FYI.

This story is over 5 years old.

medsos dan hidup kita

Saya Nyoba Puasa Medsos, dan Kelihatannya Kalian Harus Mencobanya Juga

Tentang tekad untuk logout dari segala medsos-medsos yang bikin kita penat.
foto diambil dari Shutterstock, dibikin oleh Noel Ransome

Membuka media sosial setiap hari dan membaca berita kematian dan kehancuran bisa melelahkan. Dan tentunya tidak aneh lagi membaca orang gontok-gontokan, komentar yang tidak diinginkan, perundungan massal, dan kehidupan orang lain secara konstan digembar-gemborkan di depan muka.

Suatu waktu, saya sudah tidak tahan lagi. Awalnya saya kesulitan menghindari media sosial karena berhubungan dengan pekerjaan saya. Tapi kemudian akhirnya satu hari, tanpa ba-bi-bu, saya langsung menonaktifkan medsos. Awalnya Twitter, kemudian Faceboook, kemudian saya langsung menghapus semua app sosmed dari iPhone saya.

Iklan

"Your friends will miss you," kata Facebook. Saya terkejut bahwa sebuah app berani-beraninya mengatur saya. Bodo amat dah. Saya sudah muak.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, saya bisa bernafas. Kini, saya sendirian. Tidak ada lagi kebisingan dari semua debat dan komentar tidak diinginkan dari orang lain.

Saya hanya bisa dikontak lewat email dan ponsel, yang hanya dimiliki oleh mereka-mereka yang sudah punya kontak saya. Mereka-mereka inilah yang lantas langsung menyerbu saya dengan email dan pesan penuh kekhawatiran—beberapa bahkan bertanya di dunia nyata, "Kamu gak papa? Twitter kamu dihapus ya?"

Saya baik-baik saja, bahkan lebih baik dalam setahun terakhir. Saya tidak lagi terobsesi membuka tutup app sosmed dan sanggup memproses peristiwa-peristiwa tanpa harus mendengar hujan opini orang lain.

Baru-baru ini, setelah secara ragu-ragu mengaktifkan kembali semua akun medsos saya mengunjungi seorang terapis dan kepala dari klinik Talkspace, Nicole Amesbury untuk mencari jawaban kenapa orang-orang sangat gelisah tentang puasa medsos saya. Talkspace adalah sebuah perusahaan terapi online yang menawarkan sebuah program yang merawat orang-orang dengan ketergantungan terhadap medsos.

Kenapa sih orang panik hanya gara-gara saya rehat dari sesuatu yang memang melelahkan secara mental? Medsos memang bagian dari pekerjaan saya, tapi apa berarti saya tidak boleh istirahat dan mengambil nafas sejenak?

Iklan

"Begitu anda hilang dari medsos, orang-orang akan mulai penasaran apabila anda sakit karena mereka tidak mendengar kabar selama beberapa waktu," jelas Amesbury. "Ini bisa bersifat menyanjung: 'Kami kangen postinganmu, kamu gak pernah nge-like postinganku lagi.' Ini bukan hal yang buruk, dan anda tidak harus melawan sosmed, tapi anda harus mencari cara menggunakan medsos yang pas buat anda sendiri."

Saya sadar bahwa saya kecanduan medsos ketika saya terus-terusan mengambil ponsel di beberapa hari pertama puasa medsos untuk mengecek Twitter, padahal app tersebut sudah dihapus. Amesbury mengatakan ini adalah salah satu tanda bahwa pola penggunaan medsos memunculkan masalah dalam hidup saya..

"Banyak orang bereksperimen dengan tingkat kenyamanan masing-masing," jelas Amesbury. "Ketika kamu merasa kehilangan kendali, berarti memang ada masalah."

