FYI.

This story is over 5 years old.

Idul Fitri

Trump Rusak Tradisi, Tak Gelar Buka Puasa dan Ucapkan Selamat Idul Fitri

Dia presiden AS yang sama sekali tak membangun komunikasi dengan umat muslim dalam 20 tahun terakhir. Padahal acara buka puasa Gedung Putih dimulai sejak 1805.
Foto oleh Cheriss May/NurPhoto via Getty Images

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Pemandangan kontras nampak dari pemimpin Amerika Serikat dan Kanada selama Ramadan hingga perayaan Idul Fitri akhir pekan lalu. Mari kita mulai dulu dari kanada. Perdana Menteri Justin Trudeau mengikuti pawai LGBTQ Toronto's Pride yang digelar awal pekan ini, tertangkap kamera mengenakan kaos kaki yang bertuliskan 'Eid Mubarak' alias 'Selamat Idul Fitri'! Mendatangi pawai LGBTQ sambil memberi ucapan selamat simbolis pada komunitas muslim itu kurang progresif gimana coba?!

Iklan

Sebaliknya, warga AS yang progresif harus gigit jari. Tahun ini, Donald Trump sama sekali tidak memberi gestur bersahabat pada komunitas muslim negaranya. Dia mengakhiri tradisi menggelar buka puasa Ramadan dan memberi ucapan selamat Idul Fitri, yang selalu dipertahankan orang nomor satu Negeri Paman Sam dalam 20 tahun terakhir.

Padahal tradisi merangkul umat muslim ini dijalankan baik oleh presiden dari Partai Republik maupun Demokrat. Satu-satunya yang dilakukan pemerintahan Trump hanya menerbitkan ucapan selamat buka secara tertulis menjelang berakhirnya Ramadan, lalu disebar ke media-media. "Muslim di Amerika Serikat bergabung bersama saudara-saudara seiman dalam bulan suci ini untuk memperbaiki amal dan ibadah," tulis juru bicara Gedung Putih. "Melalui semangat Ramadan, umat muslim akan lebih giat membantu sesamanya serta menyebar cinta kasih, dan niat baik. Amerika Serikat mendukung nilai-nilai tersebut."

Ucapan anak buah Trump tersebut, sangat impersonal dan terasa kering. Bandingkan misalnya Barack Obama atau George W. Bush yang selalu mengundang perwakilan pemuka agama Islam buka bersama di Gedung Putih tiap tahun. Trump sendiri yang memerintahkan staf kabinet untuk tak perlu meneruskan acara iftar di kantor mereka.

Walaupun buka puasa dan ucapan Idul Fitri baru rutin dilakukan Presiden AS 20 tahun terakhir, namun tradisi menghormati pemeluk Islam telah berakar jauh sebelumnya. Acara buka puasa bersama digelar pertama kali oleh Presiden Thomas Jefferson pada 1805. Saat itu sang presiden AS menjamu Duta Besar Tunisia, Sidi Soliman Mellimelli. Selanjutnya acara buka puasa kerap digelar mengundang tamu negara, namun sifatnya tidak wajib. Sementara sosok yang berjasa menggelar buka puasa di Gedung Putih besar-besaran adalah mantan Ibu Negara Hillary Clinton. Pada 1996, ketika suaminya Bill Clinton menjabat, Hillary yang mengusulkan agar kantor presiden AS mengundang 150 orang perwakilan ulama, komunitas, dan anak yatim untuk makan malam saat buka puasa maupun setelah Idul Fitri.

Iklan

Tanda-tanda ramadan di Gedung Putih akan sepi sudah muncul sejak Mei lalu. Dilaporkan Kantor Berita Reuters, Menteri Luar Negeri Rex Tillerson secara terbuka menolak ide menggelar buka puasa maupun makan malam merayakan Idul Fitri seperti tradisi dua dekade terakhir. Kepada para dubes yang bertugas di negara-negara mayoritas muslim, Kemenlu AS menyatakan mereka tidak harus mengundang tamu negara makan-makan. "Kami mendorong setiap dubes untuk mencari cara merayakan Idul Fitri melalui bermacam cara."

"Berakhirnya tradisi mengundang komunitas muslim ke Gedung Putih ini cukup mengecewakan," kata Imam Talib Shareef dari Masjid Jami Washington D.C saat diwawancarai Newsweek. "Tradisi ini sebetulnya bagus untuk mempererat hubungan antara pemerintah AS dan warga muslim."

Menurut Talib, menghentikan tradisi makan-makan maupun mengucapkan selamat pada umat muslim yang merayakan Idul Fitri hanya menambah reputasi buruk sikap Kabinet Trump terhadap pemeluk Islam seluruh dunia. Trump sejak awal tahun ini rutin dikecam sebagai pemimpin dunia yang Islamofobik, karena ngotot melarang masuk imigran muslim dari enam negara Timur Tengah atas alasan menghindari risiko memasukkan calon teroris.

"Menghentikan tradisi presiden AS sebelumnya dengan komunitas muslim ini mengherankan, padahal [Presiden Trump] tampaknya masih punya cukup waktu luang untuk main golf dan melakukan kegiatan lainnya," imbuh Imam Talib. "Kebijakan ini menandakan kami, para pemeluk agama Islam di Amerika Serikat, dianggap tidak penting."