Kondisi Menyedihkan Kamp Pengungsi di Katsikas yang Mulai Dilupakan

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Kondisi Menyedihkan Kamp Pengungsi di Katsikas yang Mulai Dilupakan

Sukarelawan sudah pergi. Perhatian dunia mulai beralih menyoroti terpilihnya Trump atau isu Brexit. Sedangkan di kamp pengungsian Katsikas, perbatasan Yunani-Turki, temperatur lebih rendah dari nol derajat. Harapan penghuninya perlahan pupus.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Lampu natal tergantung pada setiap pohon magnolia sepanjang jalanan utama Ioannina, kota yang memiliki beberapa universitas di wilayah Epirus, barat laut Yunani. Kios-kios kosong yang mudah ditemukan, menjadi bukti krisis ekonomi masih menghantui negara itu. Pusat kota berpenghuni lebih dari 100.000 orang ini—letaknya di sisi sebuah danau berlatar gunung mahkota salju—adalah sebuah kawasan yang ramai bar dan restoran yang tak pernah sepi.

Iklan

Arahkan langkah anda keluar kota, tepatnya delapan kilometer ke arah selatan dari Ioannina, anda akan segera sampai ke kamp pengungi Katsikas. Cahaya penerangan dari kamp ini lumayan menerangi langit bulan Desember. Katsikas didirikan pada bulan Maret 2015 di sebuah area militer yang tak lagi digunakan. Segera setelah didirikan Kamp ini langsung dipadati oleh pengungsi yang sudah mempertaruhkan nyawanya, menyebrangi lautan dari Turki menuju kepulauan Yunani. Mereka adalah kelompok pengungsi terakhir yang mencapai Yunani sebelum kesepakatan antara Uni Eropa dan Turki dibicaran. Isi kesepakatan ini secara praktis menutup rute menuju dataran Eropa. Dengan tertutupnya rute ini, Yunani telah jadi tempat menunggu bagi sekitar 60.000 orang yang hidup terkatung-katung, menunggu aplikasi suaka mereka diiproses dalam program relokasi Eropa yang berjalan secepat keong berpindah tempat.

Seiring berakhirnya masa-masa darurat dan begitu dominannya pemberitaan tentang Brexit dan kemenangan Trump di media massa internasional, situasi yang menyedihkan di Yunani perlahan mulai absen dari perhatian publik.

"Sampai akhir 2015, bantuan yang kami terima masih melimpah," kata Mimi Hapig, seorang sukarelawan di Katsikas. Mimi bekerja untuk organisasi kemanusiaan Jerman, Soup and Socks. "pembicaraan tentang pengungsi yang berdatangan ke Eropa mencari suaka bisa ditemukan di mana-mana. Masalahnya, memelihara perhatian dan kesadaran publik terhadap isu ini bukan perkara gampang."

Iklan

Temperatur di kamp anjlok sampai di bawah nol derajat di malam hari.

"Antara April dan Juli, ada banyak sukarelawan datang ke kamp—jumlahnya bisa mencapai 100 orang tiap bulannya. Donasi juga deras mengalir di bulan-bulan tersebut," ujar Stephanie Martinez, seorang sukarelawan lainnya yang membantu mendirikan sekolah di Katsikas. "Namun memasuki Oktober, ketika perhatian dunia tertuju pada pilpres Amerika Serikat, pemberitaan kondisi pengungsi nihil, dan jumlah sukarelawan makin menurun dari hari ke hari."

Kondisi ini diperparah cuaca tak bersahabat di Yunani selama musin dingin. Kehidupan makin berat bagi mereka yang terpaksa tertahan dalam kamp. Temperatur anjlok sampai jauh di bawah nol derajat saban malam hari.

