FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya

Komunitas 'Nonton India' di Yogya Melawan Hegemoni Shah Rukh Khan

Penonton kelas menengah di Indonesia punya persepsi negatif terhadap sinema asal India. Dipimpin sastrawan asal Lamongan penggila film India, sekelompok anak muda berusaha mengubah stigma negatif itu.
komunitas pecinta film India di Yogyakarta
Ilustrasi komunitas pecinta film India di Yogyakarta oleh Yasmin Hutasuhut.

Seorang laki-laki separuh baya duduk, raut mukanya sedih bercampur gugup. Ia menghadap preman kelas wahid, Shubash Nagre, akrab disapa Sarkar. Lelaki sepuh itu datang memohon agar Shubash membalaskan dendam putrinya yang bunuh diri setelah diperkosa segerombolan pemuda bengal.

"Aku sudah pergi ke kantor polisi, dan seperti orang bodoh juga mendatangi pengadilan," kata pria tersebut kepada Sarkar. "Tapi mereka malah mengolok putriku… Sebelum aku mati, aku mohon balaskan dendam putriku."

Iklan

Sarkar tak menunjukkan ekspresi apapun. Air mukanya datar. Ia lantas menengok ke arah anak buahnya, seraya berkata dengan nada tenang, "Aku mau lain kali jika pria ini mendengar nama si pelaku, aku mau itu membuatnya tersenyum."

Percakapan ini menjadi adegan pembuka Sarkar karya sutradara asal Hyderabad, India, Ram Gopal Varma yang kerap disebut sebagai punggawa subgenre 'noir india'. Bagi penggemar film, adegan pembuka Sarkar jelas sebuah penghormatan buat The Godfather (yang gamblang diakui Varma). Sarkar menawarkan plot seputar kehidupan punggawa organisasi kriminal yang rumit, sembari mengomentari kondisi sosial politik Kota Mumbai, latar utama film ini.

Genre noir macam Sarkar tak terlalu dikenal saat orang Indonesia membahas film India dengan segala stereotipenya. Citra tentang film India biasanya berkutat pada nyanyian, cinta segitiga, dan tarian. Tiga unsur itu kadung melekat dalam benak masyarakat Indonesia. Sadar bila citra dan persepsi tersebut kadung mengakar, komunitas film Nonton India menggelar acara nonton bareng Sarkar. Komunitas di Yogyakarta yang baru dibentuk setahun belakangan ini rutin menggelar nonton bareng film asal India setiap bulan. Pilihan film mereka sebisa mungkin bukan produk Bollywood, industri film arus utama di India.

Tercatat sudah empat film diputar selama setahun terakhir: Raavanan, film bergenre laga/thriller; Raincoat sebuah drama romantis tentang seorang pengangguran dan perempuan yang pura-pura bahagia; 7 Khoon Maaf tentang pembunuh berantai yang membunuh tujuh suaminya; serta tentu saja Sarkar.

Iklan

Mahfud Ikhwan, salah satu penggagas komunitas Nonton India, menyatakan misi komunitasnya adalah memberi pengalaman menonton film India kepada khalayak, setidaknya di Yogya, agar orang merasakan nonton film India memberi sensasi seperti menyaksikan sinema dari benua lain. Kenapa perlu ada 'pembiasaan'?

Sebab, Mahfud merasa film India di Indonesia masa sekarang adalah budaya pop yang dianaktirikan. Sastrawan asal Lamongan pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 itu menganggap film India senasib dengan dangdut. Film India lekat dalam imajinasi kelas menengah perkotaan sebagai hiburan kaum ndeso yang berselera rendah.

Nonton India lantas tumbuh dengan semangat menghilangkan batasan kultural untuk menikmati film manapun. Hollywood, Nollywood asal Nigeria, atau Bollywood, semuanya memiliki ciri khas tersendiri dan merupakan representasi dari budaya asalnya.

"Ini hanya awal mula, bisa jadi misi tersebut tak pernah tercapai,” kata Mahfud yang pernah menulis buku Aku dan Film India Melawan Dunia. "Kami tidak ingin menjadi terlalu eksklusif. Nonton India itu biasa saja seperti halnya nonton film biasa."


Tonton dokumenter VICE soal kejayaan film-film kelas B di Indonesia pada puncak kekuasaan Orde Baru:


Sineas Indonesia sejak lama memendam prasangka buruk terhadap karya sinema asal Asia Selatan. Contohnya Usmar Ismail, sutradara legendaris di Tanah Air. Dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film dia menyebut film India gabungan antara cerita gaib, ajaib, takhayul, nyanyian, dan tarian yang dikemas secara spektakuler. Mayoritas film India, imbuh Usmar, berlawanan dengan akal sehat. "Tapi orang Indonesia hirau soal demikian. Mutu teknis, pencapaian estetis, dan logika cerita dalam film bukanlah soal utama bagi penonton Indonesia."

Iklan

Persepsi negatif itu rupanya terus bertahan di kalangan penikmat film kelas menengah perkotaan, hingga pergantian abad. Tidak banyak cinebro, pengulas film, ataupun penggemar sinema di kota-kota besar yang bangga bercerita ke koleganya jika mereka menyukai film India. Kalau sampai pengakuan itu disampaikan, bisa-bisa respons yang diberikan justru kerut di dahi temanmu. Padahal respons biasa saja, atau malah pujian, akan muncul jika kalian menyukai produk sinema Asia lain misalnya film Jepang, Korea Selatan, atau Thailand.

Diskriminasi soal selera itulah yang mendorong Dyah Retno bergabung dengan komunitas Nonton India. Dyah merasakan hasratnya terhadap film India harus direpresi dalam kehidupan sosial. Dia sempat merasa malu karena sangat menyukai film India. Tapi itu dulu. Sekarang dia begitu bersemangat ketika hendak memutar film India terbaru.