Bahkan ketika saya merasa terisolasi, saya sadar saya berusaha menghindari menyaksikan trauma orang lain, atau kata-kata dan gambar yang bisa memicu. Terutama karena saya masih berkabung akibat kematian bunuh diri teman baik tahun lalu, Twitter menjadi ruang yang tidak aman akibat banyaknya ekspresi bunuh diri yang kelewat santai dan sembrono di kalangan orang muda—"I wanna die lol" dan berbagai variasinya. Ini adalah bentuk humor gelap yang memfasilitasi koneksi dengan orang lain dengan perasaan yang sama; hanya saja, bagi orang yang baru saja kehilangan teman akibat bunuh diri, ini tidak lucu.

Iklan

"Pembicaraan di sosmed, dan hal-hal yang ditampilkan Facebook Live akhir-akhir ini lumayan traumatis," jelas Amesbury. Namun di luar itu, dalam konteks semua kekacauan yang terjadi di dunia, apa iya media sosial baik untuk masyarakat?

Setiap kali orang bertanya bagaimana pengalaman puasa medsos saya, saya selalu menjelaskannya sebagai "kedamaian." Saya bisa memproses pikiran dengan damai tanpa tekanan untuk terjun ke dalam diskusi dengan orang asing di internet yang sering bikin stres. Saya bertemu lebih banyak teman di dunia nyata, mengambil lebih banyak foto tanpa intensi untuk mengunggahnya ke medsos demi validasi. Saya berjalan-jalan ke air terjun dan menghabiskan waktu dengan orang-orang tersayang. Biarpun begitu, tetap saja sulit untuk bisa benar-benar kabur dari medsos ketika orang-orang terdekat masih aktif di atau teman saya mengirimkan tautan ke tweet yang mengandung meme atau berita.

Amesbury bercerita bagaimana semakin banyak orang sekarang sepenuhnya puasa dari medsos ketika sedang liburan. Namun bagi kamu yang tidak punya waktu untuk berlibur dan akibatnya terus-terusan aktif di medsos, dia punya rekomendasi lain:

"Semua orang berhadapan dengan masalah penggunaan medsos," ia menjelaskan. Oleh sebab itu ia menawarkan solusi "aturan 20-20-20." Amesbury mengatakan "Setelah 20 menit menatap layar, ambilah waktu 20 detik untuk beristirahat dan menatap apapun yang jaraknya 20 kaki dari anda. Tataplah sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan layar komputer, ambil nafas sebentar."

Iklan

Biarpun aturan 20-20-20 awalnya digunakan untuk kesehatan mata, Amesbury mengatakan aturan ini bisa membantu mengembangkan kemawasan diri seseorang ketika menggunakan medsos. "Coba regangkan badan, lihat objek lain, dan berpikir, OK, gue dapet apa yang gue mau enggak sih semenjak login tadi?' jelasnya.

Biarpun saya jadi ketinggalan berita-berita terkini, saya menyukai perasaan terpisah yang saya rasakan ketika puasa medsos. Setelah seminggu, saya mengaktifkan kembali Facebook demi pekerjaan. Namun saya berhasil tidak menggunakan Twitter selama sebulan—pertama kalinya semenjak saya melakukan deaktivasi di 2009. Setiap harinya, saya selalu tergoda untuk kembali bermain Twitter.

Biarpun saya sudah kembali menggunakan medsos, kini saya menerapkan batasan-batasan yang lebih ketat. Saya tidak aktif di Twitter kecuali ketika jam kerja; saya tidak mengunggah status yang kelewat pribadi (untuk sekarang); aplikasi Twitter tidak saya install di ponsel; dan saya mematikan semua notifikasi medsos; saya berusaha untuk selalu menggunakan email dan pesan untuk berkomunikasi di medsos. Saya nge-mute beberapa kata, unfollow beberapa orang, dan menyalakan filter quality.

Biarpun saya membenci medsos, faktanya ini masih bagian dari hidup dan pekerjaan saya. Mungkin buat kamu juga.

"Apabila seseorang berpikir bahwa medsos itu dangkal atau sekedar tren, atau hanya cara orang pamer ego, mereka sangat salah," jelas Amesbury. "Orang menggunakan medsos secara sangat pribadi, dan medsos memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang luar biasa baik atau sangat merusak."