FYI.

This story is over 5 years old.

Menolak Anak

Mengenal Gerakan Anti Kelahiran Anak, Penganutnya Ingin Manusia Punah Saja

"Saya pendukung musnahnya segala hal karena saya pikir kesadaran memicu penderitaan bagi semuanya—manusia ataupun hewan,” kata seorang penganut antinatalisme.
Foto ilustrasi oleh Sergey Filimonov via Stocksy.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Beberapa dari kita mungkin pernah adu mulutt sama orang tua lalu kelepasan ngomong “emang aku pernah minta dilahirin dulu?” Ucapan macam ini biasanya keluar begitu saja tanpa kita pikirkan betul-betul. Wajarlah, namanya juga lagi adu mulut. Tapi, coba deh sekali-sekali kamu pikirkan betul-betul pernyataan tersebut. Apa jadinya kalau orang tuamua memang sejak awal menolak punya anak lantaran mikir dunia sudah kadung kacau balau dan membesarkan anak adalah keputusan keliru. Dua pertanyaan tadi bakal membawa kita pada kemunculan antinatalisme, sebuah cabang filsafat yang awalnya tak begitu dikenal namun belakangan baru mulai ramai diperbincangkan di internet. Kendati keputusan buat tak punya anak makin umum belakangan (buktinya jumlah perempuan yang memutuskan tak punya anak negara-negara Barat makin tinggi dari hari ke hari), antinatalis—sebutan penganut aliran pemikiran ini—berpikir lebih jauh dari sekadar menolak punya anak karena alasan personal atau dalih-dalih yang ada hubungannya dengan lingkungan hidup. Mengacu pada forum Reddit /r/antinatalism, kaum antinatalis bahkan "memberi cap negatif pada proses kelahiran manusia” serta yakin bahwa dunia ini sudah kelewat penuh dengan penderitaan. Alhasil, menurut mereka, tak adil bila kita melahirkan seorang anak dan memaksanya hidup dalam dunia sudah menyebalkan ini.

Iklan

Pada prinsipnya, kaum antinatalis mendukung kepunahan manusia.

Pemilik akun Twitter @Roxxane_cams, seorang netizen berumur 36 tahun yang kerap dipanggil Luara, adalah salah satu penganut antinatalisme yang paling vokal di Internet. Selain ngetweet saban hari tentang antinatalisme, dia juga kerap terlibat twitwar sambil menjalani hari-harinya bekerja sebagai seorang camgirl. “Saya mungkin satunya-satunya antinatalist di dunia yang bekerja sebagai model webcam,” katanya sambil tertawa. “Saya doyan berdebat tentang antinatalisme di internet.” Seperti orang lain yang saya wawancarai untuk penulisan artikel ini, dia sudah berpikir tak memiliki anak jauh-jauh hari sebelum mengenal antinatalisme. “Dari kecil saya sudah emoh punya anak,” ungkapnya. “[Tapi] saya sadar bahwa pemikiran macam itu bisa lebih diperdalam lagi. Enggak punya anak bukan cuma agar kita punya uang dan waktu leha-leha yang berlebih..dari dulu saya merasa kalau hidup kita ini enggak baik-baik saja.” begitu dirinya menemukan antinatalisme lewat sebuah percarian google, Laura menganku bahwa antinatalisme “merangkum segala yang pernah saya rasakan seumur hidup.”

Menurut Kenqwi, seorang moderator di /r/antinatalism, mayoritas antinatalis mulai mengenal cabang pemikiran filsafat ini dengan cara nyaris sama. “Anggota baru biasanya menulis pengakuan bahwa mereka sangat lega akhirnya menemukan istilah untuk apa yang selama ini mereka rasakan,” katanya. “Sampai saat ini, kamu punya 4.000 subscribers. Angka ini masih relatif kecil, tapi komunitas kami sangat aktif.”

