Proses rehabilitasi anak yang kecanduan game online dan gawai di RSJ Jawa Barat
Tiga anak berbarengan melihat tutorial game online di Kota Bandung, Jawa Barat. Semua foto oleh Iqbal Kusumadirezza.
Kecanduan Game

Perjuangan Bocah-Bocah Indonesia yang Ingin Sembuh dari Kecanduan Game Online

VICE berkujung ke RSJ Cisarusa Jawa Barat, provinsi dengan tingkat kecanduan game cukup tinggi di kalangan pelajar SD hingga SMA. Ortu dan pemerintah abai pada edukasi soal durasi main game yang sehat.

Awalnya ketika Muhammad Riqsa* menghabiskan waktu lebih dari dua jam bermain game PUBG, kedua orang tuanya mendiamkan saja. Lambat laun, dia menghancurkan barang-barang di rumah, saban kali dilarang memainkan game yang dia idam-idamkan.

Riqsa, kini 15 tahun, terbiasa dituruti kemauannya oleh orang tua. Sejak masih 8 tahun, Riqsa akrab dengan game online di gawai maupun komputer. Awalnya dia cuma menghabiskan satu hingga dua jam bermain game. Durasi bermain itu kian panjang seiring bertambahnya usia. Dia bisa menghabiskan delapan jam di depan layar.

Iklan

Tapi waktu juga berarti uang. Awalnya dia hanya menghabiskan Rp25 ribu. Beranjak jadi Rp50 ribu. Lalu Rp100 ribu per minggu. Riqsa, yang asal Garut, Jawa Barat, menghabiskan uang saku dari ortu untuk membeli pulsa, barang dalam aplikasi (in-app purchases), atau pergi ke warnet game. Uang selalu menjadi masalah dalam keluarga Riqsa yang status ekonominya menengah ke bawah. Pengeluaran buat game online jelas tak masuk dalam anggaran bulanan keluarga. Riqsa bakal mengamuk dan menghancurkan barang ketika diperingatkan atau dilarang orang tuanya.

Puncaknya, ayah-ibunya memutuskan mengeluarkan Riqsa dari sekolah. Remaja itu mengancam teman satu kelasnya dengan pisau dapur dalam sebuah keributan kecil di ruang kelas. Kedua orang tuanya semakin khawatir. Mereka lantas membawa Riqsa menjalani pemeriksaan di Rumah Sakit Jiwa Jawa Barat, Cisarua.

Riqsa menjalani perawatan selama 21 hari sejak pertengahan Januari 2020. Saat ditemui di ruang rawat inap khusus anak Keswara, RSJ Cisarua Jawa Barat, Riqsa yang mengenakan setelan pasien berwarna biru tua tengah bermain keyboard di sebuah ruang bermain bersama tiga pasien lain. Jari jemarinya bergerak pelan di atas tuts. Gaya bicaranya seperti orang dewasa. Jawabannya tenang tapi tegas.

"Halo, nama saya Riqsa," katanya pada VICE, sambil mengulurkan tangan saat pertama kali bertemu.

"Kamu kangen main game enggak?" tanya saya.

"Enggak, udah enggak kepengin," jawabnya. "Hari ini aku sudah boleh pulang. Tinggal menunggu dijemput."

Iklan
1582793810158-rs-riau-11

Seorang anak penderita kecanduan gawai, didampingi ibunya, diperiksa oleh psikiater di RS Jiwa Grha Atma, Bandung Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza.

Hasil pemeriksaan psikiatri menunjukkan Riqsa mengalami depresi. Dia ternyata kerap di-bully teman-temannya di sekolah. Sebagai pelampiasan (coping mechanism), Riqsa bakal menenggelamkan diri dalam permainan tembak menembak, kata psikiater anak yang menangani Riqsa, Lina Budiyanti.

"Ada rasa tidak percaya diri. Riqsa menjadi menarik diri dari lingkungan pertemanannya, akhirnya dia menemukan gawai untuk mencari jati dirinya," kata Lina pada VICE.

Jadwal kegiatan Riqsa dan pasien lain di Keswara lumayan padat. Senin ada kegiatan olah raga. Selasa kesenian. Rabu kegiatan alam. Kamis kegiatan akademik. Jumat kegiatan keagamaan. Sabtu adalah kegiatan bebas seperti menonton film, bermain, dan mendengarkan musik.

