Kekerasan Seksual

Ini yang Bisa Kalian Lakukan Bila Teman Mengaku Jadi Korban Kekerasan Seksual

Aktivis berbagi beberapa panduan bagi masyarakat untuk merespons cerita korban pelecehan seksual. Peran teman dan keluarga sangat penting agar penyintas tidak mengalami trauma lebih lanjut.
Panduan mendampingi teman atau keluarga yang menjadi korban kekerasan seksual
Unjuk rasa menuntut diakhirinya impunitas pada kasus-kasus kekerasan seksual di Jakarta pada 4 Mei 2016. Foto oleh Dasril Roszandi/NurPhoto via Getty Images

Menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual tidak pernah mudah, terutama bagi perempuan. Asumsi yang kerap kali melekat adalah perempuan pasti memakai baju seksi atau bertingkah menggoda sehingga wajar untuk dilecehkan. 

Semakin lama, asumsi itu membentuk stigma terhadap korban yang seolah-olah dia layak diperlakukan dengan tidak hormat karena ulahnya sendiri. Lebih kacau lagi bila seseorang mengungkap pengalaman buruk itu lewat media sosial. Bukan saja dia harus siap menghadapi hujatan, tetapi juga tuduhan berbohong untuk mencari perhatian. 

Iklan

Komentar-komentar seperti itu mudah ditemukan di tweet @quweenjojo setelah dia mengaku dilecehkan influencer yang dikenal sebagai penyiar sekaligus salah satu pemilik perusahaan Lawless Jakarta. Menurut akun tersebut, peristiwa pelecehan terhadap dirinya terjadi pada 2018 lalu.

Tentu publik masih belum tahu kebenaran dari tudingan tersebut. Tetapi, situasi ini memperlihatkan realita lain yaitu masih banyak individu yang gagap merespons ketika ada seseorang yang mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual.

Oleh karena itu, VICE bertanya kepada Annisa dari Samahita (sebuah komunitas yang aktif memerangi kejahatan seksual) dan Kalis Mardiasih (aktivis hak perempuan) tentang apa yang semestinya kita lakukan apabila berada mendapat pengakuan dari teman atau keluarga, bahwa mereka pernah menjadi korban kejahatan seksual. Berikut rangkumannya:

Gunakan empati dan jangan menghakimi

Salah satu sikap yang paling tidak merugikan adalah berempati. Kita bisa menunjukkannya dengan tidak menghakimi orang yang mengaku sebagai korban pelecehan seksual. 

“Dengarkan ceritanya. Jangan dibantah, jangan menyalahkan korban, dan jangan memotong ceritanya. Jadilah pendengar yang aktif dan dengarkan ceritanya secara serius, fokus dan utuh,” tutur Annisa. 

Iklan

Menjadi pendengar, menurut Kalis, tidak berarti kita mempunyai hak untuk mengulik peristiwa yang diceritakan. Ini lantaran kita justru akan memicu trauma dalam dirinya. Pertanyaan tentang kronologi atau seperti “gimana kejadian detilnya?” sebaiknya dihindari.

Seseorang yang mengalami pelecehan juga sangat mungkin menyalahkan dirinya sendiri. Penting bagi kita untuk tidak membuatnya merasa lebih terpuruk dengan menunjukkan keraguan. “Validasi perasaan korban. Katakan padanya bahwa tidak ada orang yang ingin menjadi korban kekerasan seksual dan tidak ada orang yang pantas untuk mendapatkan kekerasan seksual,” tegasnya. 

Empati itu bukan cuma berlaku untuk orang yang kita kenal, tetapi juga orang di media sosial yang menyatakan dirinya adalah korban suatu kekerasan seksual. Keputusannya menggunakan platform terbuka untuk mengungkap pengalaman buruk itu seringkali disalah artikan sebagai bentuk mencari perhatian, padahal tujuan sebenarnya adalah mencari dukungan.

Akibatnya, dia menjadi korban dua kali. Pertama, oleh si pelaku. Kedua, oleh netizen. “Stigma seringkali dilekatkan ke korban, bukan ke pelaku,” kata Annisa.