Perdana Menteri Yunani, Alexis Tsipras, menyebut negara yang dipimpinnya sebagai "gudang penampung jiwa-jiwa yang tersesat." Sebuah frase menggugah, meski tak seluruhnya menggambarkan apa yang terjadi di Katsikas. Ini mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Yannis Anagnostou, psikolog yang bekerja untuk Médecins du Monde, dalam percakapan di sebuah kabin portabel fasilitas medis di katsikas. "Para penghuni adalah penyintas. Mereka adalah orang-orang yang kuat. Skill adaptasi mereka lebih hebat dari yang saya miliki." Nestapa terasa dalam udara yang saya hirup di Katsikas, tempat ini toh tak penah kehabisan stok semangat, ketekunan, humor, serta rasa bersyukur dari para penghuninya.

Di daerah pegunungan Yunani inilah ketidakpastian terus menggantung, memenuhi isi kepala pengungsi dan para sukarelawan yang datang membantu. Rumor dan misinformasi jadi makanan pokok sehari-hari. Dalam situasi seperti ini, hidup di Katsikas adalah serangkaian improvisasi dari waktu ke waktu.

Iklan

Pengungsi yang terdampar di Katsikas tak tahu kemana dan kapan mereka akan pergi.

Tak hanya para pengungsi, penduduk setempat merasakan hal yang sama. Spiros Kapsalis, seorang pengendara taksi yang mengantar saya ke Katsikas, punya kartu nama bisnisnya. Ada lambang Mercedes di kartu itu. Belakangan, katanya, dia juga nyambi jadi supir bus agar dapurnya tetap ngebul. Dia memiliki solidaritas terhadap mereka yang  hidup di Katsikas, merasakan ketidakberdayaan para pengungsi, serta nestapa yang mereka karena terpisah dari anak-anak. "Mereka harus hidup, mereka harus mendapatkan pekerja agar bisa hidup damai," kata Kapsalis melirik spion mobil. Sikap ramah pengungsi sebetulnya banyak dimiliki oleh penduduk Yunani, terutama di wilayah seperti Katsikas yang tak dikuasai oleh partai sayap kanan anti-imigran Golden Dawn.

Meski semua pihak—mulai dari tentara Yunani, agensi pengungsi PBB, Oxfam, hingga Organisasi Pengungsi Internasional serta LSM-LSM kecil lainnya—telah berusaha sepenuh tenaga, Katsikas masih kesulitan memenuhi standar kelayakan bagi ribuan pengungsi yang tinggal di sana selama sembilan bulan. Ketika pertama kali pengungsi turun dari bus dari Athena, setelah mengarungi laut dalam perjalanan yang menegangkan, mereka diarahkan menuju tenda-tenda tentara tanpa fasilitas penghangat tenda dan selimut semenjana. Hari lantas berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan, pengungsi di Katsikas tak kunjung beroleh kepastian kemana dan kapan mereka akan pergi.

Tenda tentara yang ditempati pengungsi sangat dingin malam hari dan sebaliknya, jadi neraka kecil yang panas di singa hari. Makanan yang disuplai oleh kontraktor tentara makin menyedihkan. Katsaki terletak di sebuah wilayah yang penuh batu tajam. Berjalan di Katsika adalah sebuah siksaan tersendiri.

Iklan

Dalam beberapa hal, kamp pengungsi di Yunani mirip dengan kondisi gerbong London Tube di pagi hari. Keduanya diisi berbagai orang dengan berbagai latar belakang. Pekerja pabrik, penulis puisi, pelayan toko, insinyur, mahasiswa, hingga pekerja bangunan. Dalam sebuah ironi yang menyesakkan, saya mendapat kabar bahwa mantan Menteri Pariwisata Suriah juga berakhir di Katsikas. Pengungsi di Katsikas adalah sekumpulan orang baik. Sebagian memang dari mereka mungkin tak bersahabat. Sesederhana itu.