Arimbi Nurwiyanti, kepala ruang Keswara, mengatakan Riqsa menunjukkan perkembangan positif. Dia dapat mengontrol emosinya lebih baik. Fungsi sosialnya juga berangsur pulih. Selain menjalani terapi psikososial, pasien seperti Riqsa juga diberi obat-obatan.

Pasien yang telah selesai menjalani rawat inap kemudian dapat menjalani rawat jalan untuk mengontrol perkembangannya, sesuai petunjuk dokter. Tapi pengobatan itu tidak akan berhasil selama orang tua tidak mengubah mindset dan perilaku mereka terhadap sang anak, kata Arimbi.

"Yang terpenting adalah terapi untuk mengajarkan kontrol emosi dan perilaku," kata Arimbi. "Dokter tidak akan berhasil jika orang tua tidak mendukung upaya kesembuhan anak."

Iklan
1584337468917-imageedit_1_5044646732

Seorang pasien di RSJ Cisarua, Jawa Barat mengintip dari celah pintu

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Addictive Behaviors menyebut kecanduan internet dan gawai punya efek serupa ketagihan narkoba. Para peneliti dari Universitas Heidelberg Jerman meneliti 48 orang dengan MRI scan. Sebanyak 22 orang kecanduan gawai, dan 26 lainnya tidak. Hasilnya, orang dengan kecanduan gawai menunjukkan perubahan fisik pada materi abu-abu otak. Bagian itu adalah materi penting yang mengontrol otot, kemampuan panca indera, dan kemampuan mental seperti emosi, ingatan, dan pengambilan keputusan.

Sejak September 2019 hingga Januari 2020, RSJ Jawa Barat telah menangani 12 pasien rawat inap yang didiagnosis mengalami kecanduan gawai, termasuk game online. Sedangkan pasien rawat jalan mencapai 180 orang dalam periode yang sama, yang ditangani di dua fasilitas kesehatan jiwa yang bekerja sama: Grha Atma di Jl. Riau, Bandung dan RSJ Jawa Barat. Ada peningkatan jumlah pasien rawat jalan dari Januari 2019 hingga September, dari 11 pasien hingga naik lebih dari tiga kali lipat mencapai 35 orang pasien.

"Setiap hari kami melayani lusinan pasien dengan diagnosis kecanduan gawai," kata Lina yang berpraktik di dua fasilitas kesehatan mental tersebut. "Tapi tidak semua kami beri rawat inap."

Ada tiga tahap yang dilakukan sebelum mendiagnosis pasien. Pertama wawancara bersama anak atau disebut anamnesis. Kedua wawancara dengan orang tua atau heteroanamnesis. Pemeriksaan psikiatri atau tes psikometrik (berupa kuesioner) juga diperlukan tergantung berat-ringannya kasus yang dialami.

Iklan
1582793965254-rs-cisarua-15

Papan di salah satu ruangan perawatan anak dengan ketergantungan gawai di Rumah Sakit Jiwa Cisarua, Bandung.

Hanya pasien yang menunjukkan komorbiditas yang dapat dirawat inap, terutama ketika telah membahayakan dirinya dan orang lain. Komorbiditas ini meliputi gangguan yang menyertai gangguan utama. Dalam kasus Riqsa, komorbiditasnya adalah depresi dan kecemasan sosial, yang pada akhirnya membuatnya kecanduan gawai.

Riqsa juga menunjukkan gangguan fungsi sosial yang membuatnya tak bisa bergaul dengan teman sebaya dengan baik. Fungsi akademiknya juga menurun karena waktu yang kelewat banyak dihabiskan untuk bermain game.

"Rata-rata pasien kecanduan gawai menunjukkan gangguan tersebut," kata Lina. "Mereka mengalami gangguan emosional dan fungsinya sehari-hari."

Usia pasien pun bervariasi, dari balita yang telat berbicara (speech delay) akibat terlalu banyak menonton video hingga remaja. Remaja berjenis kelamin laki-laki lebih rentan terhadap kecanduan gawai dibandingkan perempuan, kata Lina. Kemudian sekira 90 persen pasien yang pernah ditanganinya mengalami kecanduan game menembak.

