Tak Bisa Melela Memperparah Gangguan Mentalku
Ilustrasi oleh Daniella Syakhirina.

FYI.

This story is over 5 years old.

rock bottom

Tak Bisa Melela Memperparah Gangguan Mentalku

Indonesia tidak ramah pada anggota komunitas LGBTQ. Penyuka sesama jenis terpaksa menutupi identitas seksualnya. Kami menemui dua orang mengidap gangguan mental akibat hambatan melela.

Awal 2016, homosekualitas, biseksualitas, dan transeksualisme kembali dikategorikan sebagai gangguan jiwa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI).

American Psychiatric Association (APA) segera mengirim surat, mengingatkan koleganya di Indonesia agar tidak gegabah bersikap. Sikap PDSKJI disebut oleh APA tidak berlandaskan dasar ilmiah. Penelitian menunjukkan terdapat korelasi antara penyakit mental dengan homoseksualitas, biseksualitas, dan transseksualitas, namun bukan korelasi sebab-akibat. Di Amerika Serikat, angka pengidap depresi di kalangan LGBTQ amat mengkhawatirkan. Laki-laki gay enam kali lebih berisiko  mengalami depresi daripada laki-laki straight; perempuan biseksual dan lesbian juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit mental daripada perempuan straight. Saya rasa statistik di Indonesia tidak terlalu berbeda.

Iklan

Saya memiliki banyak kawan kawan-kawan yang pikiran terbuka terhadap segala jenis identitas seksual dan preferensi seksual. Karenanya, terkadang saya lupa betapa buruk sikap masyarakat Indonesia terhadap orang-orang LGBTQ. Bagi beberapa orang, melela (mengumumkan identitas seksualnya-red) bukan pilihan bijak. Lebih-lebih orang-orang LGBTQ yang mengalami penyakit mental. Mereka menghadapi stigma ganda. Kebanyakan akhirnya memilih untuk tidak melela. Pilihan tersebut adalah cara mereka melindungi diri mereka sendiri, namun terkadang dengan ganjaran kesehatan mental. Kaka adalah salah satunya.

Kaka, bukan nama sebenarnya, adalah perempuan lesbian dan guru Bahasa Inggris yang sedang menjalani program S2 di universitas dalam negeri. Dia berjuang melawan kecemasan dan depresi dan kini sedang dalam proses terapi. Dia juga menyembunyikan homoseksualitas dan penyakit mentalnya dari keluarga. Orangtuanya adalah pasangan muslim taat. Keduanya berperan dalam masa kecil Kaka yang traumatis—faktor-faktor itu menyebabkan dia enggan melela. Kaka sering mengalami momen-momen depresif dan permasalahan kepercayaan diri, namun memilih mengatasinya seorang diri. Ketika dia mulai kuliah S2, momen-momen depresif semakin sering terjadi, yang akhirnya mendorong Kaka menemui seorang terapis. Kaka bilang mengajar membuatnya merasa lebih baik. "Mengajar adalah terapi bagi saya," ujarnya, "Saya membutuhkan murid-murid, terutama anak-anak, lebih daripada mereka membutuhkan saya. Saya merasa dihargai di kelas." Dia juga menyebutkan bahwa murid-murid remajanya lebih dapat menerima orang-orang LGBTQ. Para murid juga semakin sadar akan isu-isu kesehatan mental. Tetap saja, profesi guru memiliki batasannya sendiri. "Saya mesti berlagak straight supaya bisa menjadi guru yang baik. Orang-orang mengira, mereka yang dalam spektrum LGBTQ tidak pantas menjadi guru," ujarnya. Dia pernah menghadapi orangtua murid yang mengeluh soal cara Kaka berpakaian. Dia dianggap mempromosikan LGBT, meski dia pikir hal tersebut tidak mempengaruhi kinerjanya saat mengajar. "Saya jengkel," akunya, "Tapi saya memutuskan berkompromi." Permasalahan serupa ternyata lebih gawat di universitas tempat dia menjalani program S2. Seperti banyak mahasiswa lainnya, dia mesti menjalani kehidupan ganda agar dapat diterima. Kaka ingat ketika seorang kawan sekelas menanyakan soal orientasi seksualnya. Sebelum dia sempat menjawab, kawannya ini menyatakan kebenciannya terhadap orang-orang LGBTQ. Sejak saat itu, Kaka memutuskan ruang kelasnya di universitas bukanlah zona aman. Kaka lantas menemui orang-orang dengan pengalaman serupa. Berbagi kisah dalam komunitas ini membantunya merasa lebih baik. Kaka sempat merasa bahwa kawan-kawan heteroseksualnya menerima seorang homoseksual hanya ketika dia menguntungkan mereka. "Teman-teman hetero saya masih sungkan jika saya bertanya seputar 'bagaimana kalau anakmu nanti gay?'" Karena orangtuanya tidak mengetahui soal terapi yang dia jalani, saya bertanya kira-kira apa yang terjadi jika dia ketahuan. "Mereka mungkin akan mikir saya buang-buang duit, lalu meminta saya untuk beribadah saja," ujarnya. Kaka juga berkata bahwa diusir dari rumah adalah pilihan terbaik. Sementara yang paling buruk adalah dipaksa menjalani terapi berbasis agama yang dianggap mampu 'menyembuhkan' orang-orang LGBT.

