Demokrasi

Mungkinkah Ormas Macam FPI Dibubarkan Lewat Petisi Online?

Izin organisasi FPI kedaluwarsa 20 Juni 2019. Muncul petisi menuntut Kemendagri tak memperpanjang izinnya. Sayang, menurut pakar hukum, harapan para 'clicktivist' sulit terpenuhi.
Bisakah FPI Dibubarkan Hanya Lewat Petisi Online?
Aksi Front Pembela Islam membawa poster Rizieq Shihab menuntut pemerintah melarang organisasi Ahmadiyah di depan Istana Negara. Foto oleh Ed Wray / Associated Press

Izin Organisasi Front Pembela Islam (FPI) bakal kedaluwarsa pada 20 Juni 2019. Hingga saat ini FPI juga belum mengajukan perpanjangan izin ke Kementerian Dalam Negeri. Setelah kabar itu beredar di media, muncul petisi daring agar Kemendagri menolak perpanjangan izin FPI. Petisi itu muncul di platform change.org sejak tiga hari lalu. Lebih dari 200.000 orang sudah menandatangani petisi tersebut.

"Mengingat akan berakhirnya izin organisasi FPI di Indonesia, mari kita bersama-sama menolak perpanjangan izin mereka," tulis inisiator petisi Ira Bisyir di laman change.org. "Karena organisasi tersebut merupakan kelompok radikal, pendukung kekerasan dan pendukung HTI."

Iklan

HTI, kepanjangan Hizbut Tahrir Indonesia, adalah organisasi massa yang sejak 2017 dinyatakan terlarang oleh pemerintah lewat keputusan presiden, yang lantas dikuatkan putusan Mahkamah Agung. HTI dengan ideologi khilafah Islamiyah dianggap merongrong pemerintahan sah, dan memanfaatkan asas demokrasi untuk menyuarakan upaya makar. FPI dan HTI bukan kelompok yang secara alamiah satu ideologi, namun oleh masyarakat awam sama-sama dianggap radikal.

Sejak kemarin malam, merespons petisi pembubaran, muncul petisi tandingan agar Kemendagri menerbitkan perpanjangan izin FPI. Petisi dengan agenda berlawanan ini juga muncul di platform yang sama. Hingga artikel ini dilansir, baru 83.000 orang yang menandatangani petisi pro-FPI tersebut.

Pemerintah Indonesia selama ini mewajibkan setiap organisasi masyarakat terdaftar di administrasi Kemendagri. Tujuannya supaya mudah mengawasi dan mengontrol ormas. Izin tersebut dikeluarkan dengan sebutan Surat Keterangan Terdaftar (SKT), yang harus diperpanjang setiap lima tahun sekali.

Imam FPI Jakarta, Muhsin bin Zaid Alattas, dikutip BBC Indonesia, mengatakan ormasnya segera mengajukan perpanjangan SKT tersebut. "Kewajiban ormas untuk [taat] aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, ya kita harus memperbarui," ujarnya Muhsin.

Mekanisme pengajuan perpanjangan SKT tergolong rumit. Semua dokumen kelengkapan diserahkan kepada Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri untuk diperiksa keabsahannya, sebelum diserahkan kepada Menteri untuk disahkan. Selama ini pemerintah tercatat belum pernah menolak izin perpanjangan suatu ormas.

Iklan

Mungkinkah tekanan sebagian aktivis dunia maya, biasa disebut 'clicktivist', bisa mendorong pemerintah meninjau perpanjangan izin FPI?

Pengamat hukum tak sepakat dengan semangat yang diusung petisi pembubaran FPI. Ormas yang sempat lama dipimpin Rizieq Shihab itu—yang sampai sekarang mengasingkan diri ke Arab Saudi karena pernah terjerat kasus dengan kepolisian—idealnya sesuai koridor hukum yang berlaku. Petisi belum memiliki kekuatan hukum di Indonesia.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu menyatakan dalam negara demokrasi semua pihak harus diberi hak kebebasan berserikat dan berkumpul. Pemerintah, katanya, punya payung hukum soal apa yang boleh dilakukan ormas serta mana yang tidak. Artinya, semangat petisi pembubaran FPI justru berbahaya, karena memberi lampu hijau bagi pemerintah melakukan hal yang sama untuk ormas lain—termasuk yang agendanya progresif seperti kelompok HAM atau serikat buruh.

Sementara ahli hukum tata negara Universitas Khairun Ternatem, Margarito Kamis, mengatakan eksistensi FPI tak bisa serta merta dihilangkan. Bahkans sekalipun SKT-nya tidak diperpanjang oleh pemerintah. Menurut Margarito, lebih baik FPI terdaftar sebagai ormas di pemerintahan, sebab dengan begitu pemerintah dapat terus memantau pergerakannya. Ia juga berpendapat, andai FPI dibubarkan tetap ada kemungkinan bahwa elemen organisasinya masih ada di tengah masyarakat.

