sudah masuk kategori teroris,” kata Headache kepada VICE News. “Saya tidak takut mengambil risiko, sebab tujuan akhir gerakan ini adalah melengserkan tirani yang menguntungkan semua warga Thailand.”

Seni protes berkembang luas tahun ini, mengingat gerakan mahasiswa menurut para pengamat sudah masuk skala yang menyamai atau bahkan lebih besar dibanding protes pada 2014. Untuk pertama kalinya, tanpa sembunyi-sembunyi, anak muda Thailand berani melawan pemerintah.

“Seni protes berkembang seiring semangat zaman, dan risiko demonstrasi skala besar pecah sudah diperkirakan sejak lama,” kata said Charlie Thame, dosen ilmu politik Universitas Thammasat. “Ketidakpuasan pada rezim junta bukan cuma dirasakan anak muda perkotaan. Mereka yang hidup di pedesaan pun frustrasi melihat cara kerja rezim ini yang mengutamakan status quo bagi kalangan elit.”

Headache Stencil sendiri merasa perjuangan anak muda dapat membuahkan hasil. Dia berusaha keras menjaga diri di pelarian agar tidak ditangkap aparat, sampai kemenangan tiba.

“Selama ini anak muda dibungkam untuk tidak mengkritik pemerintahan pura-pura demokratis di Thailand, yang sebenarnya digerakkan militer dan kerajaan,” ujarnya. “Saya senang melihat semakin banyak anak muda yang melek politik dan berani bersuara. Ini semua baru awal dari perubahan yang akan melanda Thailand.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Asia