FYI.

This story is over 5 years old.

subkultur

Sinetron Tobat Mending Bikin Cerita Ini: Aku Lalai, Anakku Bikin Video 'Amboxing' dan 'Cellenge'

Maraknya bocah yimyam belum 13 tahun memproduksi konten di Youtube sebetulnya unik, tapi rentan jadi bullying. Psikolog anak menilai tren 'amboxing' akibat minimnya pengawasan ortu.
meme shocked cat via flickr; screengrab video-video amboxing via Youtube.

Aku suka sekali mengisi waktu luang dengan salah satu kegiatan paling berfaedah: membuka-buka laman meme favorit di Facebook. Salah satunya yang bikin perasaanku enggak karuan adalah ketika aku menemukan tiga cuplikan laman youtube yang menunjukkan tiga kata kunci terpopuler. Amboxsing, Cellenge, dan Riviuw.

Saking penasarannya, aku mencoba cari kata kunci tersebut di youtube. Amboxsing misalnya, ada hampir 26 ribu video di youtube dengan kata kunci terkait. Salah satunya diduga dimiliki seorang anak dengan judul video, “aku mau amboxsing."

Iklan

“Kali ini kita akan amboxing… bisa dilihat guys gambarnya W, dan ini aku beli di Mangga Dua, pas makan langsung belanja… (setelah dibuka kotaknya) Guys, ternyata saya salah beli, ini malah sepatu lama…”

Jangan harap komentar yang diberikan layak untuk didengar anak kurang dari 13 tahun. Misalnya saja, akun Otamegane yang berkomentar, “Bocah tolol”; akun Minato Namikaze mengatakan “GA BUTUH AMBOXSING MU COK!! (YANG BENER UNBOXING) ; akun Ghani Rasyid ganas menyalak, “Otaknya zigzag whyy gitu."

Savage juga ya. Meskipun sebetulnya ada beberapa orang yang bersimpatik memberikan semangat dan dukungan seperti akun Bobby Irawan yang bilang “Unboxing dek bukan ambox sing hahaha semangat yaaa”; atau akun Burster 1234 yang menulis, “Semangat terus! Lain kali bahasa inggrisnya dibenerin ya.. biar orang2 g pada ngece lu!"

Selain video tersebut, hasil teratas menunjukkan beberapa konten lain yang tak kalah ramai ditonton. Misalnya video “Amboxsing choki choki di kamar” ditonton hingga 49 ribu kali; “Amboxsing choki choki part 10” ditonton lebih dari 3.100 kali; dan “Amboxsing sepinner” ditonton sekitar 2000 kali. Kata lainnya yang juga popular seperti, “Cellenge” menampilkan hasil pencarian teratas video berjudul “Cellenge makan Mie Pake Mermaid Di Kolam Renang aheHeHeHeHe” disaksikan hingga lebih dari 46 ribu kali.

Kedua kata kunci tersebut fenomena pinggiran jagat internet Tanah Air, mengikuti format video populer Unboxing dan Challenge. 'Amboxsing', dan 'cellenge' bukanlah plesetan. Kedua kata itu judul-judul video di youtube yang dibuat secara jujur oleh akun-akun, kebanyakan milik anak-anak usia Sekolah Dasar, bocah yang mayoritasnya belum genap 12 tahun. Komunitas meme menjuluki mereka bocah yimyam.

Iklan

Problemnya, mengolok-olok bocah yimyam enggak akan bikin gelombang video amboxing surut. Ingat-ingat saja, dulu waktu kecil kita pasti nyanyi lagu bahasa Inggris ngaco. Bedanya, dulu enggak ada sosial media dan kita enggak gampang merekamnya. Sebaliknya, sekarang anak-anak sudah kenal teknologi tanpa kontrol orang tua yang memadai. Ini sebetulnya yang bikin sedih. Kalau di Amerika Serikat sih, ada batasan usia 13 tahun sebagai syarat minimum seseorang memiliki sosial media sesuai merujuk Children’s Online Privacy Protection Act pada 1998. Anak-anak dilarang mengumpulkan dan menyimpan informasi pribadi di internet. Perusahaan dan orang tua juga dilarang keras memfasilitasi kegiatan anak macam itu. Sementara di Indonesia, pemerintah sampai sekarang belum juga menuntaskan beleid mengenai perlindungan anak dari pemakaian gawai berlebih. Peraturan itu, rencananya, mencakup Keputusan Bersama Menteri, yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri PPPA, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

"Mudah-mudahan dalam tahun ini surat keputusan tersebut segera keluar," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise seperti dikutip dari kantor berita Antara bulan lalu.

Psikolog Anak, Tika Bisono menerangkan, sebetulnya kegiatan unboxing merupakan salah satu materi belajar di tingkat pendidikan dasar yang disebut “Show and Tell."

“Di sekolah-sekolah, aku selalu nyaranin ada pelajaran show and tell, in order to fostering the linguistic skill. Sekarang zaman digital, show and tellnya dimanfaatkan lewat youtube,” kata Tika ketika dihubungi VICE. “Jadi kalau ini dilihat dari kacamata show and tell, wajar-wajar aja.”

Iklan

Di sisi lain, Tika tetap menyayangkan karena kegiatan “Show and Tell” yang mestinya positif ini tidak diawasi orang tua. Akibatnya, tidak ada penjaga gawang yang menyaring konten mereka. Padahal nih, anak-anak yimyam bukan cuma tech savvy yang sanggup merekam dan tak jarang mengedit video, mereka juga berani menunjukkan hal yang mereka banggakan. Ya meskipun itu cuma choki-choki bukan sepatu seri terbaru Balenciaga.

Dihubungi terpisah, psikolog Elizabeth Santosa mengatakan padaku adanya fenomena ini kadang membuatnya khawatir. Anak-anak yang bahkan belum berusia 13 tahun, bisa jadi bahan perundungan online. Menurutnya, fenomena amboxing merupakan indikasi banyaknya anak-anak menggunakan sosial media secara berlebih tanpa dibekali kognisi yang cukup dan tentunya pengawasan orang tua.

“Itu kan baru soal salah kata, belum lagi soal masalah salah perspektif [dalam mengunggah sesuatu], menyinggung orang lain, atau bahkan melanggar [UU ITE] sehingga perilakunya di sosial media tanpa dia ketahu bisa memicu persekusi, bully, orang sakit hati dan lainnya.”

Ketakutan Elizabeth beralasan. Riset dari Universitas Terbuka menunjukkan mayoritas pengguna Internet anak yang mereka teliti, rentan terjerat masalah serta berisiko terpapar perundungan online. "Terlalu dininya usia anak-anak pengguna facebook dan twitter menyebabkan mereka belum memahami etika berkomunikasi di dunia maya dan aturan hukum yang menyertainya," demikian kesimpulan penelitian tersebut.

Enggak usah deh bicara anak-anak, orang dewasa saja perlu kesiapan emosional yang cukup untuk mengahadapi jutaan “netizen usil” di luar sana. Jadi ya… ini bukan cuma soal anak-anak yang mengadopsi profesi yang kini dianggap kekinian.

Anak-anak yimyam cuma butuh tempat lebih banyak saja untuk berekspresi. Kalau ngeselin, ya biarin aja, atau ingetin orang tuanya (siapa tahu bisa dicari). Tapi kita sebagai pengguna Internet yang lebih dewasa alih-alih mengayomi malah mem-bully. Kampret emang.