Di Palestina, clubbing adalah aksi politis
Foto cuplikan dari dokumenter 'Palestine Underground'

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Muda-Mudi Palestina Gunakan Musik Untuk Melawan Penjajahan Israel

Di Palestina, dugem sama sekali bukan aksi hura-hura. Di tanah yang siang malam dikepung aparat Israel itu, clubbing justru aksi politis melawan pendudukan zionis.

Ada revolusi yang diam-diam berlangsung di lantai dansa Palestina - atau mungkin lebih tepatnya diam tapi jauh dari kesan sunyi. Tanpa akses pada hiburan malam, sebagian pemuda Palestina menangani kekurangan ini sendiri. Melawan konflik dengan musik, mereka meneruskan tradisi global lantai dansa sebagai ruang politik sekaligus tempat untuk berpesta.

Tidak seperti Tel-Aviv, yang terkenal secara internasional untuk kancah klub dan musiknya, harus diingat bahwa Palestina itu lebih tertutup akibat perbatasan. Sudah bertahun-tahun warga Palestina hidup di bawah pendudukan, yang membuat perkembangan budayanya terganggu. Tembok pembatas di sisi timur, yang dijuluki tembok apartheid oleh warga Palestina, menghalangi mobilitas – dan dibenarkan oleh pihak Israel berdasarkan kepercayaan mereka bahwa tembok tersebut melindungi penduduknya dari terorisme.

Iklan

Jadi, mereka yang tinggal di Tepi Barat pada dasarnya terdampar – terpisah dari penduduk Palestina yang tinggal di Israel, yang terpaksa menghadapi diskriminasi legal dan de facto. Lantas, bagaimana musik bisa membantu menyatukan warga Palestina di kedua sisi tembok, sembari menyatukan mereka dengan 7,2 juta pengungsi Palestina yang membentuk diaspora Palestina global?

Inilah yang Boiler Room ingin dalami dalam film dokumenter Palestine Underground (tonton di bawah). Film ini menyelidiki kancah musik yang bertumbuh di situ dan pemain-pemain utama di balik gerakan tersebut - sebagian besar darinya merupakan generasi ketiga yang tinggal di bawah pendudukan Israel yang dimulai pada 1948. Dalam film ini kamu bisa melihat bahwa Palestina lebih dari sekedar zona perang berdebu yang seperti dalam mata banyak orang. Di manapun ada generasi muda, mereka selalu melakukan apa yang dilakukan pemuda-pemudi di seluruh dunia: mendengarkan musik keras sambil menari.

Melakukan ini di bawah pendudukan militer dalam kebudayaan konservatif tidak mudah. Masyarakat Ramallah (kota di Tepi Barat Palestina) mempunyai persetujuan dengan pemerintah yang melarang musik keras di tempat umum setelah jam 12 malam. Artinya, sebagian besar hiburan malam berlangsung di pesta rumah -atau afterparty - dan bukan di kelab. Warga Tepi Barat juga memerlukan surat izin untuk bepergian di dalam negeri, yang biasanya ditolak. Lebih mudah bagi promotor di Israel untuk mengadakan konser bagi artis internasional dibandingkan artis asal Palestina, sementara pemegang paspor Israel dapat memasuki wilayah Palestina secara bebas.

Iklan

Sang pemimpin kancah musik dan hiburan malam di Palestina adalah Jazar Crew - sebuah kolektif yang terdiri dari lima teman asal kota Haifa di Israel, yang sejak 2011 mengadakan pesta-pesta berdasarkan “kebutuhan akan tempat untuk berjoget dan mengumpulkan orang di mana mereka merasa aman dan nyaman”. Secara musikal, penampilan mereka memadukan tradisi dengan pengaruh modern: musik tradisional Arab yang dicampur dengan musik elektronik hingga DnB. Digelar di Kabareet – klub pertama di Haifa yang dimiliki orang Palestina – pesta-pesta Jazar Crew beroperasi dengan kebijakan safe space yang ketat.

Mereka menggunakan guestlist atau daftar hadir demi akuntabilitas, bukan eksklusivitas. “Konsep lantai dansa dan berpesta dalam kehidupan sehari-hari itu hal yang jarang bagi orang Palestina,” ucap Ayed, anggota Kru Jazar, saat aku bercakap dengannya sebelum dokumenter ini ditayangkan di London. “Untuk melindungi lantai dansa dan membuat gerakan ini semakin kuat, kami harus melindunginya dari seksisme, sovinisme, homofobia, dan perilaku macho semenjak awal”. Siapa saja boleh datang ke pesta-pesta ini, asal kamu mendukung perjuangan Palestina: “Kami membuat pernyataan tentang permasalahan kemanusiaan dan keadilan”, katanya, “Ada banyak orang Palestina di lantai dansa kami; orang Israel yang bergabung dengan kami juga mempercayai pernyataan dan agenda kami, dan mereka akan mendukung kami demi keadilan."

