FYI.

This story is over 5 years old.

Luar Angkasa

Skenario Agar Manusia Bisa Melakukan Penjelajahan Antar Bintang

Empat dekade lalu, wahana antariksa Voyager 1 dan 2 memulai petualangan lintas bintang. Kira-kira kapan impian interstellar ini akan tercapai?

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Catatan editor: artikel ini tulisan pendamping cerpen "Dark was the night, and cold the ground," yang diterbitkan di Terraform kamis lalu.

Menjelang musim panas 1977, dua bersaudara mengucapkan salam perpisahan pada Bumi. keduanya pergi untuk menjelajahi semesta. Beberapa kali mereka mengirim surat dan banyak kartu pos yang indah agar semua orang di Bumi bisa terus update dengan perjalanan mereka. Masing-masing dari mereka membawa kapsul waktu emas yang serupa bersisi pemandangan dan suara dari dunia yang mereka tinggalkan. Harapannya, mereka bisa jadi hulubalang manusia bagi semua jenis kehidupan di luar sana.

Iklan

Kini 40 tahun setelah mereka diluncurkan, Voyager 1 and 2 sudah mencapai titik yang lebih jauh dari obyek buatan manusia lainnya. Dengan memanfaatkan alur orbit langka, kedua wahana luar angkasa ini bisa mengunjungi empat planet gas di tata surya kita—Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus—dan mengirim kembali gambar-gambar paling ikonik dari planet-planet itu.

Pada August 2012, Voyager 1 memasuki ruang interstellar. Dia jadi hulubalang manusia pertama yang sampai ke sana. Dalam beberapa tahun ke depan, saudarnya, Voyager II, bakal sampai di kawasan seluas 12 miliar mil itu. Dua wahana sudah berada di masa senja mereka dan bakal berhenti beroperasi sekitar 2020an. Setelah itu, keduanya akan terus bergentayangan, makin jauh dari tata surya kita, menjelajahi ruang antar bintang sampai mereka menemukan sesuatu—atau seseorang—yang menghentikan mereka.

Rute penjelajahan Voyagers. Sumber gambar: NASA

Dalam cerpen Miguel Fernández-Flores, "Dark was the night, and cold the ground," yang terbit Kamis lalu di Terraform, "seseorang" itu adalah sebuah kru beranggotakan dua orang manusia dan seekor ayam hermaprodit yang bisa ngomong. Bersetting pada 2170, tepat 200 tahun dari peluncuran Voyager, cerpen ini berkisah tentang misi kecil untuk mencegat dua relik dari masa awal penerbangan luar angakasa. Di masa itu, voyager sudah kalah jauh dari pesawat luar angkasa yang bisa sampai galaksi lainnya.

Lantaran Voyager dibuat untuk mencapai bintang lain, wahana ini bakal selamanya jadi pembuka jalan bagi pengelana galaksi setelahnya, termasuk misi Breakthrough Starshot yang sedang ramai dibicarakan. Misi ini diumumkan tahun lalu oleh fisikawan kenamaan Stephen Hawking dan milyader Yuri Milner.

Iklan

Hawking dan Milner berencana menembakkan laser ke arah nanocraft "starchip"—chip komputer yang ditempelkan pada layar yang sangat sensitif dengan cahaya—untuk menghantarkan mereka sampai ke sistem bintang Alpha Centauri. Tapi meski kedengarannya futuristik abis, metode ini belum bisa digunakan untuk memindahkan manusia. Seiring makin jauhnya jarak antara Matahari dan Voyager bersaudara, sebuah pertanyaan muncul: kapan manusia bisa mengikuti langkah Voyager bersaudara menuju sistem binytang lain?

Jawabannya mungkin tak akan pernah. Pedih memang. Sampai sekarang kreativitas manusia menciptakan wahana untuk mengantar manusia keluar dari tata surya ini sepertinya mentok. Buktinya, opsi lubang cacing, yang muncul di mana-mana dari Intelstellar sampai sampai serial Rick dan Morty, adalah opsi paling populer di antara penulis fiksi sains, barangkali karena ada aspek deus ex machina di dalamnya.