Seperti dalam gerbong kereta bawah tanah, semua pengungsi di Katsikas hidup berhimpitan. Tak ada yang nyaman berada di dalamnya. Tak ada otoritas yang jelas dalam kamp. Struktur kekuasan tak resmi mulai tumbuh. Ketegangan dan perpecahan sempat memicu kerusuhan berbasis etnis dan kewarganegaraan. Sampai saat ini, Katsikas menampung penduduk Suriah, Afghanistan dan etnis Yazidi. Musim panas lalu, 450 orang suku Yazidi—mereka terpaksa meninggalkan tanah air mereka di Irak Utara kerena kekejaman ISIS—dipindahkan ke situs lain di sisi lain kota Ioannina setelah merasa terancam dengan keberadaan komunitas Suriah.

April dan Agustus 2016, penghuni Katsikas melakukan protes, mempersoalkan kondisi Kamp dan sedikitnya informasi tentang masa depan pengungsi yang sesungguhnya.

David, warga negara Afghanistan, masih tinggal di tenda setelah sembilan bulan bersama keluarganya terdampar di Katsikas.

Kamp yang saya kunjungi makin lengang beberapa bulan terakhir. Sebagian besar pengungsi kini mendiami kotak-kotak ISO—kontainer yang dialihfungsikan—dan bus reguler yang membawa pengungsi baru kini berhenti di hotel-hotel murah disewa UNHCR. Kebanyakan pengungsi mengantongi tanggal wawancara imigrasi—semuanya dilakukan 2017—untuk menentukan ke negara mana mereka akan direlokasi.

Iklan

Yang masih tersisa hanyalah komunitas Afghanistan, yang setelah sembilan bulan berselang masih tinggal dalam tenda militer, melewati malam-malam yang dingin yang menusuk tulang. Berbeda dengan pengungsi Suriah, pengungsi Afganistan tak berhak ikut program relokasi darurat yang diinisiasi oleh Uni Eropa tahun lalu. Jelas, masa depan mereka masih tak menentu.

Saya ngobrol dengan David. Keluarga David kabur ke Iran, lari dari peperangan yang melanda Afghanistan. Di Iran, David dipecat dari pekerjaannya di bidang farmasi, kemudian dilarang bekerja lagi, apapun profesi yang dilakoninya.

David frustasi sekaligus gusar. Di saat yang sama, janji-janji kehidupan yang lebih baik jika dia bersedia merantau ke Eropa, tak kunjung terpenuhi. "Kenapa? Kenapa?" dia terus bertanya. Pertanyaannya terus berputar. UNHCR menjanjikan bahwa David bakal mendapat satu kontainer. Kemudian, David beroleh janji lain: dia bakal ditempatkan di hotel. Nyatanya, yang didapatkan David cuma sebuah kontainer tanpa listrik. "Yang mereka tolong hanya pengungsi Suriah. Pengungsi Afghanistan dibiarkan telantar. Begitu sikap setiap organisasi kemanusiaan terhadap orang Afghanistan. Entah kenapa. Afghanistan sudah kenyang perang. 15 tahun lamanya perang berkecamuk. Mana pernah mereka menolong kami?"

Di pinggiran Ioannina, dalam sebuah kamp sementara di sebuah sisi bukit—pemandangan paling kentara kamp ini adalah sebuah stasiun pompa bensin— kaum Yazidi dari Irak Utara diminta pindah ke sebuah hotel di Athena dan Thessaloniki oleh UNHCR. Guratan di wajah pemimpin komunitas Yazidi, Ibo, terlihat jelas. Satu tangannya menyisipkan rokok di mulut sementara tangan lain terus memilah tasbeh di antara telunjuk dan ibu jari. Kaum Yazidi—komunitas yang terbentuk di atas perbedaan agama dan budaya—sangat merindukan momen ketika mereka kembali dipersatukan. Hari-hari ini mereka tercecer di seluruh wilayah Yunani. Menurut Ibo, dia sudah memegang janji PBB bahwa mereka akan kembali dipertemukan. Pada saya dia bertanya apakah janji PBB bisa dipegang. Saya mengaku tidak tahu, membalik pertanyaan kembali pada empunya. Ibo cuma menggeleng. Janji-janji kosong sudah kadung jadi makanan sehari-hari baginya.

