The VICE Guide to Right Now

Banyaknya Orang di Jalur Puncak Everest Picu Kemacetan, Menewaskan Dua Pendaki

Para pendaki tidak mengindahkan risiko penyakit ketinggian yang mengintai cuma demi memuaskan hasratnya mendaki puncak tertinggi di dunia.
Shamani Joshi
Mumbai, IN
Macet di rute pendakian Gunung Everest

Bagi para pecinta alam, menaklukkan puncak gunung Everest yang tertinggi di dunia adalah hal wajib yang harus dilakukan sebelum mereka tua. Karena alasan inilah mereka berbondong-bondong datang ke sana, dan akhirnya “menghambat” jalur pendakian di atas ketinggian Himalaya.

Menurut sejumlah berita, belum lama ini ada dua pendaki yang tewas karena penyakit ketinggian dan lemas saat tengah mengantre. Banyaknya pendaki yang menghalangi jalan diduga menjadi penyebab kematian mereka. Pendaki asal India Anjali Kulkarni pingsan di perjalanan turun gunung setelah dia berhasil mencapai puncak Gunung Everest. “Lalu lintas yang sangat padat dan terhambatnya jalur turun amat menguras tenaganya,” kata manajer grup Phupden Sherpa kepada The New York Times.

Iklan

Kira-kira pada waktu bersamaan, di hari Rabu, pendaki asal Amerika Donald Lynn Cash juga meninggal dunia setelah pingsan akibat terserang penyakit ketinggian. Sama seperti Anjali, lelaki 55 tahun ini tewas saat turun gunung, lapor perusahaan ekspedisi Nepal, Pioneer Adventure Pvt Ltd.

Jika ditotal, sudah ada empat orang yang tewas selama musim ini, dan lebih dari 200 pendaki telah meninggal sejak 1922.

Ini bukan pertama kalinya kepadatan pengunjung menyebabkan kepanikan di Gunung Everest. Pendaki bernama Nirmal Pujra mengunggah postingan Instagram yang menunjukkan betapa berbahayanya kemacetan lalu lintas manusia ini. Antrean sudah dimulai dari atas gunung, yang daerahnya dikenal sebagai “zona kematian.”

Seperti yang sudah kita semua ketahui, puncak Gunung Everest berada di ketinggian 8.848 meter. Pada ketinggian itu, setiap tarikan napas hanya mengandung sepertiga oksigen yang ditemukan di permukaan laut. Itu artinya tubuh manusia tidak bisa bertahan lama di ketinggian, dan kondisinya akan semakin memburuk. Pada kenyataannya, kebanyakan orang hanya dapat bertahan selama beberapa menit saja tanpa bantuan oksigen.

Kepada The New York Times, manajer Pioneer Adventures Nivesh Karki berpendapat terlalu banyak orang mengabaikan risiko ini cuma demi memuaskan hasratnya mendaki Gunung Everest. Akibatnya, lalu lintas pendakian menjadi macet.

"Kemacetan di jalur pendakian adalah masalah besar, karena rutenya sendiri sudah berbahaya, dan banyak risiko yang mengintai," ujarnya. "Padatnya lalu lintas membuat perjalanan menjadi sangat sulit."

Iklan

Laporan dari Kementerian Pariwisata Nepal menunjukkan ada 563 orang—baik itu orang asing maupun pemandu wisata—yang mencapai puncak Everest dari Nepal sejak musim pendakian lalu hingga tahun ini. Blogger Alan Arnette memperkirakan ada tambahan 239 orang yang datang dari Tibet. Itu berarti total pendaki pada 2018 ada 802 orang. Dia juga mengatakan tahun ini diperkirakan akan lebih sibuk, meskipun musim pendakian pada 2018 kemarin telah memakan lima korban jiwa.

Para pendaki biasanya harus terlebih dulu mengajukan izin mendaki yang biayanya mencapai $11.000 (Rp158 juta) jika ingin menaklukkan puncak gunung. Ada 41 kelompok dengan total 378 orang yang diizinkan mendaki pada pendakian musim semi. Pemandu Nepal dalam jumlah yang sama akan membantu mereka mencapai puncak.

Ternyata, kemacetan lalu lintas ini juga menyebabkan masalah besar lain, yaitu banyaknya sampah yang berserakan di sepanjang jalur. Tak heran kalau gunung ini juga dijuluki sebagai "tempat pembuangan sampah tertinggi di dunia."

Follow Shamani Joshi di Instagram.