Terorisme

Pendapat Masyarakat Kembali Terbelah Soal Wacana Pemulangan WNI Eks-ISIS ke Indonesia

Memulangkan WNI simpatisan ISIS dianggap seperti mendekatkan “virus”, namun mereka juga dinilai bisa menjadi informan. Sementara membiarkan mereka tetap di Suriah bukannya tak berisiko.
Pendapat Masyarakat Kembali Terbelah Soal Wacana Pemulangan WNI Eks-ISIS ke Indonesia
Keluarga dan bekas kombatan ISIS jadi tawanan di kamp al-Hol, utara Suriah. Sebagian dari mereka adalah WNI. Foto oleh Delil Souleiman/AFP

Kekalahan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di wilayah kekuasaan terakhir mereka di Kota Baghouz, Suriah, Maret tahun lalu, menyisakan dilema di Indonesia. Saat ini 600 WNI yang bergabung dengan ISIS tengah terkatung-katung di pengungsian, sebagian berharap diperbolehkan pemerintah Indonesia pulang. Namun, wacana pemulangan eks pengikut ISIS menimbulkan polarisasi pendapat.

Perdebatan ini mengemuka lagi setelah sempat memanas tahun lalu gara-gara Menteri Agama Fachrul Razi pada Sabtu pekan lalu (1/2) mengatakan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akan memulangkan WNI eks-ISIS di Timur Tengah atas alasan kemanusiaan.

Iklan

Pernyataan itu dibantah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyebut, BNPT masih diminta mengkaji apakah WNI eks ISIS perlu dipulangkan atau tidak. Kepastian sikap pemerintah baru akan diambil Presiden Jokowi pada Mei atau Juni 2020.

Namun, Mahfud secara pribadi tak sepakat dengan rencana pemulangan. “Mulai dari mudaratnya, kalau dipulangkan itu nanti bisa menjadi masalah di sini, bisa menjadi virus baru di sini. Karena jelas-jelas dia pergi ke sana untuk menjadi teroris. Kalau nanti habis deradikalisasi diterjunkan ke masyarakat nanti bisa kambuh lagi. Kenapa? Karena di tengah masyarakat nanti dia diisolasi, dijauhi. Kalau dijauhi nanti dia jadi teroris lagi kan,” ujar Mahfud dilansir Liputan6.

Mantan Pimpinan Jamaah Islamiyah (JI) Nasir Abbas setuju dengan pendapat Mahfud. “Kita tahu mereka itu, mau WNI atau WNA, semua berbahaya. Nah, sekarang kalau kita tidak berhati-hati dalam menghadapi ‘virus’ ini, kan sangat berbahaya. Jangan dianggap enteng,” kata Nasir kepada BBC Indonesia.

Perspektif sebaliknya dikemukakan pendiri Institute for International Peace Building Noor Huda. Ia meyakini, seharusnya para eks-ISIS ini dimanfaatkan pemerintah untuk mengetahui kabar-kabar terbaru seputar organisasi teror tersebut. Informasi ini kan bisa digunakan untuk membantu melawan terorisme.

“Tanpa memahami mereka, kita tidak tahu kantong-kantong mereka. Mereka enggak muncul tiba-tiba. Mereka produk dari sebuah kelompok masyarakat tertentu. Ini kesempatan emas untuk once for all beat this movement,ujar Noor.

Iklan

Selain soal pemanfaatan informasi, Noor merasa opsi pemulangan harus dipertimbangkan, terutama anak-anak. Namun, pada akhirnya memilih-milih siapa yang boleh pulang dan tidak jadi sangat rumit. “Kalau perempuan belum tentu mereka korban. Tapi anak, kalau anaknya umurnya setahun, misalnya, dan ibunya dipisahkan, ini psikologisnya gimana? Ini memang permasalahan superkompleks,” katanya lagi.

Salah satu anak-anak korban keputusan orang tua yang bersimpati pada terorisme adalah Nada Fedulla. Remaja perempuan ini bersama neneknya dibawa sang ayah, Aref Fedulla, pindah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Dalam wawancaranya dengan BBC, Nada mengaku tak tahu rencana ayahnya. Kini ia tinggal di pengungsian eks-ISIS di Suriah sementara ayahnya dipenjara.

“Tidak semua simpatisan adalah tentara perang,” kata psikolog Kasandra Putranto tahun lalu kepada Tirto. “Sebagian dari mereka justru hanya karena ingin hidup di tanah yang menegakkan syariah Islam secara kaffah. Tidak semua simpatisan adalah tentara perang.”

Namun, mayoritas warganet menunjukkan tak bisa memaafkan WNI yang telah memutuskan bersetia pada ISIS. Opini itu tampak pada komentar-komentar baik di video Instagram BBC Indonesia tersebut maupun di Facebook.

“Demi kemanusiaan? Apa ayahnya menghargai nyawa sesama manusia? Memenggal orang aja di jalanan…. Saya tersentuh melihat adek menangis, tapi itu semua pilihan. Adek memilih ikut ayah. Segala sesuatu itu ada konsekuensi yang harus diterima. Mereka sudah bukan warga negara Indonesia,” tulis seorang pengomentar di Facebook.

Kisah anak teroris yang membawa dendam orang tua tecermin dari pengalaman Zulia Mahendra, putra Amrozi, otak Bom Bali II yang dieksekusi pada 2008. Menyaksikan ayahnya dihukum mati serta pengucilan dari masyarakat membuatnya sempat ingin melanjutkan jejak ayahnya.

Namun, dampingan keluarga, termasuk dari sang paman kandung, Ali Fauzi, mantan Kepala Instruktur Pembuatan Bom di Jemaah Islamiyah yang telah berhasil dideradikalisasi, Hendra kini lebih tenang.

“Saya tidak mau menghakimi apa yang telah Abi (Amrozi) lakukan dulu. Toh, Abi juga sudah menjalani hukuman. Sekarang, saya hanya ingin menjalani jalan yang saya pilih lebih baik ketimbang Abi saya,” kata Hendra.