"Orang orang sering mengejek mengapa saya suka india," kata Dyah. "Saya harus sembunyi sembunyi, bahkan saat film india mulai ditayangkan di CGV [jaringan sinema asal Korea Selatan], tidak mungkin saya mengajak teman teman saya yang tidak suka film india."

Hubungan renggang dengan film India sebetulnya hanya dialami penggemar sinema kelas menengah. Penonton kebanyakan di negara ini mencintai produk India (atau lebih spesifiknya Bollywood) sejak lama. Pertengahan dekade 1950-an, film asal India mendominasi layar bioskop di republik yang masih belia. Pada 1955, jumlah film India yang beredar di seluruh layar mencapai 311 kopi. Situs sejarah populer Historia, mencatat sutradara macam Usmar Ismail atau pengusaha film Djamaludin Malik yang memiliki Persari, berusaha mendidik konsumen agar menonton film India berkualitas. Apa mau dikata, pasar lebih menikmati film India yang hanya layak tayang "di bioskop kelas dua dan tiga."

Iklan

Karya sinema produksi India kembali membanjir ke Indonesia di awal 90-an lewat stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (kini menjadi MNC TV). Pilihan film yang masuk perlahan membentuk persepsi penonton lokal terhadap film India. Memasuki Abad 21, kesuksesan Bollywood menggaet mata dunia mungkin tak bisa lepas dari peran aktor Shah Rukh Khan yang dijuluki Raja Dirajanya Bollywood setelah suksesnya Kuch Kuch Hota Hai dan My Name is Khan. Pada 2014, ia dinobatkan sebagai aktor kedua terkaya di dunia setelah komedian Jerry Seinfeld.

Khan berperan besar membentuk persepsi publik terhadap film India sejak awal dekade 2000-an. Dalam buku The Magic Of Bollywood: At Home and Abroad, film Kuch Kuch Hota Hai berhasil mengalahkan Titanic saat tayang di bioskop dan TV Negeri Sungai Gangga. Film garapan sutradara Karan Johar tersebut, menurut beberapa kritikus India, menawarkan formula segar dalam industri perfilman India modern, yang selama ini dikuasai oleh drama/laga khas film-film Amitabh Bhachan—aktor legendaris lainnya yang terus dikenang sampai sekarang.

Tragisnya, kesuksesan drama ala Shakh Rukh Khan malah mendominasi seluruh industri film India. Genre di luar percintaan melodramatis sama sekali tidak dianggap eksistensinya, kata Mahfud. Gara-gara itulah Mahfud, yang mencintai film India sejak masa kecilnya di Desa Lembor Lamongan, berhasrat mengubah pola pikir tersebut. Film India cuma melulu soal Shah Rukh Khan dan drama romantisnya.

Iklan

"India itu punya genre lain seperti politik, thriller, dan crime drama," kata Mahfud. "Film India itu tidak tunggal soal Shah Rukh Khan."

Di luar soal kecenderungan mutu, yang bisa diperdebatkan, industri perfilman India memang jauh meninggalkan Indonesia. Pada 2011 sektor industri kreatif ini membukukan pendapatan kotor sebesar US$1,86 miliar, menurut data Kamar Dagang dan Industri India (FICCI). Jumlah tersebut diperkirakan meningkat hingga US$6 miliar pada 2018. Berdasarkan jumlah produksi, Bollywood mengalahkan Hollywood lebih dari tiga kali lipat. Secara rata-rata, Bollywood memproduksi 1.600 film per tahun, sementara Hollywood "cuma" 600 film.

Data di atas rupanya tidak menarik perhatian jaringan bioskop besar di Tanah Air, yang biasa menempatkan layar di mal, serta mengincar penonton kelas menengah. Produk Hollywood yang bapuknya tak ketulungan berpeluang lebih besar diputar di bioskop kota besar Indonesia dibanding film India yang meraih penghargaan atau laris di negara asalnya.

"Lagi-lagi ini masalah persepsi," kata Mahfud. "Pemilik jaringan sinema lebih suka memutar Hollywood, karena sudah jelas pasarnya."

Mahfud sadar betapapun dia gigih membela, secara estetika dan plot, sebagian besar karya sinema dari Negeri Sungai Gangga berkualitas rendah. Namun bagi Mahfud menonton film India memberikan pengalaman khas, yang tentu tidak bisa didapat jika asupan sinema kita hanya melulu film Indonesia atau Hollywood.

Bahkan dalam beberapa kasus, film Indonesia tertinggal jauh dari film India. Khususnya saat filmnya mengangkat isu sosial politik tentang pemerintahan korup, orang pinggiran yang menuntut keadilan, sampai upaya sineas menelisik ikatan keluarga. Contohnya, sangat kecil kemungkinan ada sutradara dan produser di Indonesia berani menggarap film gangster yang mengurai hubungan tegang Hindu-Muslim, seperti Gangs of Wasseypur (2012) garapan Anurag Kashyap (sutradara legendaris favorit rekan kami di VICE India).

Tema sensitif macam itu, menurut Mahfud, seringkali kedodoran saat diolah pembuat film di Indonesia. Itu alasan lain yang membuat komunitas 'Nonton India' ingin pecinta film di negara ini melunturkan prasangka, lalu mulai menonton lebih banyak karya Bollywood ataupun yang datang dari arus pinggiran di perfilman India.

"Lewat film India aku punya ikatan kultural," kata Mahfud. "Karena justru potret kehidupan di Indonesia malah ditangkap lewat kamera film India."