"Ada masa-masa di mana saya merasa tidak pantas hidup, seakan saya ini hanya akan mengecewakan orang lain."

Meski rasanya dia tidak berniat melela dalam waktu dekat, Kaka yakin keputusan itu akan berguna bagi kesehatan mentalnya. Dia membayangkan bakal amat melegakan jika dapat menceritakan kisah asmaranya kepada anggota keluarga. Siapa tahu orangtua akan berhenti memaksanya menikahi seorang laki-laki. Kasus lainnya adalah Acha.

Acha duduk di bangku SMA ketika dia pertama kalinya naksir sesama jenis. Dia tidak yakin dengan seksualitasnya, namun dia vokal menyuarakan dukungannya terhadap hak-hak LGBT. Setelah masuk bangku kuliah, belajar psikologi, Acha mulai mempertanyakan diri sendiri. Dia mengeksplorasi seksualitasnya lalu serta kadang-kadang berkencan dengan perempuan. Sampai pada akhirnya, Acha menyadari dirinya lesbian. Tak lama setelah itu, dia didiagnosis memiliki bipolar. Dia merasa bahwa ketidakmampuan melela memperburuk keadaan mentalnya. "Saya ingin dengan bebas mengekspresikan betapa saya mencintai pasangan saya, seperti pasangan-pasangan heteroseksual di masyarakat." Meski begitu, dia merasa tidak melela adalah hal terbaik yang dia bisa lakukan saat ini mengingat kebencian masyarakat Indonesia terhadap orang-orang LGBT. Sejak awal Acha merasa melela tidak mungkin dilakukan. Orangtua Acha merupakan jemaat Kristen taat yang mengirimnya belajar ke luar negeri setelah mengetahui homoseksualitasnya, dengan harapan dapat memisahkan dia dari pacarnya saat itu. Gosip-gosip tentang dirinya mulai beredar di gereja keluarganya, membuat Acha beberapa kali mencoba bunuh diri.
"Ada masa-masa di mana saya merasa tidak pantas hidup, seakan saya ini hanya akan mengecewakan orang lain," ujarnya. Acha merasa tidak dapat mempercayai keluarganya karena ayah-ibunya segera menghakimi setiap kali dia ingin menceritakan sesuatu. Merasa tidak nyaman di rumah, Acha justru memperoleh penerimaan dari kawan-kawan terdekatnya. "Saya merasa amat sedih ketika ada yang bilang orang-orang LGBT hidup dalam dosa, seakan-akan yang ngomong begitu sudah paling suci," ujarnya pada saya, "Saya kepengin mereka tahu bahwa kami juga manusia. Saya rasa Indonesia akan sampai pada titik di mana pernikahan sesama jenis dilegalkan, dan saya sudah menerima itu, selama diskriminasinya dihentikan. Saya hanya menjadi diri sendiri, mengapa itu salah?" Untungnya bagi Kaka dan Acha, terapis tidak pernah mencoba mengubah mereka. Terapis juga menerima mereka apa adanya. Salah satunya bahkan membantu menjelaskan seksualitas Acha kepada orangtuanya. Kaka mengatasi masalahnya dengan berkutat di fotografi analog, musik, dan serial televisi, sementara Acha mengandalkan seni dan media sosial sebagai outletnya. "Pertama-tama, saya rasa menemukan kedamaian dalam diri sendiri amatlah penting. Saya percaya orang-orang baik akan bertahan dan mencintaimu apa adanya," ujar Acha. Saya bertanya pada Kaka apak hal yang paling menenangkannya selama masa-masa sulit. Dia bilang: "Saya menonton Jason Silva (dari serial Brain Games di National Geographic) di sebuah video. Dia bilang, 'daripada menjadi depresi dan menggak pil-pil untuk menekan kecemasan, kita butuh mempraktikan rasa syukur dan belajar berterima kasih. Di tengah-tengah hamparan debu kosmik, kita ada di sini. Kita bisa mencintai, dan kita bisa bermimpi. Kita punya segalanya'," ujarnya. "Saya rasa pemikiran semacam itu adalah hal yang indah."

Artikel ini adalah seri Rock Bottom, kolom VICE Indonesia yang membahas isu-isu kesehatan mental. Setiap bulan,  Katyusha Methanisa menulis bermacam artikel mengenai gangguan mental dari sudut pandang personal.