FYI.

This story is over 5 years old.

Sulit Tidur

Merasa Kena Insomnia Sebelum Diperiksa Dokter Bisa Bahaya Lho

Bedakan antara mengidap insomnia dengan dugaan 'kayaknya aku insomnia deh.' Ketika kamu punya pikiran gitu, padahal sebetulnya enggak, efeknya ke tubuh langsung terasa.
Foto ilustrasi oleh Peter Glass/Getty Images.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Semua manusia pasti pernah mengalami tidur yang tidak nyenyak—beberapa malah sering mengalaminya. Cuma, artikel ini mau bilang sekadar tidur kurang nyenyak berbeda banget sama mengidap insomnia klinis. Perlu kalian tahu, insomnia adalah ketidakmampuan tidur nyenyak yang membuat seseorang frustrasi. Sebuah penelitian baru di jurnal Behaviour Research and Therapy meneliti "Identitas insomnia": perasaan dari seorang individu yang mengira kalau dia mengidap insomnia, padahal sebenarnya tidak.

Iklan

Orang yang sering tidur pulas, parahnya, bisa memiliki kepercayaan kalau mereka mengidap insomina. Sebaliknya, mereka yang secara klinis memang kesulitan tidur nyenyak justru tidak sadar terlanjur mengidap insomnia. Ternyata, pemicunya adalah sugesti dari diagnosa tanpa pernah konsultasi pada dokter atau psikolog. Keyakinan kalau kita mengidap insomnia bisa sangat kuat dampak merusaknya. Penulis Kenneth Lichstein meninjau 20 studi dan menemukan bahwa keliyengan di siang hari—perasaan pening dan lelah setelah semalaman kurang tidur—biasanya datang dari prediksi orang-orang yang menganggap dirinya mengidap insomnia dan bukan dari mereka yang justru memang kesulitan tidur.

Lha kok bisa sih? Masak iya orang gak mengerti kebiasaan tidur mereka sendiri? Semua orang mengerti perasaan mereka sendiri ketika bangun di pagi hari (atau siang—kami gak menghakimi kok). Kalau otakmu agak seret dan semua terasa melelahkan, biasanya kamu akan menganggap tidurmu kurang nyenyak. Di sisi lain, kalau kamu bangun merasa segar dan kuat, orang sering merasa tidurnya semalam nyenyak.

Artikel di jurnal tersebut menyimpulkan bila seperempat populasi manusia di dunia adalah "tukang tidur terpisah." Penilaian seseorang tentang seberapa nyaman mereka tidur sesungguhnya tidak berhubungan dengan seberapa baik kualitas tidur mereka. (Polisomnografi, yang bisa menangkap gelombak otak dan mengukur kualitas tidur seseorang juga bisa menjelaskan fenomena ini.) Mereka yang tidur nyenyak bisa mengeluh tentang kualitas tidur yang buruk, sementara mereka yang kurang tidur justru mungkin tidak mengeluh sama sekali.

Lebih penting lagi, mereka yang mengira mengidap insomnia—orang-orang yang tidur nyenyak tapi menganggap dirinya mengidap insomnia—keesokan harinya akan mengalami rasa keliyeng lebih parah dari mereka yang justru tidurnya tidak nyenyak. Intinya, ada konsekuensi fisik yang terjadi akibat kepercayaan tersebut. Menurut artikel di jurnal tersebut, mengidap identitas insomnia memiliki beberapa dampak yang nyata. Misalnya risiko memberi stigma kepada diri sendiri, depresi, keinginan bunuh diri, kecemasan, hipertensi, sampai kelelahan.

Lichstein, guru besar psikologi dari University of Alabama, memperkirakan 37 persen peserta di studi yang dia teliti mengeluh memiliki insomnia. Padahal, setelah dia telusuri, mereka semua "tidak mengalami tidur yang buruk menurut standar konvensional." Mereka memang tidak tidur sangat nyenyak, tapi tergolong normal. Sementar banyak orang yang menunjukkan gangguan tidur malah tidak menunjukan gejala orang yang mengidap insomnia.

Fenomena ini mungkin timbul akibat persepsi orang tentang tidur, jelas Lichstein. Mereka yang mendiagnosa diri dengan insomnia mungkin memiliki ekspektasi tidak masuk akal tentang kualitas tidur; mereka mungkin melebih-lebihkan isu minor atau melihatnya sebagai gejala masalah yang lebih besar. Setelah terbiasa tidur baik, satu sesi tidur yang buruk mungkin terasa sebagai tanda kembalinya "insomnia". Bagi orang-orang ini, tidur menjadi semacam ladang kecemasan yang justru semakin membuat tidur baik sulit.

Dalam kasus macam ini, merawat pasien agar berpikir lebih rileks akan lebih efektif dibanding merawat tubuh mereka. Lichtstein merekomendasikan Terapi Perilaku Kognitif (CBT), yang pernah juga sukses menyembuhkan penderita insomnia. Meditasi mindfulness kemungkinan bisa membantu. Dokter ataupun psikologi wahib menanyakan pasien yang mengeluh sulit tidur, agar menjabarkan asumsi yang mereka punya tentang apa itu tidur nyenyak. Prosedur pemeriksaan awal macam ini bisa membantu penderita insomnia betulan ataupun yang hanya karena kecemasan pribadi, agar menyadari kontrol tubuh lebih baik. Dengan begitu, mereka bisa tidur lebih nyenyak.