Solusi teknologi buat mendukung perjalanan ruang angkasa macam ini memang belum bisa ditemukan sepanjang Abad 20

Alih-alih berpikir keras mencari cara paling sangkil dan mangkus untuk memindahkan raga kita sejauh beberapa taun cahaya, lubang cacing, yang sejatinya jembatan spekulatif dalam ruang dan waktu antara dua titik yang berjauh, kerap jadi andalan kita sebagai jalan pintas menuju sistem bintang lain. Ide lainnya yang hampir sama tuanya adalah kendaraan angkasa yang lebih cepat dari cahaya, seperti yang terlihat dalam serial space opera Battlestar Galactica. Masalahnya, keduanya masih sekadar spekulasi. Kita tak pernah tahu apakah keduanya bisa dimaksimalkan sebagai jalan pintas perjalanan antar bintang.

Iklan

Dengan kata lain, opsi yang masih terbuka adalah perjalanan yang pelan dan mungkin indah seperti yang dilakoni Voyager 1 dan Voyager 2. Sebenarnya ini bukan berita yang buruk-buruk amat. Bahkan dengan keterbatasan ini, masih ada ratusan konsep spekulatif tentang wahana antar bintang berpenumpang dengan beragam kemungkinan teknis.

Sleeper ship, misalnya, bisa membawa sekompok kru manusia dalam kondisi mati suri. Dengan demikian, kebutuhan untuk membawa segala macam peralatan penunjung hidup bisa dikurangi. Ada juga konsep Generation Ship yang didesain untuk ditinggali satu koloni manusia selama beberapa abad atau bahkan milenium setelah diluncurkan dari Bumi menuju bintang lainnya. Sementara Seed Ship adalah wahana luar angkasa yang sepenuhnya dijalankan robot yang membawa embrio manusia. Seed Ship diluncurkan menuju sistem bintang jauh. Begitu sampai di sana, embrio manusia bakal diinkubasi dan—menurut teori—dibesarkan oleh robot pengasuh.

Masing-masing opsi menyuguhkan tantangan teknis yang begitu besar hingga tak mungkin diwujudkan dalam angka harapan hidup abad 20. Tetapi sepert yang disinggung oleh Fernández-Flores dalam cerpennya, angka harapan hidup pada abad 21 dan 22 telah meningkat drastis, melampui tingkat Methulesah. Penggambaran ini, beserta isi cerita yang membahasa transhumanisme (atau malah transchickenisme), memancing munculnya sebuah pertanyaan besar seputar peradadan manusia dalam dimensi interstellar: Siapa yang pantas kita sebut sebagai manusia pasca Matahari?

Iklan

Filsuf yang mendalami pertanyaan tentang masa depan manusi, Frank White yang juga penulis The Overview Effect : Space Exploration and Human Evolution, menggunakan istilah homo spacien untuk menyebut bagian umat manusia yang menjelajahi angkasa luar dan terbiasa hidup di sana atau bahkan di planet asing. Salah satu contohnya adalah kaum belter dari serial novel dan TV The Expanse yang terbiasa hidup di tempat minim gravitasi sehingga ketika kembali ke Bumi, mereka akan mengalami "siksaan gravitasi."

Istilah Homo Spaciens dengan mantap menegaskan bahwa perjalanan antar bintang adalah bagian dari evolusi manusia. Kelak, di masa depan, manusia bakal benar-benar berangkat dalam misi menuju bintang lain guna menemukan kehidupan lain yang tak harus mirip dengan manusia. Selain perubahan drastis gen yang terjadi dalam skala kosmis, nilai-nilai kultural dari peradaban manusia perjalanan antara bintang akan sangat berbeda dari peradaban teresterial.

Rekaman Voyager. Sumber gambar: NASA

Yang mengesankan adalah pencipta Voyager 1 dan 2 punya pandangan jauh ke depan. Kedua wahana dijadikan kenang-kenangan peradaban manusia pre-perjalanan antara bintang. Masing-masing wahana Voyager dilengkapi Golden Record, sebuah fotograf berisi "115 gambar berformat analog, ucapan salam dari beragam bahasa dan soundscape sepanjng 90 menit," begitu Fernández-Flores menjelaskannya.

Program Voyager adalah misi penjelajahan langka yang tak hanya bertujuan mendefinisikan kemanusiaan di semesta sekitarnya namun juga menafsirkan identitas kita sebagai penghuni Bumi secara eksplisit. Bahkan setelah kedua Voyager tetap melayang dalam sunyi, kenangan akan Bumi dan penghuni akan terus beredar jauh dari planet yang kita tinggali. Mungkin, kelak ada spesies alien yang menemukan voyager dan mendapatkan harta berharga di dalamnya: cuplikan peradaban di sebuah planet biru kecil yang mengorbit sebuah bintang katai kuning.

Tapi, bisa saja, seperti dikisahkan Fernández-Flores, spesies alien itu adalah keturuan kita di masa depan.