Iklan

Pemimpin Komunitas Yazidi, Ibo (kanan) di sebuah kamp di Fanoremeni, di pinggir Ioannina.

Berdiri di samping Ibo, terdapat pemuda mengenakan jaket kulit. Tangannya memegang ponsel, sebuah video YouTube tengah tengah dia buka. Pemuda itu menonton siaran berita BBC tentang pertempuran di Pegunungan Sinjar pada Agustus 2014. Selama pertempuran berlangsung, ISIS mengusir suku Yazidi dari kampung halamannya, membantai ratusan orang, dan menculik perempuan Yazidi untuk diperkosa beramai-ramai atau dijual sebagai budak seks. Ibo dan pemuda itu mengajak saya menonton video itu, tepatnya untuk memahami isi beritanya. Video berita ini ditonton dalam sebuah layar ponsel kecil. Kami duduk menonton dalam senyap. Seorang perempuan paruh baya terisak di samping saya.

Saya sempat mengunjungi pertemuan mingguan koordinasi dihadiri semua organisasi di kamp. Pertemuan rutin ini digelar di sebuah hanggar. Mantan walikota Ioannina, Philippos Filios, ikut hadir dalam pertemuan itu. Dalam balutan jas tebal, sang mantan walikota duduk di salah satu hanggar, menghabiskan satu per satu rokok yang dibawanya hari itu.

Georgios Kontakis adalah seorang pria santun berperawakan kekar. Di Katsikas, mantan tentara ini  berperan sebagai manajer kamp. Satu persatu masalah di kamp dibahas dalam pertemuan itu. Tikus yang merajalela. Lampu-lampu yang lupa dimatikan di pagi hari serta pipa-pipa yang membeku. "Semua ini butuh uang," kata Kontakis, kesedihan terasa dalam ucapannya. Masalah terus dibahas. Kini menyoal vaksinasi flu dan hepatitis, yang tak kunjung dilakukan kepada para pengungsi. Sang mantan walikota angkat suara. Yunani tengah krisis obat-obatan, katanya. "Musim dingin segera leawat dan vaksinasi flu sepertinya tak akan bisa dilakukan," ujar Kontakis. Tak jelas apakah ucapan kontakis adalah ekspresi pasrah pada nasib atau sebuah peringatan.

Iklan

Penundaan vaksinasi berefek pada tertutupnya akses terhadap sistem pendidikan di Yunani, yang telah dijanjikan dan menjadi hak pengungsi sesuai yang tertera dalam hukum Uni Eropa. Vaksinasi adalah syarat minimum untuk bisa duduk di bangku sekolah dasar Yunani. Sayangnya, persoalan vaksinasi ini berakhir menjadi sebuah wacana. Seorang wanita perwakilan dari Kementerian Pendidikan Yunani hanya bisa mengangkat bahu saat diberondong pertanyaan tentang kapan akses pendidikan di Yunani dibuka bagi pengungsi.

Di Katsikas, model-model pertolongan pengungsi tradisional hanya berhasil membuat pengungsi sekadar hidup melewati hari. Adalah organisasi independen yang berhasil membuat hidup jadi sedikit menyenangkan bagi mereka yang terdampar di sana. Organisasi-organisasi tentu saja tak bisa sepenuhnya dipercaya dan mumpuni. Namun, mereka punya kelebihan yang tak dimiliki organisasi penolong pengungsi lainnya: mereka bebas dari batasan yang diberikan pemerintah Yunani terhadap organisasi besar di Katsikas.

Mimi Hapig, seorang sukarelawan dari organisasi Soup and Socks.

Soup and Socks, organisasi independen asal Jerman yang sebelumnya pernah mengurus dapur umum di katsikas, kini mengambil alih sebuah bekas showroom furnitur di seberang kamp. Dalam bangunan ini, Soup and Socks menggelar pelatihan pertukangan kayu dan logam bagi para pengungsi.

