FYI.

This story is over 5 years old.

Perumahan

Masa Depan Suram Mengintai Millenial Indonesia Saat Harus Membeli Rumah

Menko Perekonomian saja khawatir anak muda usia di bawah 30 tidak akan bisa beli rumah. Pajak tanah menganggur bisa jadi salah satu solusinya.
Sumber gambar: setkab.go.id

Jika kamu sudah menapak usia kepala tiga, dengan semua tanggung jawab mulai dipikul sendiri dan orang tua tak lagi menopang kebutuhan finansialmu, memiliki rumah merupakan kebutuhan yang segera terpikirkan. Hanya saja, setelah mengetahui kondisi harga properti dan rendahnya gaji bagi rerata karyawan perkotaan, anak muda Indonesia pasti menyadari kenyataan menyedihkan: membeli rumah pada kondisi sekarang itu nyaris mustahil. Kecuali isi rekeningmu terlanjur gemuk atau orang tuamu tajir mampus.

Iklan

Gary salah satunya. Pria 30 tahun ini bekerja sebagai desainer grafis untuk perusahaan di Jakarta. Dia selama ini tinggal bersama orang tuanya di Tangerang. Gary sebetulnya ingin punya rumah sendiri. Setelah mempelajari pasar properti, Gary terpaksa menyerah sebelum bertarung. Dia berusaha mencari rumah di kawasan Bumi Serpong Damai, tapi harganya tak kalah gila dari Jakarta. "Harga rumah lima tahun ke depan enggak akan sama rata-ratanya dengan pendapatan gaji elo. Kalau pengen punya rumah di Jakarta mimpi sih dengan pendapatan gue yang sekarang," ujarnya.

Sekadar mimpi pun ongkosnya besar. Untuk bisa lebih punya modal bermimpi membeli rumah, kalian kadang terpaksa harus mengikuti pakem puluhan juta orang lain: pindah ke Jakarta.

Soalnya bagaimana lagi, hanya di Jakarta tersedia banyak peluang pekerjaan yang berani memberi gaji di atas upah minimum provinsi (UMP) senilai Rp3,35 juta. Itupun artinya setiap orang harus menyingkirkan saingan sesama pencari kerja yang jumlahnya mencapai 605.304 ribu orang merujuk data tahun lalu.

Oke, anggaplah kalian sudah memperoleh pekerjaan tetap. Kemungkinan kalian harus bekerja selama setengah dekade, pasrah melewati bermalam-malam kerja lembur tidak dibayar, sebelum akhirnya mencapai titik ketika penghasilan kalian mulai memungkinkan untuk hidup nyaman di Ibu Kota. Baru setelah mencapai tahap ini, kalian bisa mulai menabung beli rumah.

Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), rata-rata penghasilan bulanan seorang millenial perkotaan berumur 25-29 tahun adalah Rp2,4 juta (sudah dipotong pajak, tapi ini tergantung jenis pekerjaan tentunya). Kalau ingin cepat kaya, industri pertambangan yang menawarkan pendapatan rata-rata Rp5,1 juta/bulan untuk fresh graduate adalah jawabannya. Tapi yakali semua orang kerja di pertambangan.

Iklan

Mengira-ngira pendapatan seseorang di Indonesia sulitnya bukan main, bahkan pemerintah pun sulit melakukannya. Setidaknya, kita bisa berasumsi, seseorang dibilang mendapatkan gaji nyaman di Jakarta jika pendapatan bulanan sudah mencapai Rp6 juta. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding rata-rata pendapatan nasional. Tapi, jangan lupa, angka itu sebenarnya masih jauh sekali dari ongkos minimal punya hunian layak, baik rumah tapak maupun apartemen.

"Persoalan utamanya, harga properti memang tidak terkendali sementara tingkat pertumbuhan income atau pendapatan masyarakat itu tidak sebanding," kata Anton Sitorus, Kepala Penelitian dan Konsultasi dari Savills Indonesia yang rutin memantau pasar properti. "Pas zamannya booming real estate itu harga bisa [naik] sampai 20-30 persen, itu di antara 2011-2013 lah. Bahkan bisa 40 persen. Sementara penghasilan masyakarat naiknya berapa, paling angka inflasi, paling 7 persen."

