Mereka Menjala Paku dari Jalanan Jakarta
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Jakarta

Mereka Menjala Paku dari Jalanan Jakarta

Komunitas Sapu Bersih Ranjau Paku (SABER) dicintai pengguna jalan, tapi dibenci sindikat yang ingin memaksa pengendara sepeda motor membeli ban dalam.

Klakson-klakson dibunyikan tanpa ragu. Pengguna jalan bersorak menunjukkan rasa hormat pada komunitas SABER berpatroli di sepanjang jalanan Grogol. Komunitas SABER mudah sekali dikenali dari dua penanda: lampu sirene nangkring di sepeda motor dan rompi kuning resmi keluaran polisi. Cahaya yang menimpa rompi memendar, memperjelas kehadiran mereka di jalan.

SABER, kependekan dari Sapu Bersih Ranjau, adalah kelompok sukarelawan dari Jakarta dengan satu tujuan: menyapu bersih ranjau paku dari jalanan Ibu Kota. Pekerja kantoran, pengendara ojek, mahasiswa, dan warga dari beragam jenis pekerjaan lainnya, bergabung bersama SABER, bahu membahu memastikan setiap jengkal aspal aman dilalui oleh pengendara motor.

Iklan

Komunitas SABER dikagumi sekaligus dibenci oleh penduduk bilangan Grogol, tentunya atas dua alasan yang berbeda satu sama lain. Sebenarnya yang membenci SABER hanya satu kelompok: anggota sindikat penebar paku.

"Oknum penyebar ranjau paku itu," ungkap Abdul Rohim, Pendiri dan Ketua SABER, "sebetulnya bukan semata untuk [memaksa kita] menambal ban. Sebetulnya target mereka itu menjual ban dalam."

Abdul Rohim—sembari terus diusik oleh dering teleponnya saat saya wawancara—mengaku mulai membersihkan paku di jalanan Daan Mogot, Jakarta Barat, awal 2010. Dia melakukan kerja sosial ini sepulang kantor. Dengan tangan telanjang, Abdul Rohim memungut paku yang bertebaran di jalan. Alasan Abdul Rohim memutuskan turun tangan langsung sebetulnya tipikal, menyerupai kasus-kasus serupa di Indonesia: karena aparat enggan bertindak.

Kegigihannya membersihkan jalanan dari ranjau paku menarik perhatian Siswanto yang melihat Abdul Rohim berpatroli nyaris setiap hari. Siswanto lantas ikut berburu ranjau paku. Pada 2011, keduanya mendapat ide membangun komunitas sukarelawan yang kelewat keki menghadapi ranjau paku sepanjang Daan Mogot. Kelompok ini di kemudian hari berkembang menjadi SABER.

Berawal dari sekadar membersihkan jalan-jalan di bilangan Daan Mogot, Grogol, dan Slipi, Komunitas SABER perlahan melebarkan sayap ke semua kotamadya DKI Jakarta. Bahkan, satu cabang SABER didirikan di Bekasi. Dalam operasinya, SABER Bekasi banyak bekerja sama dengan cabang Jakarta Timur.

Iklan

Saat ini, SABER memiliki 30 anggota. Meski demikian, jumlah pastinya selalu naik turun karena tak semua personel rutin berpatroli seperti anggota cabang Jakarta Barat, urai Siswanto.

"Bila ada halangan kita engga patroli, itu kita kepikir[an]," kata Abdul Rohim. "Ini paku siapa yang nyapu nih? Kalau tidak disapu tahu sendiri, mungkin banyak (ban) pengendara yang kempes akibat ranjau paku."

Dalam satu hari patroli, paku yang berhasil ditangkap anggota SABER bisa mencapai 8 kilogram. Berbekal perangkat buatan sendiri berbahan magnet subwoofer, komunitas SABER menyapu jalanan dari kawasan Grogol, Roxy, Cideng, hingga Medan Merdeka Barat. Dari semua daerah yang mereka lewati, area Grogol dan Roxy menyumbang paling banyak paku.