"Kami menyadari hal ini ketika kami berada di kamp. Banyak orang yang datang pada kami meminta perkakas pertukangan," ujar Mimi Hapif, salah satu sukarelawan Soup and Socks. Dalam workshop yang digelar Soup and Socks, suasananya lebih hidup dan cair, jauh berbeda dari suasana mencekam dalam kamp. Yang jelas, ada keriuhan yang berarti dalam workshop itu.

Iklan

"Kami sepenuhnya sadar bahwa apa yang orang-orang ini dambakan adalah sampai ke negara tempat mereka bertemu sanak saudara mereka atau negera yang mereka bayangkan sebagai sebuah masa depan," tutur Mimi. "Kami tak punya kuasa untuk membuka batas antar negara Eropa. Kami akui kami tidak bisa. Yang kami bisa lakukan adalah memastikan bahwa selama mereka tendampar di sini, mereka bisa mendapatkan skill dan merasa didayagunakan. Intinya, membuat mereka merasa bahwa waktu yang mereka habiskan di sini tidak sia-sia."

Pelatihan pembuatan lilin di Habibi Works.

Di sebuah jalan kampung di sisi lain Ioannina, tak seberapa jauh dari kamp, Stephanie Martinez, salah satu "alumni" dapur umum musim panas di Katsikas yang dikelola Soup and Socks, mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Habibi Centre. Sekolah ini telah berjalan dari Agustus 2016. Stephanie bersama sebuah tim kecil menggelar kelas bahasa Inggris, Matematika, Geografi atau mata pelajaran apapun yang dikuasai sukarelawan yang terlibat dalam Habibi Centre. Sekitar 60 anak pengungsi berusia maksimal 15 tahun menghadiri kelas-kelas yang dijalankan di toko sewaan yang dimodifikasi Stephanie dan kelompoknya. Saya lantas bertanya bagaimana mereka bisa mengelola sekolah di sebuah  lingkungan yang penghuninya tak tahu apa yang terjadi dari hari ke hari.

"Sebagian visi dan tujuan kami dalam menjalani ini semua adalah kami ingin menjadi suatu yang konstan yang selalu tersedia bagi anak-anak pengungsi. Banyak LSM kedatangan sukarelawan baru tiap dua minggu sekali. Ada juga LSM yang datang, membuat proyek selama sebulan, terus menghilang begitu saja. Makanya, kami berusaha menjadi suatu yang konstan. Kami cuma pernah sekali tutup. Satu hari saja.

Iklan

Stephanie Martinez, penggagas Habibi Centre

Sambil duduk di depan sebuah dinding yang dicat warna cerah dan penuh dengan gambar buatan anak-anak pengungsi, Stephanie menceritakan bagaimana dia memulai Habibi Centre Agustus lalu. "Saya tak meminta izin kepada siapapun entah itu UNHCR, UNICEF, atau Oxfam. Saya dapat banyak masalah gara-gara itu," ujarnya. "Kalau saya minta izin, saya bakal kena banyak batasan, saya harus ikut metode mereka. Mereka akan mengatur siapa yang boleh ikut sekolah dan siapa yang tidak. Kami berusaha menyediakan sekolah dan membuat bisa diakses semua orang—anak Yunani juga boleh ikut kok—sekolah gratis dan semua orang boleh datang."

Kedua proyek ini menggantungkan kebutuhan operasional sepenuhnya pada donasi. Kebanyakan datang dari keluarga dan teman-teman para sukarelawan. Bahkan, sukarelawan harus merogoh kocek sendiri untuk bisa sampai ke Katsikas. Sebagian rela kehilangan pekerjaan dan menunda karir mereka demi membantu pengungsi. Hasrat untuk jadi sepenuhnya mandiri muncul karena sukarelawan ini tak mau proyek mereka direcoki permintaan pemisahan berdasarkan suku dan kewarganegaraan murid. Tuntutan seperti ini kerap datang dari berbagai kelompok pengungsi. "Kami ingin struktur sekolah itu seperti struktur sekolah di Jerman yang tak bisa memisahkan murid ke dalam sekolah-sekolah khusus." Masa-masa awal Habibi Centre adalah masa yang berat bagi mereka, kata Stephanie, namun seiring berjalannya waktu dan makin mengerasnya tekad mereka di depan kritik yang mereka terima, ide mereka sudah mulai berterima bahkan di kalangan LSM yang sudah punya nama.

