Kisah dari Penjara

Napi di Samarinda Tolak Bebas Lewat 'Jalur Corona' Karena Merasa Tak Punya Keluarga

Tapi tentu tak semua napi yang bebas mendadak sesedih itu. Di Gorontalo, napi yang bisa keluar berkat kebijakan Kemenkumham merayakannya lewat joget TikTok.
Napi di Samarinda Menolak Dibebaskan Kemenkumham saat corona Karena Merasa Tak Punya Keluarga
Foto hanya ilustrasi. Ini kondisi penghuni Rutan Salemba, Jakarta Timur, saat momen pemilu 2019. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE

Kami enggak akan menyamakan cerita Ambo dari Samarinda dengan salah satu karakter film Shawsank Redemption yang kesulitan beradaptasi dengan hidup di luar penjara. Tapi asli deh, cerita napi narkotika bernama Ambo ini sedih banget.

Pengakuannya mirip tokoh Tasytee di serial Orange Is the New Black. Penghuni Lapas Kelas II A Samarinda, Kalimantan Timur ini menolaK program asimilasi Kemenkumham saat pandemi corona, karena enggak tahu harus ke mana setelah bebas nanti.

Iklan

"Kalau saya keluar, mau ke mana. Mending di sini, sudah banyak teman," kata Ambo, dikutip Kompas, Sabtu (11/4) pekan lalu. Ambo adalah salah satu dari empat napi di lapas tersebut yang menolak asimilasi. Lapas ini mendapat jatah melepaskan 137 narapidana lewat dua skema, asimilasi atau menjadi tahanan rumah, serta integrasi yang mencakup pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Salah satu yang bikin Ambo bingung kalau bebas, ia sudah tak punya rumah karena istrinya telah menikah lagi dan anaknya hanya satu. Mau lari ke rumah orang tua pun, orang tuanya sudah meninggal. Oleh karena ituia memilih melanjutkan masa hukuman 4,5 tahunnya yang masih sisa separuh. "Mending di [penjara]. Nyaman di sini. Sudah betah," kata Ambo. Di lapas, ia kadang membantu teman-temannya dan menerima pemberian makanan sebagai imbalan.

Selain Ambo, pendakwah Bahar bin Smith yang tengah dipenjara di Lapas Kelas II A Cibinong Pondok Rajeg juga menolak pembebasan dini. Tapi ini klaim salah satu kuasa hukumnya, Aziz Yanuar. "Beliau tegas tidak mau dianggap utang budi pada rezim zalim," ujar Aziz, dilansir Tirto. Selain itu Bahar beralasan, "Banyak murid yang masih diajar ada di dalam." Namun menurut keterangan kepala lapas tersebut, Bahar enggak masuk yang dapet asimilasi maupun integrase karena tak memenuhi syarat.

Ambo dan Bahar tergolong kasus nyeleneh karena sebagian besar napi menyambut gembira keputusan pemerintah “melepas” 50 ribu napi anak dan dewasa. Ekspresi bahagia pol-polan itu kemudian dikawinkan dengan tren paling kiwari.

Sebanyak 66 napi yang dibebaskan Lapas Kelas II A Gorontalo rikues ke penjaga agar momen mereka keluar pintu penjara di-TikTok-in. Inget joget sambil jalan baris itu kan? Nah, mereka ngelakuin itu. Mereka enggak sendiri karena napi Lapas Kelas II B Polewali Mandar juga—bisa-bisanya—kepikiran ide yang sama. Saya jadi nyadar ini udah 2020. Sujud syukur is sooo yesterday.

Keluarga yang nunggu di luar lapas sih ketawa ya ngeliat kelakuan orang merayakan kebebasan ini, tapi anak Twitter nggak nemu lucunya di mana.

Mari kita cek. Menurut penjelasan Hukum Online, Permenkumham 6/2013 tentang tata tertib di lapas dan rutan menggolongkan bawa alat komunikasi sebagai pelanggaran disiplin berat. Nah lho, petugas lapas Gorontalo dan Polewali Mandar, jawabannya gimana nih? Atau baru jawabannya kudu nunggu kasus napi pake hape buat nipu polwan dulu?