Berkat kegigihan dan kerelaan mempertaruhkan keselamatan membuat jalanan Jakarta lebih nyaman, Komunitas SABER akhirnya didapuk sebagai anggota kehormatan Korps Lalu Lintas Kepolisian RI. Mereka menerima pelatihan dan peralatan untuk melakukan pengaturan lalu lintas.

Siswanto, wakil ketua Komunitas SABER, membungkus tubuhnya dengan rompi serta emblem kepolisian, lambang kerja sama Komunitas SABER dengan aparat. Siswanto juga memamerkan peralatan yang digunakan sehari-hari memerangi penyebaran ranjau paku di jalanan Jakarta.

Mayoritas anggota SABER memanfaatkan magnet besar dari subwoofer speaker, mengikatkannya pada tali panjang yang selalu mereka bawa setiap hari. Khusus untuk Siswanto, perkakas yang dia gunakan sedikit berbeda. Alih-alih mengikatnya dengan tali, magnet subwoofer dilas pada sebuah pipa baja sepanjang satu setengah meter. Tak berhenti di situ, dia menambahkan satu roda di salah satu tongkat supaya bisa didorong di atas aspal. Satu lampu kecil ditempelkan Siswanto pada alat pemburu pakunya itu. Siswanto tak ingin perkakasnya kali ini ringsek dilindas mobil seperti yang pernah dia punya.

Iklan

"Secara logika, kalau paku 1,5 atau 2 cm disebar [dalam] radius 700 meter, begitu tertancap roda sepeda motor, enggak seketika langsung kempes," urai Abdul Rohim. "Ada jeda, nanti semakin gede pakunya semakin cepat hasilnya."

"Yang terbesar itu biasa paku 5 cm begitu tertancap, enggak berapa jauh langsung [bannya] kempes."

Memindai jebakan paku di jalanan Jakarta bukan perkara enteng. Pasalnya, paku yang disebarkan terlebih dulu direndam larutan kimia untuk mempercepat korosi. Sehingga paku susah dibedakan dengan mata telanjang di atas aspal jalan yang kotor. Untungnya, seiring bertambahnya jam terbang, anggota SABER berhasil menyempurnakan kemampuan mengenali jebakan paku—biasanya banyak disebar di jalan-jalan tertentu.

"Saat kita [melakukan] penyapuan di satu titik, di wilayah Cideng, kita sapu bersih. [setelah itu] kita bergeser ke wilayah sekitaran Istana Negara. Di tempat yang sama mereka sebar lagi. Begitu mereka sebar, selang sepuluh menit tidak disapu, pasti ada korban."

Baik di siang atau malam hari, bahaya selalu menghampiri anggota SABER yang tengah melakukan tugasnya. Bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari kemacetan jalan, tukang tambal ban yang culas, hingga ancaman dari sindikat kriminal. Namun, tak ada yang lebih mengerikan dari ancaman yang datang dari pada penebar paku. Mereka, misalnya, bisa dengan enteng merusak sebuah mobil.

"Risikonya cukup tinggi. Namanya kerja di jalan raya, kalau kurang hati-hati bisa tertabrak kendaraan," jelas Abdul Rohim. "Kita harus bisa meluangkan waktu untuk kegiatan sosial, membantu masyarakat membersihkan ranjau paku yang sampai saat ini masih marak di beberapa titik, baik di [Jakarta] pusat, barat, maupun timur."

Abdul Rohim berharap semakin banyak masyarakat tergerak bergabung dengan SABER atau setidaknya mendirikan gerakan serupa secara swadaya di wilayah masing-masing. Minimnya anggota SABER jelas tak sebanding dengan ancaman ranjau paku yang terus mengintai warga ibu kota.

"Banyak pengaduan dari masyarakat [di] wilayah yang masih banyak tebaran ranjau paku[nya]."