Iklan

Rust Cohle (Matthew McConaughey) di serial 'True Detective' sebagai contoh manusia menolak kelahiran. Screencap via YouTube

Istilah "antinatalisme" pertama kali diusulkan oleh David Benatar, seorang profesor filsafat di University of Cape Town, sekaligus pengarah buku penting tentang pemikiran antinatalisme, Better Never to Have Been. kendati awalnya tak begitu populer di lingkaran filsafat, antinatalisme sontak populer setelah penulis skenario serial True Detective, Nic Pizzolatto, mengaku terpengaruh oleh antinatalisme saat membentuk karakter detektif Rust Cohle. "Dari satu sisi, serial itu telah berjasa besar—lebih dari apapun—dalam mempopulerkan antinatalisme,” ujar Paul Ennis, asisten profesor filsafat di University College Dublin. "Dulu, penganut pemikiran ini biasanya cuma nangkring di pojokan perpustakaan yang berdebu. Sekarang, transkrip-transkrip pemikiran mereka bersliweran di Reddit.” Mereka kini doyan mengagih gift-gift Cohle atau cuplikan adegan detektif yang diperankan Matthew McConaughey itu nyerocos tentang betapa kesadaran manusia adalah sebuah kesalahan.

meski antinatalisme menawarkan semacam renungan bagi calon orang tua tentang bagaimana hidup anak mereka di masa depan, pertanyaan yang paling mengganjal dan wajib banget diajukan pada penganut antinatalisme: kenapa sih harus memusnahkan manusia? Kenapa tidak, misalnya, menganjurkan populasi manusia yang jauh lebih kecil? “Saya pendukung musnahnya segala hal karena saya pikir kesadaran memicu penderitaan bagi semuanya—manusia atau hewan,” kata Laura. “Saya paham ini kedengarannya kurang realistis. Tapi saya tak setuju dengan proses penciptaan karena sebenarnya kita sedang berjudi dengan kehidupan seseorang.” seorang antinatalist lainnya yang memperkenalkan dirinya sebagai Charlotte mengatakan bahwa kepunahan adalah jalan yang lebih “manusiawi bagi manusia dan manusiawi bagi lingkungan hidup.”

Iklan

Sejatinya, komunitas antinatalist tak memiliki pendirian politik tertentu, Kenqwi menjelaskan bahwa “kebanyakan antinatalist cenderung apolitis karena mereka punya masalah dengan kehidupan itu sendiri dan tak percaya ada sejenis yang bisa membereskan kehidupan manusia.”—kendati begitu, beberapa tema kekinian seperti enviromentalisme, hak-hak reproduksi dan ketakutan-ketakutan yang dirasakan oleh penduduk AS pasca Donald Trump jadi presiden kerap diperbincangkan di forum antinatalisme.

Awalnya, saya merasa pemikiran ini menyedihkan, tapi setelah menyaksikan perkembangan politik dan dunia beberapa tahun ini, saya makin tertarik dengan antinatalisme.

Savannah, 21 tahun, tak pernah sekalipun mendambakan seorang anak. Dia mengenal antinatalisme setelah bertemu lelaki yang kini jadi suaminya. “Awalnya, saya pikir pemikiran ini menyedihkan, tapi setelah apa yang terjadi beberapa tahun ini di kancah perpolitikan dunia, saya makin tertarik dengan cabang filsafat yang satu ini.” Savannah tinggal di Kentucky yang konservatif. Dia kesusahan hidup di tengah budaya antiaborsi sekitarnya. "Ada kelakar yang bilang bahwa dalam hidup kita cuma perlu bayar pajak dan mati—kini rasanya, kita harus bayar pajak, punya anak dulu, baru mati,” katanya sambil mendesah. Baru-baru ini, suami Savannah berhasil menemukan seorang dokter yang berkenan melakukan prosesi vasectomy padanya, setelah dokter-dokter sebelumnya menolak karena menganggap suami Savannah akan “berubah pikiran.” Dua sejoli ini malah sudah menyiapkan sebuah pesta meriah untuk merayakan vasectomy pada suami Savvannah. “Kami akan minum champangne, wine dan makan keju. Kami akan merayakan vasectomy ini dengan minum-minum. Sayangnya, keluargaku sangat ingin menjaga garis keturunan keluarga. Orang tua saya ingin cepat punya cucu. Susah sekali ngomong masalah ini dengan mereka.” Kawan dan kerabat bukan satu-satunya pihak yang sudah diajak ngobrol bagi para antinatalis. Mudah ditebak, kaum antinatalist kerap jadi sasaran perisakan daring. Laura dan Charlotte mengatakan bahwa bentuk rundungan yang paling sering mereka terima adalah kalimat “kenapa kalian enggak sekalian bunuh diri saja sekarang?”