Sitorus mengatakan masalahnya terletak di desain perekonomian nasional yang karut marut. Kenaikan nilai tanah tidak pernah dikelola serius pemerintah. Dampaknya, perusahaan pengembang perumahan swasta terdorong melonjakkan harga properti seenaknya, menyulitkan calon pembeli rumah baru. Patut diingat, rumah bahan dasarnya adalah tanah. Karena manusia belum bisa mencetak tanah seenak udelnya, harga tanah itulah yang jadi masalah (dan rentan dinaikkan sesuka hati oleh pemilik).

Iklan

Coba kita bedah harga sebuah rumah kecil, katakanlah seluas 45 meter persegi di daerah perumahan kota besar manapun. Rumah ukuran ini harganya biasanya mencapai Rp400-500 juta. Untuk bisa mendapatkan pinjaman bank, kalian harus menyisihkan 30 persen gaji bulanan selama 10 tahun. Dengan situasi perekonomian saat ini, berarti kamu butuh pekerjaan yang bisa menggaji minimal Rp9,5 juta per bulan, supaya bisa menabung sekaligus masih punya cukup uang untuk bertahan hidup di kota besar yang kenaikan harganya gila-gilaan saban tahun.

Bulan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Narsution mengutarakan kekhawatiran bila beberapa tahun lagi banyak segmen masyarakat Indonesia tidak akan mampu membeli rumah. Korban paling awal adalah generasi millenial, anak muda di bawah 35 tahun yang kini menjadi tulang punggung angkatan kerja nasional. "Dalam waktu beberapa tahun generasi millenial itu tidak ada yang bisa cicil rumah di dalam kota kalau (pemerintah) tidak lakukan sesuatu," ujarnya.

Pemerintah juga pernah mencoba melakukan intervensi guna mengakali krisis pembelian rumah di kota-kota besar. Sebut saja program Wujudkan 1 Juta Rumah yang dilontarkan Presiden Joko Widodo, yang bertujuan membangun satu juta rumah di seluruh Indonesia dengan harga sewa rumah.

Apa lacur, rumah terlanjur mahal engga ketulungan. Krisis pembelian rumah ini kemudian menjadi santapan politikus. Sepanjang momen pilkada Jakarta, ketersediaan rumah dengan harga terjangkau menjadi isu besar. Banyak penduduk Jakarta yang digusur masih menunggu kompensasi adil dari pemerintah.

Masing-masing kandidat gubernur mempromosikan programnya masing-masing dengan tujuan menurunkan harga properti serta menyediakan hunian layak bagi warga. Salah satu ide yang paling banyak disorot adalah uang muka 0 persen yang sekilas menyerupai penyebab krisis perumahan dunia pada 2008 lalu. Anies Baswedan-Sandiaga Uno, sebagai pengusung wacana itu, memastikan program perumahan mereka sudah dipikirkan masak-masak dengan bermacam risikonya. Tetap saja, karena ide pasangan cagub itu belum teruji, punya rumah masih impian belaka bagi generasi muda.

Menurut Sitorus, otoritas perpajakan harus mengambil tindakan, terutama sebelum krisis pembelian rumah semakin memburuk. Salah satu solusinya adalah menetapkan pajak pada tanah menganggur yang dimiliki oleh pengembang maupun korporasi. Jika tanah menganggur itu dipajaki, orang akan malas menggoreng harganya. Bila harga tanah turun per meter persegi seharusnya sih developer juga lebih masuk akal bikin harga jual. Begitu. Hingga kini wacana tersebut belum terealisasi (atau dalam bahasa pemerintah: masih dikaji). Faktanya harga tanah yang melonjak drastis masih dan selalu hasil dari permainan para spekulan tanah. Tanpa kebijakan yang jelas untuk mengatasi ulah spekulan, yang dirugikan bukan cuma generasi muda tapi juga pemerintah. Jangan sampai menunggu muncul demonstrasi jutaan anak muda mengusung slogan "resah tak punya rumah!"