Iklan

Tinggal di Haifa ada baik dan buruknya bagi seniman Arab—yang semuanya bagian dari populasi minoritas 1,8 juta orang Palestina yang tinggal di Israel, atau yang mereka panggil ‘Palestina yang diduduki.’ Berkat paspor Israel yang mereka pegang, mereka mempunyai kebebasan untuk bergerak, tapi ini juga berarti mereka dianggap orang luar di negara mereka sendiri.

Music scene di Israel dari dulu sudah ada, tapi kita enggak pernah ikut serta dan enggak pernah mau ikut serta dalamnya”, kata Ayed. Hilal, anggota lain, menggunakan kata ‘skizofrenik’ untuk mendeskripsikan pengalamannya besar di Israel sebagai orang Palestina – “kamu besar di sebuah tempat, kamu mendalami kebudayaannya, tapi lama-lama kamu sadar itu bukan kebudayaanmu”, ujarnya. “Kamu selalu berkonflik dengan dirimu sendiri. Itu menantang banget, apalagi pas kamu sadar dengan kenyataan dan kebenaran yang ada di sekitarmu. Itu bikin kamu pengin memahami dirimu sendiri”.

Muqata'a performing live

Mereka tetap memanfaatkan hak-hak yang mereka nikmati sebagai warga negara Israel demi berhubungan dengan kancah musik Palestina dan menyatukan Haifa dan Ramallah melalui hiburan malam. Apakah dengan sampling lagu-lagu tradisional Arab dan suara-suara kota mereka, atau dengan mengadakan pesta di tempat yang dapat diakses semua orang Palestina, gerakan ini menjadi cara untuk warga Palestina berkoneksi dengan kebudayaan mereka – dan dengan satu sama lain. Tapi Jazar Crew bukanlah satu-satunya kelompok artis yang menghancurkan perbatasan dan menduniakan Palestina melalui kebudayaan mereka.

Iklan

Pemain utama lainnya termasuk Odai, DJ bertato dan bertindik yang terlihat melompati tembok yang membatasi Israel dan Palestina sebelum manggung pada awal dokumenter; Sama’, DJ dan produser tekno yang jatuh cinta dengan musik elektronik di acara Satachi Tomiie saat dia tinggal di Lebanon; Saleb Wahed, grup rap yang menggunakan musik dan dialek Ramallah mereka untuk berkomunikasi dengan komunitas mereka; dan Muqata’a, si ‘Godfather’ hip-hop Palestina dan rapper yang namanya berarti ‘interferensi’ atau ‘boikot’.

Dalam dokumenter ini, Sama’ memainkan musik tekno khasnya dan juga memimpin keresidenan musik selama dua minggu dan bekerjasama dengan rekan-rekannya mengerjakan sample dari arsip musik lama Palestina – yang sebelumnya mereka tidak boleh mengakses. “Kancahnya terus berkembang… sekarang kami mempunyai 15 DJ, dan 10 tahun lalu enggak ada sama sekali”, tuturnya dalam dokumenter. Dalam sebuah email yang dia kirim dari tempat tinggalnya di Paris, Sama’ menjelaskan pentingnya gerakan ini: “Buat kami penting banget karena kancah ini memberi kami kunci kebebasan kami dalam penjara yang kami buat sendiri. Buat seluruh dunia, memanusiakan kami itu juga penting… jadi pas Eropa melihat kami berjoget-joget dengan musik yang sama, mungkin mereka akan lebih memahami kami”.

Bagi Muqata’a, kepentingan gerakan ini terletak dalam komunitas yang terbangun di sekitarnya, dan upaya mereka untuk “berkarya di mana ruang publik telah diambil dari kami.” Sudah empat tahun Muqata’a berusaha manggung di Haifa, tapi dia belum berhasil memperoleh surat izin yang diperlukan sebagai warga Tepi Barat. Bagi Muqata’a, musik adalah bentuk reklamasi. "Gerakan ini, dalam segala bentuknya, membantu menduniakan Palestina yang sedang menghadapi penghapusan identitas," katanya.

Dari makanan hingga musik, warga Palestina merasa kebudayaan mereka telah dicuri dan dihapus pendudukan Israel. Menggunakan musik Arab dalam set dan rapping dalam dialek masing-masing adalah cara untuk warga Palestina melawan, karena dokumentasi dapat mengabadikan pengalaman mereka. Pentingnya gerakan yang terus berkembang ini disimpulkan Muqata’a dengan baik; saat aku bertanya kepadanya ke mana dia berharap musiknya akan membawanya, jawabannya hanya, "pulang."


Follow penulis artikel ini di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey UK.