Iklan

“Cara kaum pro-kelahiran merespons pemikiran kami menunjukkan kalau mereka tak punya empati pada sesama manusia,” kata Laura. “Bunuh diri itu menyakitkan, dan kebanyakan kaum antinatalis tak mau itu terjadi di keluarga kami. Kami tak ingin menambah-nambah penderitaan di dunia ini.”

Sayangnya, depresi dan kecenderungan bunuh diri justru kerap ditemui dalam komunitas antinatalist, meski pada anggota yang kelihatannya baik-baik saja. “Kesan yang saya dapatkan sih, anggota komunitas kami kebanyakan suicide positive. Kira-kira begitulah,” ujar Kenqwi. "Pasalnya, kami punya semacam konsensus kalau karena kami tak punya pilihan saat dilahirkan, setidaknya kami harus punya hak untuk menentukan apa kami ingin mati dan kapan kami akan mati.”

Charlotte menambahkan: "Menurut saya, pengidap depresi menemukan sisi-sisi menarik dari antinatalisme karena di sinilah mereka pertama kali mendengar orang ngomong ‘cara pandang kalian terhadap dunia itu sudah benar.’ Padahal, kamu tak perlu depresi dulu untuk memahami antinatalisme. Tetap saja, menurut saya, seseorang yang mengalami depresi adalah seorang realist betulan. Sepertinya, budaya kita meminggirkan pengidap depresi tanpa berusaha mendengar jalan pikiran mereka. Kita biasa berpikir ‘ada yang tak beres dari kamu, ayo kita obati.’” Tapi bukankah terus-terusan melihat kehidupan sebagai sesuatu yang menyakitkan butuh perjuangan tersendiri? “Memang tak gampang punya cara pandang seperti ini,” aku Charlotte. “Susah untuk tak tenggalam dalam kegalauan. Namun, cara pandang ini membuat saya terbiasa menghargai hal-hal kecil—seperti segelas teh atau jalan-jalan santai menikmati pemanangan—karena saya tak berusaha mencapai tingkatan kebahagiaan yang lebih tinggi. Saya enggak repot-repot memikirkan apa yang bakal saya wariskan. Saya tahu hidup itu tak ada artinya.”

Ennis mengatakan dirinya tak fanatik pada antinatalime. Sebagai cabang filsafat, dia pesimis ideologi tersebut bakal membantu hidup penganutnya. “Justru yang lebih menguntungkan adalah hal-hal yang membuat kita lupa akan antinatalisme,” terangnya. “Ada suatu hal yang agak menyeramkan bila kita terus-terus berpikir tentang betapa tak berharganya hidup ini. Meski begitu, saya paham betul impuls yang membuat kita terus-menerus berpikir demikian. Ada kalanya kami merasa tenang lantaran sadar pemikiran macam ini dimiliki oleh banyak orang.” Psikoterapis sekaligus konsultan pernikahan Hilda Burke mengatakan setiap dirinya menemukan klien menunjukkan gelagat berpikir ala penganut antinatalisme, dia akan menggali lebih dalam apakah ini ada kaitannya dengan trauma yang pernah dialami sang klien. “Di satu sisi, antinatalisme sepintas mirip Budhisme—dua-duanya percaya bahwa hidup adalah penderitaan,” katanya. “Tapi, ini juga cara kurang dewasa dalam memandang dunia; cara pandangnya sangat hitam dan putih. Segala bentuk ekstremisme memang patut diwaspadai.”

Masalahnya, penganut antinatalisme yang saya temui keukeuh bahwa mereka tak akan mengubah cara pandang mereka akan dunia. “Saya mencoba menggunakan sudut pandang lain, tapi sekali kamu melihat dunia seperti semestinya kamu tak akan berubah pikiran,” Laura. Sementara itu, Kenqwi mengakui dia ingin lepas dari antinatalisme. "Saya berusaha mencari cara untuk menyingkiran pemikiran antinatalisme. Saya terus mencari argumen kaum pro-natalist yang kira-kira bakal menyakinkan saya untuk berubah pikiran. Karena jujur saja, menjadi penganut antinatalisme itu berat. Penganutnya selalu kesepian.”