Iklan

"Secara formal mungkin dia tidak ada, tetapi secara sosiologis hidup di tengah masyarakat. Bagaimana cara membubarkannya?" papar Margarito kepada VICE.

Petisi daring memang menjadi sarana bagi publik untuk mengeluarkan aspirasinya. Situs change.org baru muncul pada 2012 dan segera menjadi rujukan bagi warganet buat menuntut perubahan. Namun hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang menyatakan bahwa sebuah petisi, berapapun jumlah tanda tangan yang sudah didapat, wajib direspon oleh pemerintah. Saat ini juga belum ada lembaga pemerintah yang menampung petisi online yang telah terakumulasi.

Kondisi ini tentu berbeda dengan misalnya Amerika Serikat, yang memiliki kanal khusus demi menampung petisi di Gedung Putih. Contohnya, jika tanda tangan petisi telah mencapai 100.000 dalam 30 hari, maka pemerintah Negeri Paman sam wajib merespons petisi tersebut.


Tonton dokumenter VICE menyorot akar politisasi agama di Indonesia, terutama saat ormas keagamaan bergabung dengan rakyat miskin kota:


Kendati tak berpayung hukum, namun petisi daring dirasa efektif mempengaruhi opini publik dan bahan pertimbangan pengambilan kebijakan pemerintah. Dikutip dari Tirto.id, ada enam petisi di change.org yang berhasil mempengaruhi kebijakan publik sepanjang 2016. Salah satunya petisi agar Presiden Joko Widodo menolak revisi peraturan pemerintah soal pemberian dan kelonggaran remisi buat koruptor. Atas desakan masyarakat lewat petisi, Jokowi akhirnya menolak revisi beleid tersebut.

Iklan

Sejauh ini pemerintahan Jokowi baru pernah membubarkan dua ormas radikal. Selain HTI, organisasi teroris Jemaah Ansharut Daulah (JAD) juga diberangus. Wewenang pembubaran ormas pun tak serta merta ada di tangan Kemendagri. Jika ormas terbukti melanggar, ada surat teguran dan kemudian diproses di pengadilan hingga Mahkamah Agung jika teguran tersebut tak diindahkan.

Kemendagri, saat dihubungi media, masih mempertimbangkan berbagai aspek, salah satunya masukan dari masyarakat terkait perpanjangan SKT untuk FPI. Menurut Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo, banyak faktor yang harus dikaji selain petisi dari masyarakat.

Sebenarnya penolakan dan tuntutan pembubaran FPI sudah terjadi berjilid-jilid. Organisasi yang berdiri pada 17 Agustus 1998 tersebut kerap menerima penolakan di berbagai daerah. Aksi penolakan terhadap FPI tersebar dari Sumatera Barat hingga Bali. Terakhir ratusan pemuda Dayak di Tarakan, Kalimantan Utara pada Juli 2018 memblokade pintu kedatangan Bandara Internasional Juwata menolak kedatangan pimpinan FPI. Mereka menolak pendirian FPI di Kota Tarakan.

Aksi FPI sepanjang perjalanannya memang kerap dipandang sebagai ancaman dalam aspek pluralitas masyarakat. Dalam berbagai isu pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, FPI tak jarang mendominasi. Dalam catatan Setara Institute, FPI menjadi aktor utama dalam 16 kasus kekerasan sepanjang 2016. Menurut data kepolisian, FPI juga mendominasi 107 aksi kekerasan sepanjang 2007 hingga 2010.

Organisasi FPI dalam sejarahnya muncul beberapa saat setelah Suharto jatuh, ketika ruang berkumpul dan berpendapat terbuka luas. Merujuk riset Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam buku Premanisme Politik, FPI terbentuk salah satunya imbas dari tragedi Ketapang: sebuah kerusuhan bermotif agama di akhir 1998 di Jakarta yang menyebabkan belasan orang tewas, lalu memicu kerusuhan Ambon. Kemunculan FPI hanya selang beberapa minggu dengan kehadiran sayap paramiliter Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa yang dibentuk militer demi meredam gelombang unjuk rasa mahasiswa di Jakarta.

FPI lambat laun bertahan lebih lama dibanding Pam Swarkarsa. Ormas ini dikenal lantaran aksi main hakim sendiri di berbagai daerah. Terutama saat menggelar upaya sweeping ke tempat-tempat yang disinyalir sebagai lokasi maksiat atau rumah peribadatan yang menurut mereka menyimpang.

Adi Renaldi adalah staff writer VICE Indonesia yang mendalami hoax, terorisme, serta isu keamanan nasional lainnya. Follow dia di Instagram