Berbagi Keajaiban Dari Utara Jakarta
Semua foto oleh Yudistira Dilianzia.

FYI.

This story is over 5 years old.

Easy Riders

Berbagi Keajaiban Dari Utara Jakarta

Banyak orang merasa lokasi paling keren dari Ibu Kota ada di sisi selatan. Padahal kalau niat ngulik, perkara kuliner sampai pijat refleksi, sulit menandingi pesona Pantai Indah Kapuk.

Seumur hidup, gue enggak pernah ke Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Selama ini gue kebanyakan bikin alasan biar enggak usah ke sana pas diajak temen. Udah jauh, saudara pun enggak ada yang tinggal di sana. Otomatis tiap kali temen-temen ngajakin gue selalu pasang tampang memelas dan menolak secara halus (kadang kasar sih, tapi ga ngancem juga).

Lagipula, ngapain sih ke PIK?

Itulah pertanyaan naif gue sebelum mencari tahu lebih lanjut apa saja yang ada di PIK, sebutan keren kawasan tersebut. Asumsi gue soal Jakarta Utara itu khas banget bocah yang seumur hidupnya terlalu lama nongkrong di Selatan atau Timur Jakarta, lalu merasa ngendon seharian di Bekasi atau Depok udah membahagiakan. "Makan, lah!" gitu kata sebagian temen. "Atau refleksi deh, minimal." Emangnya makanan sama tempat pijat cuma ada di PIK?

Iklan

Sebenarnya enggak gitu juga. PIK keren bukan sekadar karena banyak tempat nongkrong keren. PIK jadi terasa wah, karena ini merupakan salah satu wilayah di Jakarta yang dirancang pengembangannya sejak awal. Wilayahnya tertata rapi dari dulu sampai sekarang. Kok bisa? Sebab PIK baru ada kurang dari empat dasawarsa. Tepatnya, pembangunan dimulai pada 1982. Dulunya wilayah yang sekarang disebut Pantai Indah Kapuk hanyalah rawa dan hutan bakau. Sekarang berdiri pemukiman, kondominium, bar, pijat refleksi warna-warni, serta tentu saja, kawasan hunian elit kaum superkaya Indonesia.

Makin belajar sejarah Pantai Indah Kapuk, lama-lama gue kemakan juga sama omongan banyak orang yang bilang tempat makan dan pijat di PIK enak-enak. Semua teman gue ngomong gitu tanpa di-endorse. Akhirnya, gue dan Adi Renaldi, teman sekantor, berangkat ke sana berbekal niat membuktikan omongan orang-orang, atau lebih tepatnya menghilangkan FOMO yang sudah berlangsung selama kira-kira tiga tahun. Tujuan pertama kami adalah Sushi Hiro. Ternyata saking ramenya, kita harus daftar waiting list. Pas gue terlanjur kelaperan jadi gue pergi ke tempat dessert sebelah sembari Adi nunggu giliran kita masuk di kursi depan Sushi Hiro (maaf ya, Di).

Cake A Boo

Gue merasa agak dosa karena makan makanan pencuci mulut lebih dahulu dari hidangan utama. Tapi kalo dipikir-pikir siapa juga yang larang ya? Hidup cuma sekali, ye kan.

Ketika masuk, gue disambut dekor yang berwarna-warni. Gue emang nggak pernah menangin tiket emas buat masuk ke pabrik Willy Wonka, tapi interior Cake A Boo cukup mendekati lah. Kebetulan outfit gue hari itu cocok sama dekor restorannya, jadi gue manfaatin deh buat foto-foto dikit.

Iklan

Di sebelah pintu masuk, ada revolving dessert bar. Gue memilih duduk di sebelah bar, biar gampang ngambil makanannya. Gue langsung ngambil makanan yang kelihatan paling sederhana di dessert bar, yang ternyata bernama Sakura Velvet. Pas gue nanya ke pelayan restoran tentang kue berwarna pink itu, katanya dia terbuat dari bunga sakura asli. Wow, gue langsung berasa jadi Suzzanna setelah makan bunga. Bedanya, ngemil bunga melati nggak seenak kue sakura yang gue pilih. Rasa manisnya pas, dengan aroma yang juga enak.

Menu minuman di restoran ini lumayan banyak. Karena gue bingung, gue pesen milkshake pertama yang ada di menu, yaitu Gentlemen's Shake. Waktu minumannya dateng, gue kaget. Gimana nggak kaget, ternyata milkshake cokelatnya disajikan dengan gumpalan arumanis yang gede banget di atasnya. Asumsi gue sih nggak ada foto minumannya di buku menu untuk nambah elemen kejutan. Harus gue akui, mereka berhasil. Gue sempet takut minumannya manis banget, karena ada arumanis dan juga cokelat. Ternyata, arumanisnya mengimbangi rasa milkshake yang ternyata nggak manis-manis amat.

