Kehamilan Tak Diinginkan

Indonesia Butuh Lebih Banyak Rumah Singgah, Agar Tragedi Bayi Dibuang Berkurang

Kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, dan bayi dibuang sama-sama tinggi di Indonesia. Beberapa rumah singgah ini bisa jadi referensi korban KTD untuk berlindung.
Rumah Singgah untuk Kehamilan Tak Diinginkan Solusi Agar Tragedi Bayi Dibuang Berkurang di Indonesia
Pemandangan ini dari halaman depan rumah singgah untuk bayi yang dibuang akibat kehamilan tak diinginkan di India. Foto oleh Narinder Nanu/AFP

Di Jakarta Barat seorang perempuan berusia 20 tahun, inisialnya ‘D’, memutuskan melahirkan bayinya seorang diri di kamar rumah pada akhir pekan (9/8) lalu. Tidak punya biaya sekaligus malu atas kehamilannya yang di luar nikah, D menyamarkan jeritan sakit proses persalinan dengan menyetel musik kencang-kencang. Sesaat setelah lahir, anak tersebut ditaruh di depan rumahnya sendiri oleh D, yang lantas memberi tahu sang ibu bahwa ada bayi yang muncul misterius di depan rumah. 

Iklan

“Saksi D menaruh bayi itu di depan rumahnya, kemudian memanggil ibunya,” kata Kapolsek Palmerah Supriyanto kepada Kompas. Kenyataan ini diketahui saat polisi mencari D untuk dimintai kesaksian sebagai penemu pertama, namun malah menemukan D di kawasan Kebon Jeruk dalam keadaan lemah akibat habis melahirkan. Polisi kemudian membawa D ke Puskesmas Palmerah, tempat D mengakui perbuatannya.

“Dia dipanggil bidan, terus ditanya kenapa kamu lakukan ini? ‘memang kondisi saya lagi tidak punya uang’,” cerita Supriyanto. Kekasih D mulanya tidak mau bertanggung jawab, membuat D harus mencari cara sendiri dalam menyelesaikan masalahnya.

Kasus yang menimpa D jamak terjadi di Tanah Air. Dia termasuk perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD), yang tak tahu lagi harus meminta bantuan ke mana.

Di Indonesia, baru sedikit lembaga yang fokus membantu perempuan dengan KTD. Salah satunya Yayasan Rumah Tumbuh Harapan atau biasa disebut Rumah RUTH. Lewat keterangan di situs resminya, lembaga di Kota Bandung ini mengaku mendampingi perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan tanpa memungut biaya. Selain itu, Rumah RUTH juga menjadi tempat singgah bagi perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan.

Peristiwa tragis seperti kasus D dan banyak kasus bayi dibuang ibu kandungnya sendiri tak perlu terjadi, andai banyak pelayanan seperti Rumah RUTH. Dalam banyak kasus, ibu dengan KTD membuang bayinya karena bingung harus mengasuh anaknya di mana, sementara ia tak ingin keluarga dan lingkungan tahu soal kehamilannya.

Iklan

Pada 2010, aktivis LBH APIK Budi Wahyuni pernah mengemukakan urgensi sekaligus problem yang dialami rumah singgah (shelter) untuk korban KTD. Di satu sisi, rumah singgah adalah tempat perempuan berlindung dari perlakuan tidak menyenangkan yang ia terima akibat KTD-nya. Tapi di sisi lain, jumlah rumah singgah ini sedikit dan tak banyak diketahui karena tak semua masyarakat bisa menerima keberadaannya.

Devi Sumarno, pendiri sekaligus ketua Yayasan RUTH Bandung, menyatakan rumah singgah yang dia kelola pertama-tama fokus menjadi teman berbagi cerita bagi perempuan yang menghadapi problem KTD.

“Mereka butuh pendampingan. Orang dengan masalah KTD mengalami dampak psikologis sehingga butuh pendampingan. Pikirannya ruwet. Kalau enggak ada social support, dia bisa bunuh diri atau membuang bayinya. [Rumah RUTH] coba membentuk social support itu,” kata Devi kepada VICE.

Sebenarnya, menurut Devi, pendampingan yang paling bagus adalah pendampingan oleh keluarga. Tapi, biasanya keluarga juga terkena dampak dari KTD anggota keluarganya sehingga Rumah RUTH memutuskan hadir. “Kami juga melakukan pendampingan untuk keluarganya,” tambah Devi.

Rumah RUTH didirikan Devi dan suaminya, Charles Wong, pada 2011 lewat peristiwa tak terduga. Empat tahun sebelumnya mereka mendapati satu teman yang hamil di luar nikah, tetapi ditolak keluarganya. Devi dan Charles kemudian menampung sang teman hingga anak yang dilahirkannya berusia satu tahun.

Iklan

Selepas itu, sejumlah kasus serupa mendatangi Devi dan Charles. Hingga kini mereka telah menolong 300 perempuan. Salah satu yang termuda adalah remaja SMP kelas 2 yang berusia 14 tahun. Layanan yang mereka berikan meliputi konseling dan pendampingan kepada ibu hamil dan melahirkan, bantuan adopsi, hingga tempat tinggal buat ibu tunggal dan bayinya sampai si ibu bisa mandiri.

“Selama tinggal, ada kelas-kelas yang dilakukan seperti kelas edukasi, kelas pemulihan, konseling kelompok untuk pulih dari trauma. Harapannya, mereka bisa bangkit dan punya harapan lagi untuk masa depannya,” tutur Devi.

Angka kehamilan di luar nikah di Indonesia meningkat lebih dari 500 kasus setiap tahun. Yogyakarta menjadi daerah dengan tingkat kehamilan remaja tertinggi dengan 74 kasus hamil di luar nikah selama kurun Januari-Juni 2019. Angka ini seirama dengan banyaknya kasus bayi dibuang. Pada 2017, Indonesia Police Watch mencatat, 178 bayi ketahuan dibuang atau naik 102 persen dari tahun sebelumnya. Yang makin menyedihkan, setengah dari bayi dibuang itu meninggal.

Selain Rumah RUTH, lembaga non-profit lain yang memberi pendampingan untuk kasus KTD adalah Klinik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan lembaga Samsara di Yogyakarta. Klinik PKBI sebenarnya berfokus pada kesehatan reproduksi secara umum, namun Project Manager Global Comprehensive Abortion Care Initiatives (GCACI) PKBI Dewi A. Larasati pernah mengatakan, 60 persen permintaan konseling yang masuk ke PKBI dari korban KTD.

Devi mengakui, membangun rumah singgah seperti yang dia kelola butuh perjuangan. Hal itu, bisa jadi, membuat layanan serupa belum berkembang di Tanah Air secara swadaya. “Enggak mudah membuat yayasan seperti ini. Istilahnya, enggak ada untungnya. Mungkin karena enggak lazim juga,” ujarnya.

Setidaknya, bagi sebagian masyarakat, sudah ada opsi yang bisa jadi pertimbangan untuk mereka yang bingung mengalami KTD. Rumah RUTH, PKBI, maupun Samsara dapat menjadi rujukan.

Kehamilan tidak diinginkan jelas sudah satu tragedi. Jangan sampai rantai tragedi itu dibiarkan bertambah panjang ketika ibu memilih membuang bayi atau malah melakukan aborsi berisiko, mengingat di Indonesia, praktik aborsi tidak aman membuat 16 persen pelakunya meninggal.