Iklan

Yang kerap menjadi masalah organisasi dalam perkara indepedensi adalah kurangnya mekanisme background check staf mereka, hasrat menjadi lebih besar, dan kekakuan mereka mengikuti protokol bantuan kemanusiaan.  Namun, di tengah situasi yang kacau balau, tanpa kegigihan pegiat LSM, anak-anak pengungsi di Katsikas tak akan pernah mengakses pendidikan dan tak akan merasakan kebahagiaan terutama dalam lima bylan terakhir. Patut diakui bahwa tindakan semasif ini tak bisa dilakukan oleh LSM-LSM sembarangan.

Tetap saja, semua ini ada harganya. Limpahan sukarelawan musim panas datang dengan berbagai macam karakteristik. Saya sendiri mendengar tentang rumor hubungan seksual antara pengungsi dan relawan, tentang "tenda seks" yang dikelola oleh sukarelawan remaja serta tentang seorang sukarelawan yang menyelundupkan satu kelurga pengungsi ke Spanyol. Ada sebuah pertanyaan moral yang harus dijwab di sini: Dalam konteks kegiatan bantuan kemanusiaan, adakah kesamaan status antara mahasiswa berpasport Eropa yang jadi sukarelawan dan seseorang yang terdampar di kamp pengungsi? Kedatangan sukarelawan ke Katsikas membawa serta sikap permisif barat dalam lingkungan muslim.

Elemen-elemen ini mulai menghilang perlahan-perlahan seiring bergantinya musim, dari musim panas ke musim semi. Dari yang saya lihat di lapangan, mereka yang telah lama mengabdikan diri sebagai sukarelawan adalah orang-orang yang luar biasa dan sangat berkomitmen. Energi dan Integritas mereka telah membuat banyak perubahan dalam kehidupan, meski kini mereka sadar sukarelawan lain yang membantu mereka jumlahnya kian menyusut.

Iklan

Di samping itu, kamp pengungsian juga dihantui masalah kerapuhan, perlindungan serta aktivitas yang bersifat predatoris. Beberapa sukarelawan mengaku pernah melihat mobil-mobil yang masuk ke Kamp dan membawa keluar beberapa pemuda. Ada sebuah lokalisasi pelacuran yang terletak setelah kilometer dari Kamp. Ada selentingan yang mengatakan beberapa wanita pengungsi muda dibonceng moped ke arah sana. Sementara itu, di sebuah Kamp di Dolianan, dekat perbatasan dengan Albania, ditengarai ada kasus pelecehan seksual yang terjadi diam-diam. Berbagai LSM besar telah jauh-jauh hari telah menyoroti masalah ini.

Kamp pengungsian, dengan semua penghuninya yang menderita trauma dan merasa tak berdaya, lebih rentan terhadap pelecehan yang kerap terjadi di desa dan kota mana pun di Bumi.

Lighthouse Relief adalah LSM Swedia yang berusaha membuat kamp pengungsian lebih aman ditinggali. Morgan Tipping berasal dari  wilayah barat daya London. Di Katsikas, Morgan bekerja sebagai manajer Female Friendly Space, sebuah area tertutup khusus untuk wanita dan perempuan muda yang menawarkan lingkungan komunal yang nyaman, jauh dari kepenatan kehidupan dalam kamp. Dalam Female Friendly Space, mereka bisa menikmati berbagai macam kelas, dari yoga, fitnes, melukis, membuat perhiasan, hingga menjahit. Bagi Morgan, hubungan dengan komunitas lokal mutlak diperlukan. Dia pernah menggelar sebuah pameran karya Toni, pelukis Kurdi, di Ioaninna. Selama tinggal di Katsikas, Toni telah menghasilkan puluhan lukisan.