Sushi Hiro

Ternyata rezeki anak sholeh beneran ada, terutama kalau mereka mau nunggu lama. Sejujurnya nih, suasana dalam Sushi Hiro terlampau kecil dan enggak sepadan sama reputasi sushi roll-nya. Malam itu pelanggan berjubel saat bersantap malam dan kami terpaksa masuk waiting list. Untunglah enggak sampai 20 menit menunggu, meja akhirnya siap. Menu Sushi Hiro tergolong cukup eklektik; mulai dari salad Chuka Wakame hingga Aburi Tamago sashimi. Serius, buku menunya tebel banget sampai bikin bingung.

Iklan

Demi menghemat waktu mending langsung tanya ke pramusaji. Si pramusaji menyarankan saya Hiro Aburi Sushi berisi enam jenis sushi dan Salmon Rock n Roll berisi delapan sushi salmon. Saya memesan keduanya. Sushi memang kelihatan kecil dan bagi orang Jawa seperti saya terlihat tidak mengenyangkan. Ternyata penampilan doang bisa salah. Setelah mengembat empat buah sushi, perut gue langsung kenyang!

TimHoWan

Lokasinya terletak tepat di seberang Sushi Hiro. Restoran tersebut cukup sepi ketika kami masuk. Ternyata TimHoWan yang merupakan franchise resmi dari Hong Kong cuma buka sampai pukul 10 malam.

Enggak banyak babibu, kami langsung minta menu dan memesan langsung. Empat sajian langsung kami pesan: Bakpao isi babi BBQ, tim bakso sapi dengan kulit tahu, bakpao isi udang, dan kulit dim sum saus wijen.

Yu Yuan Tang

Sebenernya ini yang gue tunggu-tunggu sejak memasuki area PIK. Kebetulan hari sebelumnya gue nggak enak badan, sehingga kayaknya pas banget kalo gue mampir tempat refleksiologi.

Ternyata, tempat refleksiologinya terletak di atas restoran ramen, alias buat yang tau-tau aja. Gue udah booking via telepon sebelumnya, dan gue memilih jasa terapis senior untuk satu sesi yang lamanya 75 menit. Ternyata gue dapet diskon sampe Rp30.000, jadi jatohnya satu sesi pijat kurang dari Rp100.000. Lumayan banget. Gue langsung diarahkan ke sebuah ruangan yang lampunya redup. Enggak lama kemudian, terapis gue masuk membawa ember dan peralatan pijat. Gue disuguhi Lo Han Kuo panas dan disuruh duduk di ujung kursi. Dua kaki dicelupkan ke ember yang ternyata berisi air panas yang ada rempah-rempahnya. Dasar embernya enggak rata, ada tonjolan-tonjolannya gitu, kayak sendal refleksi nyokap-nyokap.

Selama kaki gue direndem di ember, kepala dipijat sampe pensil alis gue kehapus. Gue nggak marah sama terapisnya karena gue a) sopan, dan b) keenakan. Kemudian leher dan punggung gue juga dipijat dan dipencet-pencet di beberapa titik. Yang paling enak sih di bagian tulang punggung. Kayaknya pijat di bagian itu memperbaiki postur juga.

Sekitar setengah jam kemudian, gue duduk selonjoran dan tibalah giliran kaki gue yang dipijat. Punggung gue diganjal dengan bantal yang berisi garam kristal yang sudah terlebih dahulu dihangatkan di microwave. Karena penasaran, gue nanya ke terapisnya, "Kalau lagi tegang kerasa nggak sih, Mas?" "Kerasa. Kalo lagi tegang biasanya ngelawan," begitu kata terapis gue. Wih, kayak anak SMA tawuran dong? Setelah itu, kaki gue dipalu ala-ala film Misery (1990), kemudian telapak kaki gue di-cupping menggunakan gelas kaca panas. Gak terasa 75 menit berlalu. Gue dipersilakan memakai sepatu, terus bayar deh di kasir. Pengetahuan gue tentang pijat-memijat bisa dibilang terbatas. Paling enggak, gue berani menyimpulkan kalo pengalaman refleksi tuh kayak toxic relationship. Kadang sakit banget, tapi gue berarti bohong kalo sampai berani bilang enggak menikmati setiap detik pijatannya.