Demokrasi

Survei Terbaru Nobatkan Salatiga Sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia

Menurut Wakil Wali Kota Salatiga, resep sukses mereka jadi kota toleran versi Setara Institute adalah pendidikan tinggi. Kabar ini patut dirayakan dengan tumpang koyor!
Survei SETARA Institute Nobatkan Salatiga Sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia
Potret simpang lima yang menjadi simbol Kota Salatiga, Jawa Tengah. Foto oleh Visual Karsa/via Unsplash

Warga Salatiga patut bangga. SETARA Institute baru saja merilis Indeks Kota Toleran (IKT) 2020, kemarin (25/2), yang hasilnya menempatkan Salatiga sebagai kota paling toleran se-Indonesia. Kota sejuk di Jawa Tengah ini menjadi pemuncak dari daftar 10 kota paling toleran sepanjang 2020, secara berurutan disusul Singkawang, Manado, Tomohon, Kupang, Surabaya, Ambon, Kediri, Sukabumi, dan Bekasi. 

Iklan

Atas prestasi ini, kemarin Wakil Wali Kota Salatiga Muh. Haris menerima penghargaan yang diserahkan Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Tumpak Haposan Simanjuntak.

SETARA Institute sendiri adalah organisasi non-profit yang fokus pada isu toleransi, keberagamaan, demokrasi, dan solidaritas. Rilis IKT juga pernah mereka lakukan pada 2015, 2017, dan 2018.

Bangga menerima penghargaan, Muh. Haris mengatakan prestasi ini berkat pembuatan kebijakan tanpa diskriminasi, sinergi masyarakat, kesejahteraan dan tingkat ekonomi, dan dominasi masyarakat berpendidikan tinggi sehingga tidak mudah terpengaruh isu pemecah belah. Dikutip dari situs DPRD Salatiga, kota yang benar tujuh ini dihuni 30 etnis yang tersebar di 4 kecamatan.

Sementara itu, hasil tak menyenangkan datang dari Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang terempas dari 10 besar kota paling toleran. Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menyebut, biasanya kota tersebut selalu masuk 10 besar, bahkan pada 2015 sempat jadi peringkat pertama.

“Sebagai informasi, Pematangsiantar pada 2015-2018 selalu mendapat skor 10 terbesar terbaik. Tapi, untuk 2020, maaf-maaf saja, terlempar dari 10 besar,” kata Bonar dalam peluncuran laporan IKT 2020, dilansir Tempo.

Iklan

Peneliti SETARA Institute, Halili, menyebut memang ada kota yang tidak berhasil merawat dan mempromosikan praktik toleransi di kotanya. Tanpa menyebut contoh, Halili cuma bilang ada dinamika masyarakat sipil yang agak mengkhawatirkan di kota tersebut. Diduga, dinamika yang dimaksud berhubungan dengan kasus penetapan tersangka penistaan agama pada empat tenaga kesehatan di RSUD Djasamen Saragih yang memandikan jenazah perempuan korban Covid-19. 

Laporan IKT 2020 menyorot intoleransi seperti pelanggaran kebebasan beragama banyak terjadi di kota-kota besar. Pasalnya, otonomi daerah membuat kota kecil tumbuh cepat sehingga memanggil pendatang. Masyarakat yang semula homogen kini mulai didatangi orang “asing”, menimbulkan potensi benturan.

“Kami juga melihat ada komparasi tegas antara pemimpin kota yang kemudian komit merawat kemajemukan, melindungi warganya, merawat kebebasan beragama, dibandingkan wali kota atau kepala daerah yang bertindak bertentangan atau sebaliknya,” tambah Bonar.

SETARA memakai 8 indikator dalam studi ini, yakni kebijakan pemerintah kota tentang toleransi, peristiwa intoleransi, dinamika masyarakat, pernyataan kepada publik, tindakan nyata pemerintah, demografi, dan inklusi sosial-keagamaan. Penghitungan skor dari semua indikator tersebut lalu dipastikan lagi lewat wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh di tiap kota.

Iklan

Penilaian IKT ini tidak selalu diterima dengan mulus oleh pihak yang dinilai. Validitasnya pernah dipertanyakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pemimpin daerah yang dinilai buruk dalam IKT 2018. Anies meminta SETARA membuka utuh metode riset mereka sekaligus berencana mengundang sejumlah ahli statistik dan riset ilmu sosial untuk mengkaji hasil studi IKT. Ia mengaku tidak menolak penilaian IKT dan hanya mau memastikan kebenaran masalah intoleransi di daerahnya, sebelum nanti mencari solusi.

“Karena bisa saja pertanyaan [data riset] itu disusun untuk mendapatkan jawaban tertentu,” kata Anies, dilansir Tempo. Pihak lain lain yang pernah mempertanyakan hasil riset SETARA adalah anggota DPRD Kota Banda Aceh Sabri Badruddin dan Irwansyah.

Doktor Ilmu Politik University of Notre Dame Nathanael Gratias Sumaktoyo mengatakan metodologi SETARA sudah baik serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Lembaga tersebut cukup terbuka dengan sumber data mereka. Namun, Nathanael memberi catatan bahwa emang ada dua macam metodologi yang bisa dipakai buat meneliti isu intoleransi. Pertama, riset berbasis opini publik untuk memotret sikap masyarakat, atau kedua, seperti yang dipakai SETARA, memotret lewat insiden-insiden nyata yang terjadi.

“Menurut saya, pendekatan beda ini saling melengkapi. Masing-masing indeks tidak bisa memberikan gambaran utuh atau lengkap dari suatu fenomena. Jadi, penelitian apa pun hanyalah satu cuilan atau bagian dari fenomena secara keseluruhan,” kata Nathanael kepada Tirto.