FYI.

This story is over 5 years old.

Pembantaian Rohingya

Usai Dua Pekan Serangan Sistematis Militer, 270 Ribu Warga Rohingya Kabur Dari Myanmar

Ranjau-ranjau dipasang militer Myanmar di perbatasan, mengancam serta melukai ribuan warga sipil yang kabur ke Bangladesh.

Lebih dari seperempat juta pengungsi muslim etnis Rohingya dari Myanmar membanjiri perbatasan untuk berlindung di kamp-kamp yang padat dan tempat penampungan darurat perbatasan Bangladesh dua minggu terakhir. Mereka melarikan diri dari eksekusi, kekerasan seksual, dan operasi pembakaran desa sistematis, yang menurut dugaan berbagai pemantau independen dilakukan oleh tentara pemerintah. Amnesty International menyebut tragedi dua pekan terakhir di Myanmar sudah masuk kategori "serangan yang sengaja menyasar etnis tertentu." Tak hanya itu, tentara Myanmar memasang ranjau di perbatasan, melukai beberapa warga sipil yang hendak menyeberang ke Bangladesh. Rangkaian kekerasan yang terjadi sejak akhir Agustus lalu, menewaskan sekurang-kurangnya 1.000 orang. Tragedi kesekian kalinya menimpa penduduk Rohingya ini merusak stabilitas Myanmar sekaligus menodai reputasi pemimpin negara tersebut, Aung San Suu Kyi. Tokoh peraih Nobel Perdamaian yang dulu digadang-gadang publik internasional sebagai ikon demokrasi untuk mengakhiri kekuasaan junta militer di Myanmar memilih tak banyak merespons desakan dunia agar kekerasan terhadap Rohingya diakhiri. Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis pada akhir pekan lalu, jumlah pengungsi mencapai lebih dari 270.000 orang, mewakili seperempat populasi Rohingya di Myanmar. Para pengungsi dari wilayah Provinsi Rakhine meningkat drastis setelah terjadi kontak senjata pada 25 Agustus antara militan Rohingya dan pasukan pemerintah. Separatis yang tergabung dengan kelompok militan sangat kecil jumlahnya di kalangan warga Rohingya. Namun adanya segelintir pemberontak menjadi dalih bagi pemerintah melakukan operasi sistematis yang melanggar HAM dan mengancam nyawa ratusan ribu warga sipil dari etnis minoritas muslim tersebut. Bencana kemanusiaan ini membuat banyak pihak mendesak pemimpin de facto Myanmar, Suu Kyi, melepas Penghargaan Nobel Perdamaian yang dia terima pada 1991 silam. Dua penerima Penghargaan Nobel Perdamaian lain, Desmond Tutu dan Malala Yousafzai, mendesak Suu Kyi minggu ini untuk mengambil langkah dalam rangka meredakan krisis yang berlarut-larut terhadap minoritas muslim. Suu Kyi, pada jumpa pers, justru menyalahkan "teroris" atas "kekeliruan informasi besar" soal kekerasan di Provinsi Rakhine.

Iklan

Baca juga liputan lain VICE atas krisis kemanusiaan yang dihadapi warga Rohingya:

Meski foto-foto palsu telah beredar selama beberapa minggu belakangan, tak ada pengamat hak asasi manusia yang mempercayai dalih Suu Kyi bahwa kekerasan terhadap Rohingya "dibesar-besarkan." Semua bukti menunjukkan bahwa memang terjadi kekerasan sistematis terhadap penduduk muslim di Rakhine. "Saat kami menyaksikan kengerian yang terjadi, kami berdoa supaya kamu tetap berani dan tegar," tulis Tutu di Facebook, yang ditujukan untuk Suu Kyi. "Kami berdoa supaya kamu mengintervensi krisis yang meningkat ini, dan memandu rakyatmu kembali ke jalan yang benar." Malala mencuit di Twitter: "Hati saya remuk melihat penderitaan Muslim Rohingya." Dia mendesak Suu Kyi, yang dia sebut sebagai "sesama penerima Nobel," agar membantu "menghentikan kekerasan" tersebut. Lebih dari 390.000 orang telah menandatangani petisi daring, mendesak Penghargaan Nobel Suu Kyi ditarik kembali oleh Akademi Swedia.

Sementara ini krisis kemanusiaan yang menimpa etnis minoritas muslim di Myanmar tampaknya belum akan mereda. CNN melaporkan pekan lalu, menyitir penjaga perbatasan Bangladesh yang namanya tak disebut, militer Myanmar kemungkinan menanam ranjau di sepanjang jalur pengungsian. Ranjau-ranjau itu berpeluang besar melukai warga sipil Rohingya yang kabur ke perbatasan