Aktif memberikan bantuan dan dorongan semangat

Studi Badan Kesehatan PBB (WHO) menemukan ada beragam dampak buruk terhadap kesehatan mental yang dialami oleh korban pelecehan maupun kejahatan seksual, mulai dari depresi hingga kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. 

Hanya saja, banyak yang memilih menyimpan perasaan-perasaan negatif itu sendiri lantaran takut dihakimi. Ini membuat kita semestinya lebih aktif dalam menolong korban. Pemberian dukungan akan membuat korban merasa bahwa dia tidak sendirian.

Iklan

Memberikan dorongan semangat tidak hanya terbatas saat korban menceritakan masalahnya, tetapi juga ketika dia sedang berjuang menyembuhkan diri dari trauma. “Tanyakan kebutuhannya. Apabila korban mempunyai tanda-tanda trauma, beritahukan bahwa dia bisa mendapat bantuan psikolog atau mengunjungi psikolog,” kata Annisa. 

Di Jakarta, misalnya, ada sejumlah penyedia layanan psikologis yang berorientasi pada korban kekerasan seksual salah satunya adalah Yayasan Pulih. Selain itu, ada juga komunitas yang menyediakan jasa pendampingan bagi korban seperti Samahita dan Hollaback.

Apabila ingin menempuh jalur hukum, ada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bisa membantu pembuatan laporan dan melakukan pendampingan korban kasus-kasus kekerasan seksual.

Selalu Hormati keputusan korban

Walau ada layanan psikologis dan bantuan hukum, Kalis menegaskan bahwa kita tidak boleh memaksakannya kepada korban dengan alasan apa pun, termasuk sebagai teman atau pendamping. Kita harus menghormati langkah yang diambil korban dengan tidak memaksakan pendapat.

“Semua keputusan dan tindakan yang diambil harus langsung diputuskan dan dijalani oleh korban,” ucapnya. “Sebagai teman, kita tidak bisa menjadi wakil untuk melaporkan kasus. Kita bisa menemani, tapi tidak bisa bikin keputusan sendiri, lalu bertindak secara gegabah atas nama kebaikan korban.”

Iklan

Edukasi diri sendiri

Masing-masing korban pelecehan seksual mempunyai reaksi berbeda terhadap situasi yang menimpa mereka. Agar kita tidak lebih membebani mereka dengan ketidaktahuan, sebaiknya kita juga mengedukasi diri tentang dampak pelecehan seksual sehingga fokus dan kepedulian tetap pada perasaan korban, bukan pendapat kita.

Annisa menjelaskan: “Bantuan tidak hanya berupa psikologis dan hukum, tapi juga bantuan secara sosial atau menjadi teman untuk mendengarkan cerita korban.” 

Kurangnya pemahaman ditambah dengan sikap masa bodoh bisa berujung pada victim blaming atau menyalahkan korban. Menurut Annisa, pertanyaan seperti “kenapa kamu keluar malam?” atau “kenapa kamu berpakaian seperti itu?” adalah contoh menyalahkan korban. Padahal, pelaku pelecehan lah yang seharusnya disalahkan dan dituntut pertanggung jawaban.

Kita juga harus menyadari ada beberapa alasan mengapa seseorang memendam cerita pelecehan seksual dalam kurun waktu lama. Annisa mengatakan korban bisa saja merasakan tonic immobility atau kondisi ketika reaksi badan mengalami kebekuan akibat trauma.

“Itulah mengapa banyak sekali korban yang membutuhkan waktu lama untuk bercerita. Atau bahkan, kondisi ini juga yang menyebabkan banyak korban tidak berani melawan ketika mendapatkan kekerasan seksual,” kata dia.

Ketakutan akan diserang dan dituduh macam-macam oleh pengguna media sosial juga membuat korban berpikir seribu kali untuk menceritakan pengalamannya. Jika sikap kita tidak berubah, maka akan semakin banyak korban yang menolak berbicara.

Oleh karena itu, pertanyaan “kenapa baru cerita sekarang?” sifatnya haram untuk dilontarkan kepada seseorang yang mengungkap dirinya adalah korban.