FYI.

This story is over 5 years old.

Makanan

Sensasi Ngemil Kue dan Menyeruput Kopi di Kafe Sebelah Kuburan di Jerman

Café Strauss patut dikunjungi karena menawarkan sensasi baru minum kopi di tengah pemakaman. Cuma, atmosfer kedai kopi ini tak lantas muram. Malah, ada juga yang menggelar pesta ultah di sana. Ntap!

Saya baru-baru ini mendengar tentang keberadaan Café Strauss, sebuah kafe dekat gerbang Friedrichswerderscher Friedhof, di bilangan Kreuzberg, Berlin. Kafe ini menonjol karena punya satu fitur yang tak ditawarkan kafe-kafe lainnya di dunia ini—setidaknya, sejauh yang saya ingat ya: kesempatan ngopi dan ngemil kue di pemakaman.

Walaupun makan dan minum di dekat kuburan jamak dijumpai di berbagai kebudayaan di dunia—dari tradisi kristen ortodoks minum anggur dan makan roti di kuburan (ketika ada upacara pemakaman), upacara Día de los Muertos di Meksiko hingga upacara sedekah makam di Cirebon—Café Strauss menyuguhkan sajian khas kafe—teh herbal, kopi, dan lainnya—di dekat kuburan.

Iklan

Daripada mati penasaran, saya memutuskan untuk pergi ke Café Strauss sendiri. Saya sampai di bangunan kafe pada sebuah Sabtu sore yang cerah. Kondisi kafe sedang ramai-ramainya. Tak ada satupun meja kosong yang tersisa. Pengunjung juga bisa ngopi di barisan meja yang sengaja ditempatkan di luar bangunan kafe. Pemandangannya? Pastinya barisan nisan marmer di lahan yang penuh daun-daun pohon yang berguguran. Pemakaman di depan Cafe Strauss dibangun pada 1844. Ini bukan pemakaman sembarangan. Setidaknya dua tokoh ternama dikebumikan di sini: mendiang Felix Mendelssohn(1809–1847), “Mozart-nya abad 19” dan saudarinya Fanny (1805–1847), yang juga seorang komponis dan pianis ternama. Keduanya dikubur berdampingan.

Pemandangan dari sudut lain kafe

Saya masuk ke dalam kafe dan bertemu dengan pemiliknya, Martin Strauss, seorang arsitek berusia 49 tahun. Saat mengerjakan restorasi sebuah nisan, Martin mendengar bahwa bekas bangunan rumah duka pemakaman ini sedang kosong dan disewakan. Alih-alih sekadar menyewa, Martin langsung membeli bangunan tersebut. Setelah itu, Martin membutuhkan waktu sampai setahun lamanya untuk merombak bangunan tersebut menjadi sebuah kafe. Café Strauss resmi dibuka untuk pengunjung pada Mei 2013. Ruangan dalam yang nyaman diisi 20 tempat duduk yang dibatasi meja-meja kayu gelap dengan lilin-lilin menyala di atasnya dan jendela lengkung di sampingnya.

Martin tengah sibuk melayani pesanan dan menyangrai biji kopi di sebuah mesin pemanggang kopi. “Kami ingin membuka kedai kopi tempat kami memanggang biji kopi dan menjual kopi yang lezat,” jelasnya. Dengan penuh kebanggan, Martin menunjukan satu kantung kopi luwak. Kopi asli Indonesia ini adalah salah satu kopi elit. Martin rela membayar mahal untuk mendapatkan kopi mewah satu ini. Satu kilogram biji Kopi Luwak harus ditebus Martin dengan uang sebanyak $205. Kini, setelah kopi tersebut sampai ke kafe, Martin belum bisa menentukan berapa harga yang tepat untuk satu cangkir kopi luwak.

Iklan

Saya lantas memesan satu cangkir kopi dan sepotong kue. Selagi duduk dan menyeruput kopi di luar bangunan kafe, saya baru sadar bahwa saya duduk tepat di sebelah nisan Heinrich von Stephan (1831-1897), pria yang memperkenalkan pesawat telpon ke Jerman.

Café Strauss juga menawarkan aneka rupa kue. Oleh tiga mahasiswa mahasiswa hukum berusia 20an yang asik ngobrol di meja di luar kafe, kue-kue ini dinilai “lezat sekali.” Seorang pelanggan lainnya, dokter anak bernama Anna, terlihat asik membaca The Life of Dorothy Baker di bawah pancaran sinar matahari yang tak begitu terik. Anna mengaku sering datang ke Café Strauss untuk menyeruput cappucino dan menikmati atmosfernya yang tenang. Malah, Anna berani menduga bahwa “pengunjung umumnya senyap ini karena pengaruh lingkungan sekitar kafe ini. Ada rasa hormat yang tinggi (pada orang yang sudah mati) di sini.”

Kadang kala,Café Strausss juga menjadi tempat acara pemakaman. Keluarga yang sedang berduka biasanya menyewa kafe untuk acara makan siang atau minum kopi pasca upacara penguburan.

Namun, hari itu, yang saya saksikan adalah upacara perayaan hidup: sebuah acara ulang tahun ke-50. Helmut, seorang peramu bir dari daerah pedesaan tak jauh dari Café Strauss duduk di sebuah meja panjang yang dihiasi sebiji balon. Helmet secara pribadi memilih Café Strauss untuk menggelar makan siang ulang tahunnya karena dua alasan: 1) kafe ini menyediakan bir organik dari pabrik bir Potsdamer Braumanufaktur dan 2) kue quichenya maknyus. Sebelum perayaan digelar, sahabat karib Helmut, Jean Pierre, pernah datang untuk memastikan suasana kafe cocok untuk pesta ulang tahun Helmut. Tak disangka, dia malah tertarik dengan lingkungan sekitar kafe yang bikin hati tenang. Sadar betapa ironisnya perayaan ulang tahun di kafe yang dikelilingi nisan, kartu undangan menyebut acara makan siang ultah ke-50 Helmut sebagai “lokakarya untuk masa depan.”

Saatnya berpesta.

Pemilik Café Strauss berharap para janda dan duda lanjut usia yang sering memadati kafe di hari kerja, bisa menemukan tambatan hari baru di Cafe Strauss. Sementara itu, Jean-Pierre punya pandangan unik tentang kafe ini. Menurutnya, Cafe Strauss adalah “tempat yang tepat untuk memikirkan tentang kematian, atau sekadar mengagumi tupai dan lingkungan di sekitarnya.”