FYI.

This story is over 5 years old.

Melawan Bosan

Kenapa Sih Banyak Anak Millennial Bosan di Kantor?

Sebuah survei mengatakan bahwa millennial adalah generasi yang paling tidak semangat di kantor, dan kebanyakan dari mereka selalu berpikir mencari pekerjaan baru. Kenapa sih?
 Stock photo via Getty images

Duh, millennial lagi, millennial lagi. Kalian ngapain lagi sih? Susah amat berusaha mengerti kalian. Kalian “emosional” perihal membeli kopi, tapi dikit-dikit “bosan dengan hidup.” Kalian doyan ngomongin poliamori, tapi selalu merasa sulit membangun koneksi asmara. Kalian menjadi generasi mayoritas di dunia, dan banyak perusahaan bersusah payah merekrut kalian, menjual produk mereka ke kalian, mendapatkan perhatian kalian sebelum kalian kembali asik ngescroll feed Instagram orang yang tidak kalian kenal. Konsep kalian tentang hidup dan bekerja itu gimana sih?

Iklan

Untungnya, di sebuah laporan baru Gallup bertajuk “How Millennials Want to Work and Live,” pertanyaan ini sedikit terjawab. Sudah ada laporan dan survei seperti ini sebelumnya, dan pastinya akan makin banyak di masa depan, tapi saat ini, mari kita kembali menyelami survei yang memberikan kita pencerahan baru tentang generasi millennial: bahwa millennial bosan di kantor.

Ada juga hasil temuan lain, termasuk bahwa millennial cenderung tidak religius dan lebih suka mendapatkan berita dari internet, tapi ini mah semua orang juga sudah tahu. Penemuan terpenting dari survei adalah bahwa 55 persen millennial “tidak benar-benar terlibat di kantor,” dan 16 persen “secara aktif memisahkan diri di kantor.” Ya barusan adalah istilah-istilah teknis yang artinya mereka ingin ngeluyur keluar dari kantor, ke jalanan dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Angka tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan generasi lain—lebih banyak Gen X dan baby boomer secara aktif tidak semangat bekerja—tapi millennial memang nomor satu dalam hal ketidakaktifan dalam dunia kerja. Bagi para millennial, “pekerjaan harus bermakna. Mereka ingin bekerja untuk organisasi yang memiliki misi dan tujuan,” menurut bab pengenalan laporan tersebut. Di AS dan negara barat, millennial cenderung menjauhi gereja dan institusi-institusi keagamaan lainnya. Mereka juga cenderung menghindari pernikahan di usia muda dan berkeluarga dan bahkan enggan mengumumkan kesetiaan mereka untuk partai politik tertentu. Mungkin karena mereka sudah meninggalkan gagasan usang hidup demi pekerjaan. Atau mungkin karena setiap lelaki dan perempuan ingin melakukan sesuatu yang membuat mereka merasa berkontribusi membuat dunia lebih baik. Ya memang dunia kita kacau balau sekarang, dan rasanya wajar mereka yang akan mewarisi dunia ingin memperbaikinya.

Laporan ini dimaksudkan sebagai pemandu bagi manajer yang berusaha menarik dan mempertahankan karyawan millennial, yang sepertinya didambakan karena mereka melek teknologi dan otaknya penuh dengan ide segar. Rekomendasi Gallup adalah bahwa lingkungan kerja harus mengadopsi kultur mereka agar sesuai dengan millennial dan nilai-nilai mereka. Artinya, para bos harus berfokus mengklarifikasi tujuan pekerjaan karyawan, memberikan karyawan feedback secara rutin, dan—ini sebetulnya saran yang segar—berhenti memberikan fasilitas-fasilitas seperti meja pingpong dengan harapan karyawan senang dengan pekerjaan mereka.

Namun dilihat dari sudut pandang generasi millennial yang tidak aktif di tempat kerjanya, gambarannya tidak seperti ini. Mungkin rasanya menenangkan bahwa bukan hanya kamu satu-satunya yang berpindah-pindah dari halaman Facebook ke situs pencari pekerjaan selama berjam-jam, orang-orang yang merasa masa mudanya habis mendengarkan bunyi dengungan AC di kantor. Mungkin kurang menyenangkan bahwa sekitar 50 persen dari Gen X dan Baby Boomer juga sama tidak pedulinya dengan pekerjaan, bahwa rasa bosan ini bukanlah penyakit masa muda yang nantinya akan hilang. Mungkin memang dunia seperti ini. Pekerjaan itu dari dulu menyebalkan, membosankan, absurd dan memang selalu seperti ini.

Gallup menemukan bahwa sebagian besar millennial mencari, atau paling tidak tertarik dengan peluang pekerjaan baru—dan ini sangat mudah dimengerti. Apabila kamu masih muda dan tidak bahagia, kamu mungkin membayangkan pekerjaanmu berikutnya akan membuatmu menjadi individu yang baru, segar, puas dan memiliki banyak teman yang keren. Alih-alih mengubah diri, dengan kata lain, banyak orang mengira mereka bisa menyelesaikan masalah dengan cara mengubah pekerjaan. “Bagi millennial, sebuah pekerjaan bukanlah sekedar pekerjaan—tapi hidup mereka juga,” tulis CEO Gallup, Jim Clifton di bab pembuka laporan.

Mungkin itu masalahnya? Pekerjaan bukanlah kehidupan—ketika millennial pulang dari kantor, mereka tetap millennial, dengan segala masalah yang timbul ketika kamu muda dan banyak maunya. Sebetulnya tidak apa-apa memisahkan diri dari pekerjaan, untuk bersikap skeptis terhadap apapun yang kamu lakukan. Itulah inti dari istilah day job, yaitu sesuatu yang bisa kamu lakukan guna bertahan hidup tapi tidak mendefinisikan dirimu. Ini bukan hal yang buruk. Tidak semua pekerjaan memiliki tujuan yang mulia, dan tidak semua pekerjaan membutuhkan 100 persen energi kita. Lebih cepat kita menyadari hal ini, lebih baik.