Iklan

"Dalam pikiran saya, target yang perlu kita capai adalah integrasi sepenuhnya dalam kehidupan ala Eropa," imbuh Morgan.

Morgan kini tengah membantu persiapan pameran karya seorang insinyur elektronik Firas. Pameran yang akan digelar di sebuah venua di Ioannia ini akan memajang berbagai hasil yang karya yang menunjukkan talenta para pengungsi dalam bidang artistik dan kerajinan tangan.

Firas menyarankan saya untuk menemui Abdullah, seorang guru dan penulis puisi dari Aleppo. Abdullah telah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak. Selama tinggal di Katsikas, Abdullah berhasil menelurkan novel pendek tentang kehidupan di kamp pengungsian Katsikas, Neighbours of the Cows. Ketika kami akhirnya bersemuka, Abdullah menunjukkan manuskrip novellanya setebal 200 halaman. Abdullah menulis dalam bahasa Arab. Tulisannya tertata rapih dalam sebuah buku A4. Bagi saya, penciptaan novel ini sendiri adalah sebuah keajaiban. Satu keajaiban lainnya adalah istri Firas, Hala, melahirkan seorang anak bayi perempuan mungil.

Firas, seorang insinyur elektronik asal Suriah, bersama istrinya Hala dan bayi mereka.

Beberapa pengungsi memang mujur bisa tinggal di hotel, tempat yang lebih hangat dan aman. Namun, mereka terbunuh sepi, tak ada yang bisa dilakukan di hotel. Di sebuah lobi hotel yang kusam yang sudah diambil alih PBB di tengah kota Ioannina, jeritan anak kecil terdengar setiap hari yang menangis setelah dihardik oleh ibu mereka gara-gara berkeliaran di lorong hotel. Mahmood, anak asal Aleppo berusia 17 tahun dan bicara dengan kecepatan yang luar biasa tinggi, menyungingkan senyum dan menunjukkan frase bangsa Inggris favorit dalam buku latihan miliknya: "Running Amok".

Iklan

Mahmood, ibunya serta empat adiknya hidup di tenda di Katsikas selama delapan bulan. Masa penungguan selama delapan bulan ini adalah kulminasi usaha panjang mencapai Yunani. Ayah Mahmood yang bekerja sebagai seorang resepsionis hotel masih tertinggal  di Aleppo. Sebelum akhirnya mencapai Yunani, dua kali mereka pernah gagal menyebrangi perbatasan Suriah dan Turki.

Mahmood yang berperawakan ramping memanggul sendiri adik perempuannya melewati gunung, sambil ketar-ketir ketakutan ditinggal para penyelundup bersenjata yang berjalan di depan mereka. Setidaknya dua kali, mereka dipergoki oleh tentara Turki dan diperintahkan kembali ke Suriah. Pada percobaan ketiga, mereka baru berhasil menyebrangi perbatasan dan berhasil masuk ke Turki setelah melalui berbagai halangan—selamat dari penggeladahan polisi dalam sebuah bus (beruntung supir bus berhasil menyogok polisi), mendekam selama seminggu di sebuah Safe House serta berhimpitan sampai hampir sesak nafas dalam sebuah truk bersama pengungsi. Mereka akhirnya bisa menyeberangi lautan menuju Chios menggunakan perahu pompa, itupun hanya berbekal mesin butut.

Abdullah, seorang guru dan penyair asal Aleppo

Meski harus melalui berbagai halangan ke Yunani, hanya kegembiraan yang tampak pada sosok Mahmood. Dia berusaha menghabiskan waktu sebaik-baiknya di Katsikas. Sudah bisa dipastikan, jika masih di Suriah, dia akan berkutat dengan peperangan, katanya. Dia membeberkan segala kengerian perang di Suriah dengan begitu detail. Kini, di Katsikas, Abdullah belajar bahasa Inggris dan Jerman di universitas setempat. Dengan bangga, dia mengatakan bahwa sebelum sampai ke Yunani, tak ada satu pun kata dalam bahasa Inggris yang dia tahu. Saya bisa melihat betapa ulet Abdullah belajar. Bahkan ketika kami bicara, dia masih sempat mencatat kata yang baru dia dengar.