Ada beberapa faktor penyebab kecanduan ini, kata Lina. Pertama sikap keluarga yang terlalu permisif terhadap kemauan anak. Ini juga didasari kurangnya komunikasi. Kedua, faktor internal dalam diri anak. Ada kalanya trauma terhadap hal tertentu bisa membuat anak melampiaskan pada hiburan dalam gawai.

"Ketika anak tak mendapat apresiasi, mungkin dalam bidang akademik, mereka akan mencari pelampiasan untuk mendapat pengakuan," kata Lina. "Game online bisa jadi menyediakan tempat agar anak mendapat pengakuan."

Iklan

Lina tak ingat kapan pastinya RSJ Jawa Barat mulai menangani pasien kecanduan gawai. Namun minimnya panduan kesehatan yang terstandarisasi, kesadaran masyarakat, dan intervensi pemerintah membuat tenaga kesehatan sulit untuk memetakan gejala kecanduan di masyarakat.

1582794172382-rs-cisarua-4

Terapi musik, seperti dilakukan RSJ di Jalan Riau 11 Bandung, cukup efektif memulihkan anak-anak yang mengalami kecanduan game.

"Baru pada pertengahan 2018 kami memiliki panduan tenaga medis dari WHO," kata Lina. "Sebelum itu mungkin sudah banyak pasien yang mengalami kecanduan gawai, tapi kami tidak mendiagnosanya sebagai kecanduan."

Panduan yang dimaksud Lina adalah International Classification of Diseases 11th Revision (ICD-11) yang dirilis WHO pada Juni 2018. Definisi ICD-11 menyebut kecanduan gim (gaming disorder) adalah gangguan kontrol terhadap game, yang membuat seseorang lebih memprioritaskan bermain dibanding aktivitas lain meski telah timbul konsekuensi negatif.

Jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171 juta jiwa menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia ( APJII) pada Mei 2019. Sementara laporan HootSuite dan We Are Social pada Januari 2019 lalu menyebut penduduk Indonesia menempati peringkat lima dunia dalam durasi pemakaian internet terlama dalam satu hari, mencapai delapan jam dan 36 menit.

Indonesia adalah pasar yang besar dalam industri game online. Data dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) mengungkapkan perputaran uang dari industri gim di Indonesia mencapai Rp14 triliun per tahun. Jumlah pemain gim di Indonesia diprediksi mencapai 41 juta orang. Hal senada juga diungkapkan direktur PUBG Mobile Asia Tenggara Oliver Ye, yang menyebut Indonesia menduduki peringkat kedua jumlah pemain PUBG terbanyak di dunia. Ye, sayangnya, tidak menyebut jumlah pastinya.

Iklan

Pemerintah Indonesia tengah mendorong pertumbuhan e-sport lewat sejumlah kompetisi, seperti piala presiden, namun langkah tersebut belum dibarengi dengan peningkatan kesadaran terhadap kesehatan mental yang seharusnya terus digalakkan. Pada akhir 2018, pemerintah berencana menerbitkan peraturan yang dianggap dapat menurunkan potensi kecanduan gawai, namun hingga saat ini belum ada sosialisasi terkait hal tersebut.

Upaya yang mungkin menjadi pro dan kontra adalah ketika Wali Kota Bandung Oded M. Danial mencanangkan program ‘chickenisasi’, berupa pembagian anak ayam buat anak-anak dan remaja dengan harapan mencegah kecanduan gawai.

Program itu diklaim olehnya berhasil setelah membagikan 2.000 anak ayam ke pelajar. Belasan ayam mati, dan Danial dikecam oleh organisasi penyayang binatang PETA. Keberhasilan program itu pun tak dapat diukur dan dipertanggungjawabkan, selain klaim yang dilontarkan Danial.

Anak-anak tersebut pun tak seharusnya menjalani perawatan di RSJ, andai keluarga berperan dalam mengedukasi anak, dan pemerintah menyediakan sarana ruang ramah anak di tiap kota secara memadai. Sehingga kasus seperti Riqsa atau anak yang disekap di kandang ayam karena kecanduan game tak perlu terjadi.

Saat Riqsa tengah bersiap untuk kembali ke keluarganya, dia hanya berujar pelan kepada saya. "Aku ingin kembali ke sekolah."

*Nama disamarkan untuk melindungi privasi