Penyebab Emosi

Cuaca Panas Terbukti Bikin Orang Gampang Emosian

Kalau temanmu sensi banget, lihat-lihat deh dia keringetan atau enggak...
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
Cuaca Panas Terbukti Bikin Orang Gampang Emosian
Foto ilustrasi oleh David Leahy / Getty Images 

Tak seperti di luar negeri, musim kemarau kurang disukai orang Indonesia. Cuaca terik dan gersang bikin siapa pun malas pergi ke mana-mana. Baju langsung lepek sama keringat, padahal baru keluar sebentar. Bawaannya kepingin marah-marah aja kalau sudah kelamaan kejemur matahari.

Sejak 1970-an, psikolog sosial telah mempelajari banyak korelasi antara cuaca panas dan sifat kurang ramah. Ada yang enggak sabaran pencet klakson, lebih agresif saat berolahraga, dan menyerang orang-orang yang bikin mereka emosi.

Iklan

Dalam riset terbitan European Journal of Social Psychology, peneliti Liuba Belkin dan Maryam Kouchaki menemukan suhu panas juga bisa membuat kita ogah bantuin orang lain. Kedua associate professor manajemen di Lehigh University dan Northwestern tersebut memiliki latar belakang psikologi organisasi. Mereka melakukan penelitian dalam tiga bagian untuk melihat efek suhu sekitar terhadap perilaku “prososial”, yaitu membantu dengan ikhlas.

Pada bagian pertama, Belkin dan Kouchaki membandingkan data arsip dari rantai ritel besar di Moskow yang menjual perlengkapan perjalanan dan barang-barang kulit. Perusahaan tersebut meminta sejumlah orang menyamar sebagai pembeli untuk mengamati dan melaporkan perilaku customer service (layanan pelanggan). Pada 2010, wilayah Eropa dan Rusia mengalami “mega-heatwave”—yang suhunya mencapai 37 derajat Celsius—dan diperburuk oleh infrastruktur Moskow yang saat itu kekurangan AC sentral. Datanya dibandingkan dengan laporan musim panas 2011 di Moskow yang suhunya cuma 22 derajat Celsius.

Ketika peneliti membandingkan data 2010 dan 2011, mereka mendapati perbedaan mencolok saat “mega-heatwave”. Cuaca yang panas membuat pekerja sales 50 persen lebih enggan membantu pelanggan. Perilaku-perilaku yang dinilai yaitu seperti menyapa, menawarkan bantuan, mendengarkan secara aktif, dan memberikan saran kepada pelanggan. Akan tetapi, Belkin dan Kouchaki tak bisa menemukan penyebab pastinya—apakah lelah karena kepanasan, meningkatnya emosi, menurunnya sifat positif, atau gabungan dari ketiganya?

Iklan

Dalam studi kedua, peneliti berusaha menemukan jawabannya. Mereka melakukan eksperimen daring yang diikuti 160 orang bayaran. Peserta dibagi menjadi dua kelompok. Grup pertama diminta “mengingat momen terpanas yang pernah mereka rasakan” (dengan bantuan gambar orang sedang kegerahan). Kelompok lain cuma disuruh mengingat peristiwa sehari sebelumnya. Peserta kemudian menjawab pertanyaan trivia mudah, dan mengisi kuesioner tentang tingkat kelelahan yang dirasakan serta perasaan negatif dan positif. Pada akhir penelitian, peserta harus menyelesaikan survei singkat tambahan untuk proyek baru. Mereka enggak dapat bayaran lebih.

Pada akhir percobaan, hanya 44 persen peserta kepanasan yang bersedia mengisi survei tambahan, dibandingkan dengan 76 persen pada kelompok kontrol. Grup pertama juga melaporkan tingkat kelelahan lebih tinggi dan “perasaan positif” yang menurun. Akibatnya, menurut peneliti, ini memengaruhi prososialnya. Mereka malas menyelesaikan survei.

Untuk menguji hipotesis secara lebih langsung, peneliti melakukan percobaan ketiga pada dua kelompok mahasiswa S1 di sebuah universitas. Mereka semua mengambil mata kuliah manajemen dan diajarkan satu dosen, tetapi beda kelas di hari yang sama. Dosen mengajar di kelas tanpa AC (26 derajat Celsius) dan ber-AC (20 derajat Celsius). Setelah selesai mengajar, dosen meminta mahasiswa di kedua kelas untuk mengisi sisa waktu mereka dengan melengkapi survei opsional untuk organisasi nirlaba yang membantu anak-anak kurang mampu di sekelilingnya. Mereka bebas menjawab berapa saja dari 150 pertanyaan.

Iklan

Hasilnya bisa diprediksi. Mahasiswa di kelas panas ogah-ogahan mengisi survei (36 persen anggota meninggalkan kelas tanpa menjawab satupun pertanyaan, dibandingkan 5 persen mahasiswa di kelas ber-AC). Di antara mereka-mereka yang tetap di kelas, mahasiswa di ruangan tanpa AC rata-rata menjawab 6 pertanyaan. Sementara itu, mereka yang ada di kelas satunya lagi rata-rata mengisi 35 pertanyaan. Mahasiswa yang mengaku lemas cenderung menjawab lebih sedikit.

Dalam kesimpulan, Belkin dan Kouchaki menggunakan teori “konservasi sumber daya” untuk menjelaskan temuan mereka. Suhu panas membuat orang gampang lemas dan menurunkan sumber daya. Perasaan positif, yang bisa mendorong kemauan untuk menolong, juga berkurang. Intinya, kalian tak ada niatan membantu orang lain kalau sedang kegerahan dan kepanasan.

“Inti penelitian kami adalah suhu di sekitar memengaruhi keadaan individu yang membentuk reaksi emosional dan perilaku,” kata Belkin kepada Quartz. “Orang jarang memberikan bantuan di situasi yang kurang nyaman, tak peduli apa alasannya.” Jadi kalau temanmu tiba-tiba bete pas lagi jalan, mungkin sebenarnya dia sedang kegerahan. Enggak usah langsung tersinggung.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.