Ada sebuah kamp di Filipiada yang bisa dicapai setelah berkendara selama 40 menit dari Ioannina. Seperti Katsikas, kualitas kehidupan penghuni kamp ini mulai menurun semenjak kebijakan penggunaan hotel sebagai tempat penampungan mulai dijalankan. Kini, anda bisa melihat parit-parit yang baru digali di sana. Parit-parit ini menjadi jalur kabel yang akan memberikan kehangatan dan cahaya bagi 200 lebih orang yang telah menghuni kamp sejak Maret lalu. Di dalam kontainer tanpa penghangat dan dilengkapi selimut seadanya,  kami bertemu Masoomah asal Baghlan, sebuah provinsi di utara Afghanistan. Seperti kebanyakan perempuan yang kami temui, suami Masoomah menunggu kedatangannya di Jerman.

Seorang perempuan asal Afghan di kamp Katsikas.

"Saya hanya bersama tiga anak perempuan saya di sini. Kami takut dan kami akan terus merasa seperti itu sampai kami dipersatukan kembali," ujarnya. "Ketika anak-anak saya berada di kontainer atau tenda, pikiran saya tak pernah tenang."

"Harapan saya di masa depan adalah kami bisa bersatu kembali sebagai sebagai sebuah keluarga utuh di satu tempat yang sama. Saya harap kami bisa hidup dengan tenang—jadi nanti ketika anak-anak berpamitan pergi di pagi hari, saya tahu mereka akan kembali malamnya. Insya Allah."

"Saya tak bisa merasa tenang di Afghanistan; kalau anak kami keluar, saya tak bisa mengharapkan mereka kembali. Bahkan ketika saya pergi ke pasar, saya tak yakin bisa pulang atau tidak."

Saat kami berjalan menyusuri jalanan berbatu melintasi kamp, temperatur mulai turun dan matahari hampir tenggelam di pegunungan terdekat. Masoomah mendesah sambil terus bercengkrama dengan anak gadisnya, Anakita yang ditemani Leoni, pekerja sosial setempat. Mereka semua tertawa di bawah langit yang mulai temaram, "Perempuan itu jauh lebih kuat dari laki-laki," ujar Masoomah. "Perempuan itu lebih kuat dari laki-laki…"

Cahaya peneragan Kamp di Katsikas.

Relokasi dan pertemuan kembali dengan anggota keluarga yang sudah berada di Eropa diharapkan bisa terjadi 2017. Sayangnya, sebelum itu terjadi, para pengungsi ini harus berjuang mati-matian. Belum lagi, jumlah pengungsi akan segera bertambah. Kamp-kamp pengungsian di Yunani sepertinya telah siap menampung mereka. Di saat yang sama, pusat-pusat penahanan imigran di pulau-pulau di Yunani mulai kewalahan.

Komisi Uni Eropa telah mengumumkan bahwa mulai Maret 2017, negara-negara anggotanya diperbolehkan mengembalikan pencari suaka ke Yunani, jika mereka masuk lewat Yunani. Sementara itu, perjanjian Uni Eropa dan Turki masih menggantung karena Presiden Reccep Tayyip Erdogan mengancam akan membuka perbatasannya, meloloskan pengungsi ke Eropa. Selentingan buruk mulai didengar warga penampungan Katsikas. Ada yang mengatakan bahwa kamp akan segera ditutup. Ada juga yang bilang kamp ini hanya boleh diisi pengungsi pria bujangan dari Yunani.

Tak ada pengungsi di Katsikas yang tahu bagaimana nasib mereka akan berakhir. Satu yang pasti: cahaya indah terpancar dari kota-kota Eropa masih jauh dari jangkauan para pengungsi, setidak untuk Natal tahun ini.